Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah mencairkan dana Bantuan Sosial Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp. 2,34 triliun kepada Kementerian Sosial (Kemensos) untuk kemudian disalurkan kepada 9 juta lebih penerima manfaat yang memang sudah terdaftar sebagai penerima PKH.
PKH merupakan salah satu bagian dari jaring pengaman sosial bagi masyarakat yang secara ekonomi terdampak pandemi Covid-19.
Jaring pengaman sosial yang memang ada sebelum virus corona merebak yang berbentuk bantuan sosial di luar PKH, antara lain Kartu Sembako untuk 20 juta penerima yang sebelum pandemi nilainya hanya Rp.150.000 per bulan menjadi Rp. 200.000 per bulan atau naik 25 persen.
Kemudian Kartu Pra Kerja, program ini merupakan janji kampanye Jokowi untuk membantu para tuna karya dan korban PHK agar mendapatkan kerja melalui up skill, bentuknya diberikan pelatihan yang sesuai dan dibayari oleh negara, dan setelah akan diberikan insentif.
Setelah pandemi Covid-19 terjadi, program ini konon katanya dimodifikasi untuk mengurangi beban para pekerja yang terkena PHK, dengan cara memberikan uang sejumlah Rp.600 ribu per orang per bulan selama 3 bulan ditambah Rp.150.000 setelah mengisi survey terkait pelatihan yang diikutinya.
Dana yang disiapkan untuk program ini sebesar Rp.20 triliun naik 100 persen dari rencana sebelum pandemi terjadi yang sebesar Rp. 10 triliun.
Namun beberapa hari belakangan ada sejumlah pendapat lain yang memprotes kegiatan pelatihan belum diperlukan dalam kondisi seperti ini, lebih baik diberikan seluruhnya secara tunai saja.
Nah, selain mengakselerasi dan memperbesar jumlah bantuan dari program bansos yang sudah ada, Pemerintah juga memberikan bantuan khusus untuk masyarakat bawah yang memang dedicated dirancang dalam rangka mengurangi dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Untuk wilayah DKI Jakarta telah disiapkan dana senilai Rp. 2,2 triliun, yang akan diberikan bagi 2,6 juta jiwa atau 1,2 juta Kepala Keluarga (KK) dengan besaran Rp.600.000 per KK selama 3 bulan dalam bentuk sembako.
Bagi warga masyarakat Bodetabek telah disiapkan juga dengan besaran dan bentuk yang sama bagi 1,6 juta jiwa atau 576.000 KK dengan total dana yang disiapkan Rp.1 triliun.
Sementara bagi masyarakat kelas bawah di luar wilayah Jabodetabek telah disiapkan dana sebesar Rp.16,2 triliun dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi 9 juta KK dengan besaran Rp.600.000 per KK per bulan selama 3 bulan dan ini bentuknya tunai.
Selain itu, bagi warga pedesaan telah disiapkan dana sebesar Rp.21 triliun hingga Rp.24 triliun yang merupakan re alokasi anggarandana desa yang biasanya diberikan kepada setiap desa di seluruh Indonesia, besarannya Rp. 600.000 per KK per bulan selama 3 bulan yang diberikan kepada 5,8 juta warga miskin di pedesaan yang selama ini tak tersentuh bantuan dari pemerintah.
Selain memberikan bantuan untuk menambah daya beli masyarakat Pemerintah pun mencoba mengurangi beban masyarakat dengan cara menggratiskan pembayaran listrik bagi golongan pelanggan 450 VA dan 50 persen diskon bagi pelanggan 900VA.
Selain itu bagi para pelaku usaha UMKM dan pemilik cicilan kendaraan penyelenggara jasa transportasi skala kecil seperti tranportasi online, restrukturisasi utang berupa pengurangan bunga dan penundaan pembayaran selama setahun bisa didapatkan.
Selain itu bagi para pengusaha stimulus pajak berupa pembebasan pembayaran pajak selama 6 bulan pun diberikan.
Dari deretan bantuan sosial dan keringanan pembayaraan serta berbagai stimulus tersebut, menyasar warga miskin dan pengusaha saja, tapi bagaimana dengan kelas menengah yang rentan miskin.
