Pandemi Covid-19 memang situasinya sangat dinamis berbagai upaya penanganan virus ini sepertinya tak pernah ajeg dalam jangka waktu lama.
Pro dan kontra terhadap kebijakan penanganan Covid -19 terus bergulir. Kebijakan utama seperti Lockdown yang diberlakukan di berbagai negara, kini mendapat kritikan tajam.
Seperti di lansir Dailymail.UK, Seorang Profesor Peraih Nobel asal  Standford University, Michael Levitt menyebutkan bahwa lockdown dalam penanganan Covid-19 hanya membuang waktu saja, bahkan bisa menjadi penyebab lebih banyak kematian di bandingkan dengan yang berhasil diselamatkan.
Profesor yang berhasil memprediksi secara tepat besaran skala pandemi ini, bahkan menyebutkan bahwa keputusan memaksa masyarakat tinggal di rumah, bukan keputusan strategis dan taktis berdasarkan sains namun merupakan keputusan berdasarkan kepanikan.
Keputusan Lockdown menurut Profesor Levitt hanya berdasarkan hitung-hitungan yang dilakukan secara berlebihan oleh Profesor Neil Ferguson seorang Epidemolog dari Imperial College London Inggris, yang memprediksi  sebanyak 10 hingga 12 kali lebih banyak dari angka real kematian akibat virus corona.
Pernyataan Profesor Levitt ini senada dengan laporan yang dirilis oleh salah satu lembaga keuangan terbesar di dunia, JP Morgan, yang menyebutkan bahwa lockdown tak memberi alternatif penyelesaian dalam penanganan pandemi Covid-19, malah menghancurkan jutaan kehidupan  ekonomi masyarakat.
Ahli Strategis JP Morgan, Marko Kolanovic mengatakan bahwa banyak pemerintahan negara di dunia yang  memutuskan kebijakan lockdown yang terlambat dan tak efesien berdasarkan makalah-makalah ilmiah yang cacat, sehingga memiliki efek yang kecil terhadap penanganan Covid-19.
Dia mengatakan bahwa penurunan tingkat infeksi sejak kebijakan lockdown dicabut, menunjukan bahwa viruss tersebut memiliki kemungkinan dinamika tersendiri, yang tak ada hubungannya dengan kebijakan lockdown yang sering dilakukan secara tidak konsisten.
Contohnya Denmark, meakipun mereka sudah mencabut kebijakan lockdown, sekolah, perkantoran, dan pusat perbelanjaan sudah dibuka lagi tingkat terinfeksinya tetap saja turun.
Demikian pula dengan Jerman yang mengurangi intensitas keketatan lockdown, sebagian besar wilayahnya tak menunjukan tingkat infeksi baru yang mengkhawatirkan.