Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ketika Upah Kerja Dihitung per Jam, Bagaimana Mekanisme dan Eksesnya?

27 Desember 2019   08:55 Diperbarui: 27 Desember 2019   09:16 1417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi mewacanakan salah satu poin dalam penerbitan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kluster Cipta Lapangan Kerja adalah perubahan skema pengupahan.

Skema upah yang selama ini memakai sistem upah bulanan, melalui Omnibus Law akan berganti menjadi skema upah per jam.

RUU Omnibus Law tersebut saat ini masih dalam tahap penggodokan, nantinya jika jadi skema upah per jam ini diaplikasikan, maka upah yang akan dibayarkan kepada pekerja sesuai dengan jam kerjanya.

Misalnya pekerja tersebut bekerja selama 40 jam perminggu, maka dalam sebulan ia akan mendapatkan upah 40 dikalikan 4 minggu dikalikan upah perjam, itulah upah yang ia akan dapatkan.

Sementara pekerja lain hanya bekerja selama 30 jam per minggu maka ia akan mendapatkan upah 30 dikalikan 4 minggu di kali upah perjam, jumlahnya tentu akan berbeda dengan yang bekerja 40 jam per minggu.

Berbeda dengan saat ini, pekerja yang tak masuk kerja sehari atau seminggu akan mendapat upah sama besarnya dengan pekerja yang masuk kerja selama sebulan penuh.

Skema pengupahan per jam ini sebetulnya sangat fair bagi semua pihak,  pengusaha akan dengan mudah mengukur produktifitas pekerjanya. Bagi pekerja jika ingin mendapat upah lebih banyak ya harus lebih rajin bekerja.

Nah, jadi format penghitungan upah per jam ini bisa dikatakan sebagai sistem pengupahan berbasis produktivitas. Siapa yang lebih produktif ya akan mendapat upah lebih banyak.

Sistem, skema, atau format pengupahan pekerja per jam seperti ini merupakan sesuatu yang asing dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia. 

Berbeda dengan yang terjadi di negara maju, Amerika Serikat(AS) misalnya skema upah per jam adalah sesuatu yang lumrah bagi mereka.

Di AS standar upah per jam itu ditetapkan oleh pasar kerja yang ada saat ini, artinya jika pasar kerja sedang ketat upah pekerja per jam akan naik, namun jika pasar kerja sedang sepi maka upah pekerja per jam akan turun.

Naik turunnya upah pekerja ini akan mempengaruhi inflasi di AS. Apabila tingkat pengangguran tinggi maka inflasi akan rendah.Namun jika tingkat pengangguran rendah maka sudah dapat dipastikan inflasi akan tinggi.

Seperti diketahui, inflasi normalnya akan terjadi salah satunya karena jumlah uang beredar lebih banyak. 

Pengangguran tinggi akan membuat upah per jam turun, uang beredar pun ikut turun karena upah yang diberikan kepada para pekerja juga turun. Dan hal sebaliknya terjadi jika tingkat pengangguran rendah.

Selain itu, Federal Reserve atau Bank Sentralnya AS bisa menentukan arah kebijakan moneternya melalui besaran upah per jam ini.

Saat pertumbuhan upah melambat, berarti terlihat bahwa aktivitas produksi sedang lesu. Output berkurang, pertumbuhan ekonomi melambat, dan ini bisa menjadi salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan moneter.

Itulah makanya karena sistem upah per jam ini membuat ekonomi makro AS lebih simetris dan lebih mudah di analisis.

Selain itu, upah per jam bagi pekerja, akan lebih memudahkan pengusaha dalam mengeksekusi kondisi bisnis terkini. 

Jika situasi ekonomi sedang lesu, permintaan menurun, maka mereka tinggal menurunkan produksinya dengan mengurangi jam kerja para pekerjanya.

Dan ongkos produksi pun menjadi turun karena mereka membayar pekerja sesuai jam mereka bekerja.  

Nah ini berbeda dengan sistem upah bulanan seperti yang saat ini digunakan di Indonesia, mau produksi turun ya mereka harus bayar pekerjanya selama sebulan penuh walaupun mereka hanya bekerja 10 hari misalnya.

Komponen perhitungan upah per jam yang ditetapkan tentu saja sudah menghitung berbagai variabel kebutuhan pekerja. Termasuk di dalamnya uang makan dan transportasi. Diluar benefit, seperti jaminan kesehatan, bonus, dan tax allowance misalnya. 

Beberapa waktu lalu saya sempat menghadiri Seminar yang diselenggarakan oleh The Habibie Centre yang menghadirkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Indonesia Kerja Hanif Dahiri terkait sistem pengupahan di Indonesia.

Menurut Hanif, sistem pengupahan per jam ini akan mengakomodasi para pekerja freelance berbasis project dengan benefit yang nyaris serupa dengan para pekerja tetap.

Di era disrupsi digital seperti saat ini jenis pekerjaan baru banyak bertumbuhan, dan rata-rata pekerjaan itu bersifat freelance. Jadi menurut Hanif sudah tepatlah jika Sistem pengupahan per jam itu diaplikasikan di Indonesia.

Namun pihak buruh terlihat sangat menentang sekali rencana di berlakukannya sistem pengupahan per jam ini.

Mereka berkilah sangat membutuhkan kepastian kerja dan kepastian pendapatan. Hal ini diungkapkan oleh salah satu ketua sebuah organisasi buruh KSPI, Kahar S Cahyono.

"Buruh menolak omnibus law. Termasuk di dalamnya yang mengatur fleksibilitas jam kerja," kata Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Senin (23/12/19) seperti yang dilansir CNBCIndonesia.com.

Menurut mereka sistem pengupahan saat ini masih relevan dengan kondisi yang ada. Tak heran juga sih jika buruh menginginkan status quo aturan.

Mengingat sistem ini sudah berlangsung hampir sepanjang Republik ini lahir, dan kenyataannya ini memang sangat memanjakan buruh, karena ukuran produktivitas tak dijadikan acuan utama.

Namun disisi lain aturan ketenagakerjaan  yang ada saat ini sangat memberatkan bagi para pengusaha yang berniat berinvestasi di Indonesia.

Era buruh murah sudah tidak relevan di Indonesia saat ini namun para pekerja pun dituntut harus lebih produktif. 

Salah satu alasan banyaknya para investor mengalihkan investasinya keluar Indonesia, ya karena aturan ketenagakerjaan yang sangat memberatkan pengusaha yang berniat investasi.

Ke depan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang sekarang sudah masuk tahap pengkajian. Harus berkeadilan bagi semua pihak, pekerja dan pengusaha harus berada di situasi win-win solution.

Dan menurut saya sistem pengupahan per jam ini merupakan salah satu manifestasi dari hubungan berkeadilan bagi pengusaha dan pekerja. 

Kenapa harus takut jika memang pekerja itu bisa produktif, mau lebih banyak upah, ya lebih produktif. Bagi pengusaha juga kan enak produksinya lebih banyak, pemasukan akan lebih banyak.

Akhirnya pemasukan itu akan kembali juga ke pekerja berupa upah. Dan pemgusaha pun kemudian bisa berekspansi membuka lapangan kerja baru.

Saya berharap pemerintah mampu mengakomodasi kepentingan berbagai pihak terkait rencana aturan pengupahan baru ini. Sosialisasi perlu gencar dilaksanakan.

Buka dialog dengan berbagai pihak agar tak menimbulkan kegaduhan baru. 

Sumber. [1] dan [2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun