Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Wajah Jiwasraya Membiru, Akibat Salah Kelola Investasi

6 Desember 2019   07:29 Diperbarui: 6 Desember 2019   07:53 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi ternyata setelah dilakukan audit ulang oleh Price Waterhouse Cooper (PWC)  bukan untung yang diraih tapi kerugian yang dialami dengan jumlah Rp. 328,44 milyar.

Selidik punya selidik barulah kemudian diketahui bahwa laporan keuangan yang menunjukan bahwa Jiwasraya untung, itu hanyalah rekayasa laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen Perseroan.

Dari sini memang sudah terlihat jelas bahwa manajemen  Jiwasraya ini sudah bobrok sejak lama. Namun busuknya kondisi Jiwasraya baru terkuak ke publik setelah nasabah-nasabah mereka melaporkan atas tertundanya pembayaran kewajiban polis jatuh tempo pada Oktober 2018.

Problem likuiditas menjadi alasan tertundanya pembayaran  oleh perusahaan asuransi pelat merah tersebut. Keterlambatan pembayaran itu untuk produk asuransi,Banccasurance senilai Rp.802 milyar

Ada 4 penyebab terganggunya likuiditas Jiwasraya, pertama  adanya kesalahan pembentukan harga atau mispricing produk saving plan yang mereka terbitkan di medio 2013 sampai 2018 lalu.

Tingkat pengembalian produk Saving Plan ini dipatok antara 9 hingga 14 persen, dan disertai jaminan tingkat pengembalian atau guaranteed return lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI dan yield obligasi, return ini dibayarkan setiap tahun.

Kedua, lemahnya prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Jiwasraya banyak berinvestasi pada instrumen-instrumen keuangan yang memiliki tingkat resiko tinggi hanya untuk mengejar tingkat pengembalian yang tinggi.

Absennya panduan untuk mengelola portofio investasi yang mengatur nilai maksimun untuk berinvestasi di instrumen berisiko tinggi. Menjadi penyebab hal ini bisa terjadi.

22 persen  investasi mereka ditanamkan pada saham, dan hanya 5 persen dari investasi tersebut yang merupakan saham-saham bluechip atau berada di indeks LQ45.

Indeks LQ45 ialah merupakan jajaran 45 saham yang kondisinya relatif stabil dan fluktuasinya tak dalam.  

Begitupun ketika mereka berinvestasi di Reksadana, dari 59 persen investasi di instrumen keuangan tersebut hanya 2 persen yang dikelola oleh manajer investasi kelas satu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun