Dewas menilai secara bervariasi tanpa ukuran yang jelas. Selain itu Dewas pun menambahkan 10 indikator penilaian yang tak tercantum dalam kontrak manajemen.
Kedua, menurut Pasal 18 Ayat 1 Dewas itu merupakan jabatan non eselon. Jabatan Dewas TVRI tak diatur aturan apapun kecuali Peraturan Pemerintah (PP) Â nomor 13 tahun 2005 dan PP nomor 12 tahun 2005.
Namun kemudian Dewas TVRI itu menafsirkan sendiri bahwa mereka adalah pejabat negara setingkat menteri, ketua/anggota KPK dan BPK.
Konsekuensinya maka mereka mendapatkan tunjangan transportasi sebesar Rp. 5 juta per bulan, mendapat fasilitas kendaraan dan penerbangan kelas bisnis setingkat pejabat-pejabat negara tersebut.
Ketiga, seharusnya sesuai dengan Pasal 42 TVRI seharusnya memiliki Pejabat Pembina Kepegawaian.
Faktanya TVRI tak memiliki PPK, sehingga untuk penambahan pegawai yang bertanggung jawab dan berwenang adalah Menteri  Komunikasi dan Informatika (Menkominfo).
Kondisi ini membuat TVRI tak bisa menambah jumlah pekerja di tengah mulai menuanya para pegawai TVRI.
Keempat, keputusan Dewas TVRI nomor 2 tahun 2018 tak sesuai dengan PP no 13/2005. Keputusan tersebut memberi kewenangan kepada Dewas untuk mengangkat tenaga ahli atau staf khusus untuk membantu tugas dan fungsi Dewas.
Padahal untuk membantu tugas mereka sudah ada kesekretariatan yang berada dibawah Dewan Direksi.
Selain itu, keputusan tersebut memberi kewenangan Dewas untuk mengajukan pertanyaan, mengakses data dan informasi, memantau tempat kerja, serta sarana dan prasarana.
Nah hal ini lah yang membuat tumpang tindih tugas pengawasan dengan Satuan Pengawas Internal.