Ia menjelaskan anggaran itu dipergunakan bukan hanya untuk mengganti logo TVRI saja.
"Bukan saja mengganti logo, tetapi apakah anggarannya ada yang tidak sesuai? Sangat sesuai walaupun rebandring itu tidak ada di anggaran," kata Helmy, saat Konpers di Jakarta Jumat(17/01/20) kemarin, seperti yang saya kutip dari Kompas.com.
Dirinya selalu berkonsultasi dengan dewan direksi lain, setiap langkah dalam melakukan rebranding, seperti penggantian seragam karyawan, penggantian logo pada mobil dinas dan kendaraan operasional TVRI hingga untuk mengadakan event terkait peluncuran logo baru TVRI tersebut.Â
Jika kemudian Dewas mengaitkan hal ini dengan jumlah re-run atau siaran ulang program acara diluar program berita yang mencapai 50 persen.
Hal ini dibantah oleh Helmy, justru pada tahun 2017 saat sebelum dirinya masuk ke TVRI jumlah re-run tercatat sebesar 55 persen. Sedangkan pada tahun 2019 setelah ia masuk re-run tercatat hanya 45 persen.
Anggaran di TVRI itu sangat kecil dibandingkan dengan TV swasta, hanya berkisar antara Rp. 1 hingga 2 triliun saja.
Untuk program acara jumlahnya hanya Rp. 132 miliar. Dirinya mengaku sudah putar otak mencari cara supaya re-run menjadi minimal.
"Kalau Anda bagi Rp 132 miliar dibagi 365 hari dibagi 22 jam, sebenarnya kami dapat biaya program per episode Rp 15 juta. Bayar Soimah (aktris) pun tidak cukup," kata dia.
Alasan ketiga, mengenai masalah mutasi pejabat-pejabat di TVRI yang dianggap oleh Dewas tak sesuai prosedur, norma dan aturan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN).
Helmy menyatakan setiap langkah dalam melakukan apapun terkait pekerjaannya sebagai Dirut TVRI selalu dikomunikasikan dengan Dewas, termasuk di dalamnya mutasi-mutasi pejabat di TVRI.
Saking intensnya komunikasi tersebut  pada tahun 2018 terdapat 167 surat direksi kepada Dewas untuk berbagai permasalahan. Artinya setiap 2 hari sekali ada komunikasi resmi antara dirinya dan jajaran direksi dengan Dewas.