Lupakan kongkow-kongkow di cafe atau dimanapun, dalam situasi pandemi Covid-19, karena menurut kajian para ahli epidemologi cara paling efektif untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona jenis terbaru SARS NCov-2 Â adalah dengan menjaga jarak antar manusia atau istilah kerennya physical distancingÂ
Artinya berkerumun dalam jumlah banyak akan membuat potensi penyebaran virus akan semakin besar.
Berbagai upaya untuk mengimplementasikan jaga jarak itu dipraktekan dengan istilah yang berbeda-beda, walaupun pada intinya ya jaga jarak itu.
Kita semua manusia dipaksa untuk tak banyak melakukan mobilitas yang sebenarnya merupakan nature-nya manusia modernÂ
Kita dipaksa harus berkegiatan di rumah, mulai dari belajar, bekerja hingga beribadah, dan menikmati kegiatan budaya pun harus dari rumah.
Jalanan dan ruang publik menjadi hutan belantara yang penuh bahaya, sebisa mungkin harus dihindari. Peluk cium sebagai ungkapan rasa sayang saat ini dianggap perbuatan membahayakan.
Kehidupan dunia saat ini menjadi paradox, dunia normal tak terbayangkan akan menjadi seperti saat ini, beberapa aktivitas sosial yang normalnya membahagiakan kini menjadi membahayakan.
Kondisi yang dirasakan saat ini oleh seluruh manusia pengisi planet bumi, mungkin tak terbayangkan saat kita semua merayakan tahun baru 2020.
3 bulan yang lalu semua tampak baik-baik saja, dunia masih bergulir normal seperti sebelumnya. Tiba-tiba penyebaran virus ini begitu deras dan meluas dengan sangat cepat, hanya dalam tempo 1 bulan kasus terinfeksi baru bertambah 1 juta menjadi 2 juta lebih kasus secara global
Di Indonesia, sejak kasus positif pertama ditemukan dan dikonfirmasi oleh pemerintah pada tanggal 2 Maret 2020, sudah ada penambahan kasus baru sebanyak  6.223 kasus per tanggal 18 April 2020.
Berarti selama 6 minggu ada penambahan kasus positif sebanyak 1.000 orang lebih per minggu. Walaupun jumlah resmi ini, dianggap beberapa pihak bukan merupakan jumlah sesungguhnya, sesuai fakta di lapangan.
Terlepas dari urusan jumlah, imbas dari pandemi ini kepada masyarakat, secara sosial kita menjadi seperti terasing karena harus tetap berada di rumah dan ekonomi kita menjadi benar-benar terpuruk, gelombang orang yang kehilangan pekerjaan terus bertambah, hingga saat ini menurut Kementerian Tenaga Kerja (Kemenanker), korban PHK di Indonesia akibat imbas pandemi ini sebesar 2,8 juta pekerjaÂ
Kondisi ini terjadi karena mobilitas manusia sebisa mungkin dihentikan. Saya saja sampai hari ini sudah lebih dari 1 bulan terkurung di rumah.
Keluar hanya untuk membeli kebutuhan pokok, bekerja saja sudah dengan cara online alias WFH. Bosan dan jenuh kini sudah mulai menghinggapi, meskipun saya mencoba untuk tetap aktif dan produktif, selain mengerjakan tugas kantor, saya mencoba memasak, berolahraga atau membaca dan menulis.
Tetapi tetap saja kejenuhan datang melanda, lantas sampai kapan saya atau kita semua mampu bertahan dalam situasi seperti ini?Â
Apalagi kita semua sepertinya tak pernah tahu kepastian berakhirnya situasi seperti ini, antivirus Covid-19 belum jelas sampai kapan dapat digunakan secara masal, bahkan beberapa ahli epidemologi dari Harvard University Amerika Serikat menyebutkan, bisa saja kondisi seperti sekarang berlangsumg hingga tahun 2022.Â
Apakah kita mampu menyesuaikan situasi abnormal ini menjadi "the new normal"?
Berdasarkan berbagai literatur yang saya baca dalam menyikapi pandemi ini. Pada dasarnya, jika kita mengacu pada diagram Maslow, ada 5 tingkatan piramida yang menggambarkan kebutuhan manusia.
Tingkatan paling dasar adalah kebutuhan fisik, seperti makanan, minuman, tidur yang berkualitas, baju untuk dipakai, dan tempat tinggal untuk bernaung.
