Risma mundur, Siapa yang untung ?
Hanya dalam waktu 3 bulan setelah diangkat menjadi walikota, TRH terancam dengan keputusan pemakzulan yang dilakukan oleh DPRD Surabaya (2011). Keputusan pemakzulan yang bermula dari Perda mengenai Kenaikan Pajak Iklan yang dikeluarkan oleh pemkot yang dianggap menyalahi aturan. Namun pemakzulan ini tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat, mendagri Gamawan Fauzi menolak Pemkzulan tersebut. Pemakzulan ini disetujui oleh 6 Fraksi di DPRD Surabaya dan hanya ditentang oleh Fraksi PKS.
Sejak peristiwa pemakzulan tersebut, yang juga didukung PDI-P melalui Wakil Ketua DPRD masa itu Wisnu Sakti Buana (WSB), suasana politik Surabaya terus memanas. Berbagai persoalan silih berganti muncul, mulai kasus alotnya pembahasan APBD yang menghambat kinerja Pemkot (2012), kasus keributan perihal kewenangan staff ahli TRH yang bernama DR, kasus Wisnu Wardhana yang berbuntut pemecetan sebagai Ketua DPRD Surabaya (2013), Â dan keinginan BDH mundur dari jabatannya sebagai Wakil Walikota karena merasa sudah tidak sevisi lagi dengan cara TRH dalam mengelola kota.
Hingga akhirnya muncul peristiwa yang tidak terduga, saat PILGUB Jawa Timur 2013, BDH yang tidak berniat ikut dalam perebutan kursi Gubernur Jawa Timur, tiba tiba ditugaskan oleh DPP PDI-P untuk maju sebagai calon Gubernur dari PDI-P. Akibat pencalonan ini, BDH seperti berkesempatan keluar dari carut marut kepemimpinan Kota Surabaya dan politik nya yang semakin tidak nyaman. Kosong lah Kursi Wakil Walikota, dimana sebelumnya juga sudah kosong kursi Ketua DPRD Surabaya akibat pemecetan WW sebagai ketua.
Dengan mundurnya BDH dari kursi Wakil Walikota, maka PDI-P sebagai partai tunggal yang mengusung Walikota dan Wakil Walikota Surabaya berhak mengisi kekosongan jabatan tersebut dengan kader nya. Dan tentunya PDI-P berhak memilih siapa kader terbaiknya yang akan dikirim untuk mengemban amanah tersebut.
PDI-P telah memilih kader terbaiknya di Surabaya, WSB, untuk diusung sebagai pengganti BDH, yang saat itu (2013) menjabat sebagai Ketua DPRD Surabaya menggantikan WW yang dipecat. Jika melihat kilas balik jauh kebelakang, WSB termasuk berjasa besar dalam menjadikan TRH sebagai walikota Surabaya, karena WSB lah yang membawa nama TRH untuk direkomendasikan DPP PDI-P sebagai calon walikota. Namun sisi lain, tidak dapat tutup mata juga, WSB pulalah yang ikut dalam kelompok yang berusaha memakzulkan TRH pada saat awal dilantik jadi walikota (2011).
Surabaya semakin memanas sejak WSB dilantik, TRH ngotot menolak dan bermanuver dengan membawa persoalan ini ke publik. Seolah ada tekanan yang sedemikian besar yang harus dihadapi oleh TRH dalam mengelola kota.
Dalam kasus pengangkatan wakil Walikota, TRH mengesankan pada publik bahwa perasanaan dan suara nya tidak dipertimbangkan oleh PDI-P. TRH menyuarakan keinginan-nya untuk mundur sebagai walikota menghadapai persoalan yang semakin dirasa berat, tidak mampu dipikul dan dipertanggung-jawabkan nantinya.
Dengan segala peristiwa diatas, saya ingin coba mengajak pembaca menganalisa apa manfaat dengan sikap TRH yang ngotot ingin mundur dan membawa persoalan nya ke publik.
Pertama harus diingat bahwa DPRD Surabaya yang ada saat ini, sebentar lagi akan habis masa kerjanya. Praktis mereka sudah tidak memiliki kekuasaan apapun yang dapat mengancam kedudukan walikota Surabaya. Semua Parpol akan konsentrasi pada PEMILU 2014 dibulan april nanti. Kepentingan Parpol saat ini adalah mengamankan suaranya dengan segala cara dalam perebutan Kursi DPRD surabaya 2014-2019.
Kedua, bahwa jabatan Walikota (termasuk wakil walikota) akan segera berakhir september tahun 2015, praktis hanya sisa 1,5 tahun efektif menjalankan roda pemerintahan Surabaya.