Warga Jakarta berbunga-bunga demi mendengar janji Kampanye Anies -Sandi dalam Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2017 lalu, apalagi mereka yang ingin punya rumah namun ngos-ngosan tak mampu menggapai harganya yang melangit.
Saat itu ketika debat tanggal 10 Februari 2017 dalam rangka Kampanye, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, menjanjikan akan menyediakan rumah dengan Down Payment (DP) 0 rupiah bagi seluruh warga Jakarta yang membutuhkan rumah.
Anies Baswedan dalam kesempatan tersebut mengatakan bahwa warga Jakarta mampu membayar cicilan rumah namun tak mampu membayar DP-nya.
Makanya ia bersama Sandi menjanjikan program rumah DP 0 rupiah dalam Pilkada 2017. Seperti diketahui akhirnya Anies-Sandi terpilih sebagai Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017 hingga 2022.
Dari awal ide ini dilemparkan ke publik Pro dan Kontra langsung terjadi, menurut aturan Bank Indonesia terkait KPR, yang mewajiban besaran DP antara 10 hingga 30 persen.
BI tak akan memberikan persetujuan terhadap produk KPR dengan nol DP seperti program Anies-Sandi tersebut.
Untuk mengakalinya, kemudian Anies menyebut bahwa uang muka rumah tersebut tak nol, namun ditalangi dulu oleh pihak Pemerintah DKI Jakarta, dan nantinya masyarakat mencicil.ke mereka.
Setelah itu berbagai akrobat kata di uraikan Anies, Mulai dari rumah tapak, kemudian berubah menjadi rumah susun, nol persen menjad nol rupiah atau beberapa tata kata lain yang terlalu panjang jika harus diuraikan.
Tunggu punya tunggu, baru setelah 2 tahun Anies Baswedan menduduki kursi empuk Gubernur DKI janji manis Anies baru bisa direalisasikan.
Dan ternyata setelah mendekati realisasi program rumah tanpa uang muka ini, bukan untuk mereka yang memiliki gaji sebatas upah minimum seperti yang dijanjikan dalam kampanye, tapi buat mereka yang berpenghasilan antara Rp.7 hingga 10 juta per bulan.
Hal ini bertentangan dengan visi yang digaungkan, rumah layak huni dengan harga terjangkau. Bahkan sebagian calon konsumen yang sudah melihat hunian tersebut, menyebutnya "seperti rumah mainan anak-anak"
Dalam pembahasan penentuan APBD di akhir 2019, program rumah tanpa uang muka ini kembali mencuat, setelah DPRD DKI menolak menyetujui besaran anggaran untuk program ini yang sebesar Rp. 2 triliun.
Anggota dewan kemudian menyepakati anggaran yang akan dikucurkan untuk program unggulan Anies ini, dalam APDB DKI Â hanya Rp. 500 miliar.
Kritik pun mengiringi persetujuan anggaran tersebut, bahkan Fraksi Partai PKS yang notebene-nya merupakan partai pendukung Anies, menyoroti praktek DP 0 rupiah di rumah susun yang pertama dibangun Anies, Rusunami di Klapa Dua.
Di lokasi tersebut tersedia 780 unit hunian, namun yang terjual baru 100 unit saja. Ini akibat dari ketidakjelasan prosedur dan mekanisme di unit Fasilitas Pemilikan Rumah Sejahtera (FPRS) dan Bank DKI sebagai pelaksana pembiayaan kepemilikan hnian tersebut.
Pihak Pemerintah Provinsi DKI, seperti dilansir oleh Liputan6.Com menyatakan bahwa hal ini bisa terjadi karena ada masalah dalam verifikasi di Bank DKI.
Dinas Perumahan DKI menyatakan sejak bulan November 2018 terdapat 2.359 peminat, yang lulus verifikasi administrasi sebanyak 1.790 pemohon.
Setelah mengajukan permohonan kredit ke Bank DKI, menurut Kepala UFPRS, Dzikran Kurniawan ada proses selama 2 minggu untuk verifikasi kelaikan penerima kredit dari Bank DKI.
Akhirnya yang terverifikasi dan layak menerima kredit hanya 100 orang tersebut.
Jadi selama 2 tahun Anies memimpin Jakarta program unggulan rumah tanpa uang muka yang digembar gemborkannya tersebut baru dinikmati  oleh 100 orang tersebut.
Pihak DPRD merasa pesimis bahwa program rumah tanpa uang muka ini akan berhasil seperti yang diungkapkan oleh Pantas Nainggolan dari Fraksi PDIP.
" Salah satunya Masalahnya, kami tak bisa mengawasi  secara langsung program itu,"ujar Pantas beberapa waktu lalu. Seperti yang saya kutip dari Tirto.id.
Hal itu bisa terjadi karena pelaksana program pengadaan rumah tanpa uang muka ini adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Susahnya BUMD tak bisa diawasi langsung oleh DPRD DKI, sesuai aturan yang ada. Berbeda jika pelaksanaanya dilakukan oleh Dinas Perumahan DKI yang bisa langsung diawasi DPRD.
Ketika kemudian terjadi kasus korupsi dalam pengadaan tanah untuk kebutuhan hunian DP 0 rupiah di kawasan yang melibatkan PD Sarana Jaya, sebagai BUMD pelaksana program tersebut, tak mengherankan itu bisa terjadi karena mereke teledor.
"Kalau sampai terjadi begitu berarti kan (Sarana Jaya) tidak teliti, teledor, sehingga mengakibatkan kesalahan," kata Ketua Fraksi PDIP Gembong Warsono. Selasa (10/03/20). Seperti yang dilansir oleh Tagar.id.
PD Sarana Jaya merupakan perusahaan daerah milik DKI di bidang properti yang diberi tamggungjawab untuk pembangunan hunian DP O rupiah tersebut.
Informasi awal terkait kasus korupsi dan pencucian uang yang melibatkan PD Sarana Jaya ini dari adanya surat panggilan yang dilayangkan Bareskrim Polri kepada direksi PD Sarana Jaya.
Dalam surat tersebut disebutkan  dugaan korupsi dan pencucian uang terkait pembelian aset yang dilakukan PD Sarana Jaya mulai dari tahun 2018 hingga 2020.
Prosesnya masih dalam tahap.penyelidikan, belum ada satu pun tersangka yang ditetapkan.
"Benar, lidik (penyelidikan)," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Argo Yuwono, Senin (9/3/2020). Seperti yang saya kutip dari detik.com.
Tentu saja ini merupakan kabar yang menyedihkan, ketika sebuah program yang merupakan tindak lanjut janji kampanye yang kurang realisistis dipaksakan.
Janji manis harus berakhir dengan bau amis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H