Beberapa waktu lalu saya sempat menghadiri Seminar yang diselenggarakan oleh The Habibie Centre yang menghadirkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Indonesia Kerja Hanif Dahiri terkait sistem pengupahan di Indonesia.
Menurut Hanif, sistem pengupahan per jam ini akan mengakomodasi para pekerja freelance berbasis project dengan benefit yang nyaris serupa dengan para pekerja tetap.
Di era disrupsi digital seperti saat ini jenis pekerjaan baru banyak bertumbuhan, dan rata-rata pekerjaan itu bersifat freelance. Jadi menurut Hanif sudah tepatlah jika Sistem pengupahan per jam itu diaplikasikan di Indonesia.
Namun pihak buruh terlihat sangat menentang sekali rencana di berlakukannya sistem pengupahan per jam ini.
Mereka berkilah sangat membutuhkan kepastian kerja dan kepastian pendapatan. Hal ini diungkapkan oleh salah satu ketua sebuah organisasi buruh KSPI, Kahar S Cahyono.
"Buruh menolak omnibus law. Termasuk di dalamnya yang mengatur fleksibilitas jam kerja," kata Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Senin (23/12/19) seperti yang dilansir CNBCIndonesia.com.
Menurut mereka sistem pengupahan saat ini masih relevan dengan kondisi yang ada. Tak heran juga sih jika buruh menginginkan status quo aturan.
Mengingat sistem ini sudah berlangsung hampir sepanjang Republik ini lahir, dan kenyataannya ini memang sangat memanjakan buruh, karena ukuran produktivitas tak dijadikan acuan utama.
Namun disisi lain aturan ketenagakerjaan  yang ada saat ini sangat memberatkan bagi para pengusaha yang berniat berinvestasi di Indonesia.
Era buruh murah sudah tidak relevan di Indonesia saat ini namun para pekerja pun dituntut harus lebih produktif.Â
Salah satu alasan banyaknya para investor mengalihkan investasinya keluar Indonesia, ya karena aturan ketenagakerjaan yang sangat memberatkan pengusaha yang berniat investasi.