Tingkatan ke-2 adalah rasa aman, misalnya kepemilikan properti, asuransi, tabungan, dan pekerjaan.
Jika kebutuhan dasar sudah terpenuhi, maka manusia normalnya akan terdorong untuk memenuhi kebutuhan di tingkat yang ke-3 yakni rasa Cinta dan kepemilikan.
Walaupun berada di dalam rumah dan bersama keluarga, bukan berarti kebutuhan akan cinta seseoramg terpenuhi.
Seseorang tetap saja bisa merasakan kecemasan karena sebagai manusia, tak hanya keluarga yang dibutuhkan. Ada pula keinginan untuk berkumpul dengan teman-teman dan berinteraksi dengan orang lain.
Bagi orang yang memang hidup sendiri tanpa keluarga, dalam suasana saat ini menjadi jauh lebih berat, sekedar untuk teman berinteraksi secara langsung saja tak ada.
Berada di rumah selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu atau bisa saja berbulan-bulan tak akan sesederhana disebut sebagai rasa bosan.
Seseorang tak hanya merasa kehilangan rutinitas hariannya seperti pergi bekerja tetapi juga kehilangan interaksi sosial dengan manusia lain.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jullianne Holt-Lunstad  bersama timnya yang berasal dari University of Birgham-Young  Utah Amerika Serikat yang dipublikasikan di Jurnal PLos Medicine.
Memiliki hubungan sosial berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan mental seseorang. Individu yang memiliki hubungan sosial lebih baik di banding individu lain, akan memiliki kemampuan bertahan hidup 50 persen lebih tinggi.
Sementara dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Laura Hawryluck dari Uinversitas Toronto Kanada yang dipublikan lewat jurnal  Emerging Infectious Desease  pada orang-orang terdampak wabah SARS beberapa tahun lalu  yang tengah melakukan social distancing.Â
Hasilnya ditemukan gejala depresi dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Hal ini terjadi pada semua manusia, tak hanya pada seseorang yang memiliki sifat ekstrovert. Namun seorang introvert pun tetap membutuhkan interaksi dengan orang lain.
Biasanya manusia jika dalam kondisi cemas, secara alami berkeinginan untuk terhubung dengan orang lain. Apalagi dalam suasana pandemi seperti saat ini, ketika kita mengakses media sosial dan menonton TV yang disaksikan berita tak mengenakan berupa penyebaran yang bertambah masif dan angka kematian yang terus bertambah.
Hal tersebut akan membuat  kecemasan bertambah tinggi yang memicu seseorang merasa tak berdaya. Media sosial pun menjadi berasa tak berguna, karena yang dibutuhkan adalah benar-benar berinteraksi dua arah secara langsung.
Mungkin Video call, telepon, dan chatting bisa membantu mengurangi  rasa kesepian dan kesendirian. Bertukar cerita dan menjelaskan perasaan yang sedang dialami dapat membuat beban kita berkurang.
Joke-joke atau humor bisa juga memberi kita ruang untuk mengurangi tekanan yang datang dari dalam diri karena keterasingan akibat tetap dirumah saja.
Dengan memandang  kondisi gelap dan menakutkan dari sisi yang lucu akan dapat membantu kita untuk lebih memahami keadaan saat ini.
Kondisi pandemi ini membuat kita juga terus menerus menekuni angka-angka kasus baru positif Covid-19. Angka-angka tersebut kemudian secara tak disadari akan membuat emosi kita terpengaruh.
Artinya di tengah ketidakpastian kapan pandemi ini akan berakhir, mengurangi konsumsi berita dan media sosial akan sangat membantu kesehatan jiwa.
Semakin kita pandai menyikapi dengan cara menghindari berbagai hal  yang membuat emosi kita tertekan, akan memperpanjang kewarasan kita dalam menghadapi rumitnya situasi yang penuh ketidakpastian ini.
Lantas sampai kapan kemampuan manusia untuk tetap bertahan dalam situasi seperti ini? Ya tergantung dari kemampuan kita menyikapi tekanan ini.
Karena setiap manusia berbeda-beda kemampuannya dalam menahan kondisi seperti ini, namun untuk tetap waras sampai ini berakhir,kita harus mampu membangun optimisme dari dalam diri.
Yakinkanlah diri sendiri, bahwa tetap sehat dan bertahan untuk tetap hidup adalah hal yang terbaik yang bisa kita lakukan saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H