Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Wajah Jiwasraya Membiru, Akibat Salah Kelola Investasi

6 Desember 2019   07:29 Diperbarui: 6 Desember 2019   07:53 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika  badan kita kekurangan oksigen karena sebab apapun, maka suply darah ke seluruh tubuh kemudian akan tersendat. Dalam kondisi yang sudah sangat gawat secara kasat mata akan terefleksi  pada wajah kita yang membiru, tandanya sudah hampir tak tertolong lagi.

Itulah analogi yang saat ini sedang terjadi di perusahaan asuransi tertua milik negara, Jiwasraya. Situasinya sudah dalam posisi gawat, bahkan Erick Thohir pun selaku penguasa dan pengelola perusahaan-perusahaan pelat merah, tak berani menjanjikan secara tegas Jiwasraya akan kembali sehat dan uang nasabah akan dapat dikembalikan secara utuh.

Dalam acara Mata Najwa di salah satu Stasiun TV Rabu malam (04/12/19) ketika Najwa Shihab  Sang empunya acara menanyakan " apakah mas Menteri bisa menjanjikan uang nasabah Asuransi Jiwasraya akan kembali?"

Menteri BUMN Erick Thohir cuma mampu berkata " ya kita akan usahakan semaksimal mungkin dengan segala upaya agar Jiwasraya bisa sehat kembali" begitu katanya.

Memang separah apa sih kondisi PT Asuransi Jiwasraya ini?  Menurut Direktur Utamanya yang baru, Hexana  Tri Sasongko, kondisi keuangan Jiwasraya saat ini sudah sangat parah dan kronis.

"Jadi secara fundamental perusahaan ini sebenarnya sakitnya sudah serius, dan sakit serius sebuah perusahaan itu bukan membalik tangan mendadak," ujar Hexana beberapa waktu lalu saat mendatangi DPR-RI (20/11/2019) seperti yang dikutip dari Detik.com.

Jiwasraya merupakan Asuransi milik negara dengan Aset  per September 2019 sebesar Rp 25, 68 triliun menyusut jauh dari tahun 2017 lalu yang berjumlah Rp. 45, 69 triliun.

Angka ini tak sebanding dengan kewajiban yang harus segera diselesaikan  Jiwasraya. Menurut catatan liabilitas Perseroan  membengkak  hingga Rp 49, 6 triliun per September 2019.

Alhasil ekuitas yang dimiliki Jiwasraya  menjadi minus Rp. 23,98 triliun pada periode yang sama. Tak perlu heran juga melihat modal yang minus dimiliki oleh Jiwasraya ini, karena memang sudah berpenyakit sejak lama.

Ekuitas itu merupakan modal yang dimiliki perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban. Ekuitas ini terdiri dari modal disetor, saham, laba ditahan, dan modal lainnya.

Nah terakhir Jiwasraya mencicipi kondisi keuangan yang terlihat sehat pada periode 2009-2016 lalu. Pada tahun 2017 sempat disebutkan laba bersih setelah audit yang dinikmati Perseroan sebesar Rp.403 milyar.

Tapi ternyata setelah dilakukan audit ulang oleh Price Waterhouse Cooper (PWC)  bukan untung yang diraih tapi kerugian yang dialami dengan jumlah Rp. 328,44 milyar.

Selidik punya selidik barulah kemudian diketahui bahwa laporan keuangan yang menunjukan bahwa Jiwasraya untung, itu hanyalah rekayasa laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen Perseroan.

Dari sini memang sudah terlihat jelas bahwa manajemen  Jiwasraya ini sudah bobrok sejak lama. Namun busuknya kondisi Jiwasraya baru terkuak ke publik setelah nasabah-nasabah mereka melaporkan atas tertundanya pembayaran kewajiban polis jatuh tempo pada Oktober 2018.

Problem likuiditas menjadi alasan tertundanya pembayaran  oleh perusahaan asuransi pelat merah tersebut. Keterlambatan pembayaran itu untuk produk asuransi,Banccasurance senilai Rp.802 milyar

Ada 4 penyebab terganggunya likuiditas Jiwasraya, pertama  adanya kesalahan pembentukan harga atau mispricing produk saving plan yang mereka terbitkan di medio 2013 sampai 2018 lalu.

Tingkat pengembalian produk Saving Plan ini dipatok antara 9 hingga 14 persen, dan disertai jaminan tingkat pengembalian atau guaranteed return lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI dan yield obligasi, return ini dibayarkan setiap tahun.

Kedua, lemahnya prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Jiwasraya banyak berinvestasi pada instrumen-instrumen keuangan yang memiliki tingkat resiko tinggi hanya untuk mengejar tingkat pengembalian yang tinggi.

Absennya panduan untuk mengelola portofio investasi yang mengatur nilai maksimun untuk berinvestasi di instrumen berisiko tinggi. Menjadi penyebab hal ini bisa terjadi.

