Relasi antar manusia sebagian besar lantaran ada kepentingan tertentu, apalagi dalam sebuah hubungan kerja, 99,9 persen merupakan transaksi kepentingan.
Ketika salah satu pihak merasa terganggu kepentingannya maka konflik antara dua pihak itu segera akan terjadi.
Begitulah sederhananya, masalah yang mengawali kisruh pemecatan Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP-TVRI), Helmy Yahya oleh Dewan Pengawas (Dewas) yang diketuai oleh Arif Hidayat Thamrin.
Seperti yang sudah diketahui bersama  terdapat lima  alasan yang menjadi dasar pemecatan Helmy Yahya dari kursi Direktur Utama TVRI yang ia duduki 3 tahun terakhir.
Pertama, adalah pembelian hak siar pertandingan Liga Inggris, yang menurut Dewas harga pembeliannya  terlalu mahal dan secara administrasi dianggap tidak tertib administrasi.
Padahal menurut Helmy dalam konferensi pers yang dilaksanakannya hari Jumat(17/01/20) kemarin, dirinya sudah melakukan prosedur administrasi seperti yang sudah diatur.
Ia bersama direksi yang lain sudah menghadap pada Dewas untuk meminta izin pembelian hak siar Liga Inggris tersebut.
Dewas saat itu mengizinkan dengan syarat harus disesuaikan dengan pengaturan anggaran yang ada. Helmy kemudian menggunakan dana Penerimaan Negara  Bukan  Pajak(PNPB) yang ada di TVRI. Jadi bukan memakai dana APBN.
Alasannya , karena tawaran itu datang pertengahan Juni 2019, saat penyusunan anggaran sudah rampung dilaksanakan. Sebagai orang yang lama mengabdi di Kementerian Keuangan sebagai Dosen di almamaternya Sekolah Akuntansi Negara (STAN), saya rasa Helmy paham betul aturan tertib administrasi keuangan negara.
Alasan kedua, terkait re-branding TVRI yang pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketetapan yang sudah disepakati Dewas. Sehingga anggaran untuk kegiatan lain menjadi habis.
Helmy menjawab bahwa rebranding yang ia lakukan justru membuat TVRI lebih segar dan kekinian.
Ia menjelaskan anggaran itu dipergunakan bukan hanya untuk mengganti logo TVRI saja.
"Bukan saja mengganti logo, tetapi apakah anggarannya ada yang tidak sesuai? Sangat sesuai walaupun rebandring itu tidak ada di anggaran," kata Helmy, saat Konpers di Jakarta Jumat(17/01/20) kemarin, seperti yang saya kutip dari Kompas.com.
Dirinya selalu berkonsultasi dengan dewan direksi lain, setiap langkah dalam melakukan rebranding, seperti penggantian seragam karyawan, penggantian logo pada mobil dinas dan kendaraan operasional TVRI hingga untuk mengadakan event terkait peluncuran logo baru TVRI tersebut.Â
Jika kemudian Dewas mengaitkan hal ini dengan jumlah re-run atau siaran ulang program acara diluar program berita yang mencapai 50 persen.
Hal ini dibantah oleh Helmy, justru pada tahun 2017 saat sebelum dirinya masuk ke TVRI jumlah re-run tercatat sebesar 55 persen. Sedangkan pada tahun 2019 setelah ia masuk re-run tercatat hanya 45 persen.
Anggaran di TVRI itu sangat kecil dibandingkan dengan TV swasta, hanya berkisar antara Rp. 1 hingga 2 triliun saja.
Untuk program acara jumlahnya hanya Rp. 132 miliar. Dirinya mengaku sudah putar otak mencari cara supaya re-run menjadi minimal.
"Kalau Anda bagi Rp 132 miliar dibagi 365 hari dibagi 22 jam, sebenarnya kami dapat biaya program per episode Rp 15 juta. Bayar Soimah (aktris) pun tidak cukup," kata dia.
Alasan ketiga, mengenai masalah mutasi pejabat-pejabat di TVRI yang dianggap oleh Dewas tak sesuai prosedur, norma dan aturan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN).
Helmy menyatakan setiap langkah dalam melakukan apapun terkait pekerjaannya sebagai Dirut TVRI selalu dikomunikasikan dengan Dewas, termasuk di dalamnya mutasi-mutasi pejabat di TVRI.
Saking intensnya komunikasi tersebut  pada tahun 2018 terdapat 167 surat direksi kepada Dewas untuk berbagai permasalahan. Artinya setiap 2 hari sekali ada komunikasi resmi antara dirinya dan jajaran direksi dengan Dewas.
Alasan keempat, masalah program acara Kuis Siapa Berani yang dianggap melanggar kepatutan azas ketidakberpihakan dalam memilih sebuah program sesuai aturan yang ada.
Untuk hal ini Helmy membeberkan bahwa program acara Kuis Siapa Berani itu didapatkannya secara gratis, TVRI tak mengeluarkan uang sepeserpun untuk mengakuisisi program acara ini.
Kenapa itu bisa terjadi, karena sebagai pemilik hak property kuis tersebut, Helmy menghibahkan acara tersebut kepada TVRI tanpa meminta royalti sekecil apapun.
Ia beralasan acara itu disiarkan di TVRI agar menarik penonton dan mencari iklan agar TVRI memiliki masukan, yang nantinya bisa dipakai untuk membuat acara-acara lain supaya re-run acara terus bisa dikurangi.
Alasan kelima, jawaban Helmy Yahya setelah di nonaktifkan Dewas tanggal 14 Desember 2019 lalu, premis-premis nya tak berdasar, karena tanpa bukti dan fakta, malah dianggap melakukan penyesatan informasi.
Padahal menurut Helmy, pada tanggal 18 Desember 2019 ia telah mengirimkan jawaban lengkap setebal 27 halaman, dengan 1200 lampiran yang berisi fakta-fakta dan bukti-bukti yang menurut Helmy sah dan relevan dengan berbagai tuduhan kepada dirinya.
Namun rupanya sanggahan Helmy ini tak membuat Dewas bergeming, mereka bersikeras memberhentikan Helmy Yahya sebagai Dirut TVRI.
Arief Hidayat Thamrin, menyatakan bahwa keputusan tersebut sudah sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang  nomor 13 tahun 2005 Tentang Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia.
Ya memang  dalam Pasal 7 poin d Dewas berwenang menetapkan dan memberhentikan dewan direksi TVRI.
Dengan kewenangan tersebut disertai keyakinan bahwa Helmy sudah melanggar aturan-aturan seperti dalam surat pemberhentiannya, Dewas menyatakan bahwa putusan pemberhentian Helmy Yahya sebagai Dirut TVRI bersifat final.
Walaupun keputusan yang disampaikan Dewas itu tak bulat. Terdapat salah satu anggota Dewas yang tak menghendaki Helmy Yahya di berhentikan.
Sebagai tambahan informasi Dewas TVRI berjumlah 5 orang, dengan Ketua Arief Hidayat Thamrin, anggotanya Maryuni Kabul Budiono, Made  Ayu Dewi Mahenny, Pamungkas Trishadiatmoko, dan Supra Wimbarti.
Mereka bisa menduduki jabatan Dewas melalui pansel seperti halnya komisioner OJK atau KPK. melalui Fit and Proper test DPR-Ri setelah nama-namanya diajukan oleh pemerintah.
Rencananya Helmy Yahya akan mengajukan gugatan secara hukum terkait putusan Dewas ini, namun sebelumnya Dewas  dan Helmy akan dipanggil oleh DPR RI Komisi I untuk didengar keterangannya dan mediasi.
Reaksi masyarakat terkait keputusan pemberhentian Helmy ini lebih banyak yang kecewa, mereka beranggapan bahwa secara kasat mata TVRI dibawah kepemimpinan Helmy sangat maju dan menjadi layak ditonton.
Program-program acaranya bagus, terutama siaran-siaran olahraganya Liga Inggris dan Badminton, tampilannya segar, gambarnya jauh lebih baik, pokoknya mereka menjadi tertarik kembali buat nonton TVRI.
Share dari TVRI sebelum Helmy masuk berada di bawah 1 persen saja, artinya seperti berteriak di tengah ruang hampa, nyaris tak ada yang menonton, sekarang setelah dia masuk share rata-ratanya sudah 1,59 persen.
Jika kemudian dikaitkan dengan perbedaan antara TVRI sebagai televisi publik dan TV swasta yang memang bentuknya komersial. Memang agak berbeda.
Namun standar-standar nya agar TV itu ditonton harus tetap ada. Sebagai contoh BBC Inggris, NHK Jepang atau KBS Korea Selatan, tetap menarik buat ditonton karena mereka teknologinya pun oke, programnya di.mix dengan sangat baik.
Helmy coba membuka pintu itu agar menarik terlebih dulu penonton, sambil terus menata program yang sesuai dengan fungsinya sebagai Televisi publik.
Nah, dari sisi pengeloaan keuangan pun, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)memberikan opini Wajar Tanpa pengecualian (WTP) selama Helmy menjadi Dirut TVRI.
Artinya  Helmy sudah melakukan pengelolaan keuangan dengan proper sesuai dengan aturan-aturan standar akuntansi yang sehat. Padahal sebelumnya 3 tahun berturut-turut TVRI mendapat opini buruk dari BPK,disclaimer.
Karyawan-karyawan TVRi pun mengungkapkan ketidak setujuannya dengan menyegel Kantor Dewas. Kondisi sumberdaya manusia di TVRI sebetulnya sangat mengkhawatirkan, bayangkan 15 tahun mereka melakukan moratorium penerimaan karyawan.
Itu berarti nyaris seluruh karyawan TVRI berusia diatas 40 tahun, hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi sebuah lembaga yang berkutat dalam industri kreatif seperti pertelevisian ini.
Konflik antara Dewas dan Dewan  Direksi di TVRI yang berujung pecat memecat,  bukan kali ini saja terjadi.Â
Mungkin aturan yang mengatur hubungan Dewas dan Direksi, serta proses pemilihan Direksi harus dirubah. Jadi formatnya Direksi tak ditetapkan dan diberhentikan oleh Dewas, mungkin melalui fit and proper test dengan pilihan diajukan oleh pansel.
Semoga masalah ini bisa diselesaikan dengan baik.
Sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H