Untuk golongan ini sepertinya pemerintah melupakan, padahal pandemi ini memengaruhi semua kasta dan kelas.Â
Menurut data dari World Bank yang dirilis bulan Januari lalu per September 2019 terdapat 115 juta orang kelas menengah yang rentan miskin. Dan mereka ini sangat besar potensinya jatuh miskin karena pandemi ini.
Mereka ini adalah rata-rata merupakan para pekerja formal yang berupah mahal, yang sangat mungkin karena kebijakaan Physical distancing dan mengharuskan setiap manusia untuk tetap berada di rumah, walaupun mungkin sebagian dari mereka bisa bekerja dari rumah atau WFH, tapi pasti banyak juga harus berhenti kerja seperti para pekerja di sektor pariwisata dan industri pendukungnya Hotel, Restaurant, dan beberapa usaha lainnya.
Sekali lagi ini yang sepertinya terlewatkan oleh pemerintah, padahal kelas menengah inilah yang selama ini menjadi pendorong utama laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kita belum tahu elan pemerintah bagi para kelas menengah yang berpotensi jatuh miskin ini, apakah mereka akan dibiarkan begitu saja?Â
Bisa jadi potret masih penuhnya KRL dan jalanan selama pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Â adalah mereka yang dikategorikan kelas menengah tersebut, selain para pekerja harian.
Mereka terpaksa harus bekerja, jika tidak mereka tak akan mendapat upah untuk menyambung hidupnya dan mereka juga sadar bahwa mereka tak akan dibantu oleh pemerintah karena mereka tak termasuk warga miskin.
Jika mereka tak diperhatikan, potensi ketidakberhasilan kebijakan PSBB ini akan menjadi sangat besar. Dan penyebaran virus corona seri terbaru SARS NCov-2 akan terus terjadi. Karena mereka tak punya pilihan.
Seharusnya pendekatan pemerintah terkait pengelolaan krisis ekonomi akibat kebijakan PSBB dalam menangani penanganan penyebaran Covid-19 itu berbeda dengan cara penanganan krisis ekonomi akibat kondisi keuangan global dan kondisi sosial politik seperti yang sudah pernah terjadi sebelumnya.
Karena semua masyarakat sebetulnya benar-benar terdampak akibat kebijakan penangangan pandemi ini, bukan hanya masyarakat miskin saja seperti krisis-krisis sebelumnya. Istilah kasarnya mungkin kita semua harus dibayar untuk tetap berada di rumah.
Jika PSBB ini mau benar-benar berhasil itu yang harus dilakukan pemerintah. Jika tidak bisa semua penduduk Indonesia, kelas menengah dan bawah inilah yang harus dibayar oleh pemerintah untuk tetap berada dirumah.
Mengacu pada data terbaru BPS bahwa jumlah masyarakat miskin sebesar 25 juta jiwa ditambah dengan kelas menengah rentan miskin sebanyak 115 juta jiwa, artinya ada sekitar 140 juta jiwa yang idealnya dibayar oleh pemerintah untuk tetap berada di rumah.
Lah, duitnya dari mana, ya Pemerintah harus menyiapkan itu, harus ada. Caranya? Selain dari re-alokasi dan re-focusing anggaran,Pemerintah juga sudah dipersenjatai oleh Peraturan Pemerintah Pemgganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Siste Keuangan yang memungkinan memperlebar defisit anggaran lebih dari 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Bisa saja defisitnya diperlebar, dan untuk menutupinya dibiayai dengan mengeluarkan Surat Utang melalui pasar keuangan domestik maupun global, atau meminjam secara multilateral kepada lembaga keuangan dunia World Bank, IMF atau Asian Development Bank (ADB).
Apakah kebijakan ini akan dilakukan pemerintah? Entahlah, namun yang jelas, semakin kita tak mentaati kebijakan PSBB semakin lama pula kita dalam situasi seperti ini.
Harapannya sih, tanpa dibayar pun masyarakat sudah bisa mentaati aturan PSBB itu. Namun jika berkaitan dengan perut biasanya masyarakat akan gelap mata, mereka berpikir tak makan sudah pasti mati, keluar cari duit belum tentu juga terpapar Corona.
Semoga pemerintah memiliki solusi yang tepat tekait permasalahan ini, dan masyarakat semua ikut membantu dengan cara sebisa mungkin disiplin di rumah aja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H