22 persen  investasi mereka ditanamkan pada saham, dan hanya 5 persen dari investasi tersebut yang merupakan saham-saham bluechip atau berada di indeks LQ45.

Indeks LQ45 ialah merupakan jajaran 45 saham yang kondisinya relatif stabil dan fluktuasinya tak dalam.  

Begitupun ketika mereka berinvestasi di Reksadana, dari 59 persen investasi di instrumen keuangan tersebut hanya 2 persen yang dikelola oleh manajer investasi kelas satu.

Ketiga, adanya rekayasa harga saham atau window dressing. Mereka masuk melalui jual beli saham dengan dressing reksadana.

Modus yang dipakai, meraka membeli saham yang sudah mahal atau overprice untuk kemudian dijual di harga negosiasi ( dijual diatas harga perolehan) kepada manajer investasi, dan reksadana yang dikelola manajer investasi tersebut kemudian dibeli kembali oleh Jiwasraya.

Hal ini dapat dibuktikan dengan membandingkan portofolio investasi saham langsung yang dimiliki Perseroan sama dengan underlying asset di reksadana yang mereka genggam.

Keempat, adanya tekanan likuiditas dari produk Saving Plan. Nasabah pemegang polis Saving Plan menurun kepercayaannya pada Jiwasraya sehingga mereka berniat meng-klaim polisnya sesegera mungkin.

Tingkat klaim yang terjadi terus meningkat hingga 85 persen dari keseluruhan produk Saving Plan yang terjual.

Selain itu Asuransi pelat merah ini tak memiliki back up asset yang cukup untuk menutupi seluruh kewajibannya di Saving Plan ini sehingga membuat posisinya menjadi default atau gagal bayar.

Padahal dalam dunia investasi gagal bayar adalah hal yang sangat haram dilakukan oleh para isuance instrumen keuangan, karena sekali default, investor tak akan lagi memiliki trust terhadap institusi tersebut. 

Akibatnya yah instrumen keuangan tersebut akan dilepas  oleh investor dan kejatuhan harga hanya soal waktu saja. Terkait instrumen seperti Saving Plan milik Jiwasraya ini maka klaim polis sudah dipastikan akan terjadi secara bersamaan, akhirnya perseroan wajahnya akan membiru bak manusia kekurangan oksigen.

Nah repotnya lagi sebagai perusahaan BUMN Jiwasraya tak memiliki kemewahan untuk melakukan cut loss atau menjual sahamnya dalam posisi rugi untuk membayar klaim nasabah atas polis yang sudah jatuh tempo tersebut.

Karena jika dilakukan cut loss, maka akan menjadi temuan BPK sebab dianggap merugikan keuangan negara. Memang persoalan yang membelit Jiwasraya ini sangat kompleks.

Otoritas Jasa Keuangan(OJK) sebagai pengatur dan pengawas industri asuransi saat ini sedang melakukan berbagai simulasi untuk menyelamatkan Asuransi Jiwasraya ini. 

Berbagai opsi sedang ditempuh termasuk di dalamnya  mencari investor baru untuk menyuntikan dana yang tak sedikit untuk menyelesaikan problem likuiditas yang sedang terjadi di Jiwasraya. Yang jelas OJK harus melindungi kepentingan nasabah.

Kementerian BUMN sendiri saat ini belum menemukan solusi yang pas untuk mengatasi sengkarut di Jiwasraya ini. Mereka terus mencari cara yang paling pas bersama OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Namun yang sudah jelas Asuransi Jiwasraya membutuhkan suntikan dana senilai Rp.32 89 triliun untuk memenuhi 120 persen Risk Base Capital (RBC) minimum yang sudah ditetapkan OJK.

RBC ialah salah satu metode pengukuran Batas Tingkat Solvabilitas yang disyaratkan dalam undang-undang dalam mengukur tingkat kesehatan keuangan sebuah perusahaan asuransi.

Semacam Capital Adequacy Ratio (CAR) atau aset tertimbang modal dalam dunia perbankan, standar kesehatan sebuah bank.

Terus dari mana angka Rp.32,89 trliun itu datangnya?  Ekuitas yang minus saat ini sebesar Rp.30,13 triliun plus pemenuhan kebutuhan RBC senilai Rp. 2,76 triliun. Maka angka itu lah yang keluar.

Akh, dana yang sangat besar sekali rupanya harus dikeluarkan, tak diselamatkan nasib nasabah akan terlunta-lunta, industri asuransi secara keseluruhan pasti akan terganggu.

Apabila diselamatkan, dibutuhkan dana sangat besar, dan berpotensi menimbulkan kekisruhan jika tak benar-benar dibenahi uang besar tersebut akan sekedar lewat saja.

Pekerjaan berat bagi Kementerian BUMN dan OJK, tapi yang pasti kasus Jiwasraya ini harus segera diselesaikan. Itu aja.

Sumber: [1], [2], [3], [4]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun