Eddy Mofu, anggota Mambesak, menurut tahanan, dipukul di kepala, ditikam di leher dan dibuang ke laut. Yang lain disuruh berenang ke perahu dan akhirnya menemukan tempat berlindung di sebuah gua. Beberapa hari kemudian, Ap muncul dari persembunyiannya untuk buang air kecil. Dia segera dikelilingi oleh pasukan elit dan ditembak mati.
Menurut Budiardjo, ada laporan yang saling bertentangan tentang apa yang terjadi selanjutnya. Ada yang bilang dia meninggal. Yang lain mengklaim dia berhasil sampai ke rumah sakit terdekat, di mana dia meminta seorang perawat untuk memberikan cincin kawinnya kepada istrinya di pengasingan.
Warisan Api
"Setelah Ap dibunuh, sebuah sumber memberi tahu saya bahwa perwira militer membakar rumahnya dan sebagian besar arsipnya," kata Ayos. Anggota Mambesak yang tersisa diusir ke pengasingan atau diintimidasi agar diam. Keluarga Ap tetap bersembunyi di Papua Nugini untuk sementara waktu, sebelum mencari perlindungan di Belanda, di mana mereka tinggal sampai sekarang. Warisan Ap, tampaknya, telah hilang dari sejarah.
Tapi cerita dan pekerjaannya entah bagaimana bertahan. Wartawan George Junus Aditjondro, yang sering bepergian di Papua dan menjalin persahabatan pribadi yang dekat dengan Ap, menulis tentang Mambesak dalam bukunya, Cahaya Bintang Kejora. Cendekiawan seperti Frank Hubatka mempelajari pendekatan kuratorialnya, Universitas Cendrawasih akhirnya menerbitkan kembali kaset-kasetnya, dan teman-teman serta anggota keluarga menyimpan arsip dan kenangan mereka secara pribadi.
"Agak sulit untuk menyusun garis waktu yang akurat dari kehidupan dan pekerjaannya," kata Ibiroma. "Banyak mantan anggota Mambesak yang masih trauma dan menolak untuk diwawancarai. Arsip-arsipnya berserakan dan tidak lengkap, serta banyak tulisan yang hilang. Kami harus mendekati setiap mantan anggota satu per satu dan perlahan-lahan membuat ulang ceritanya."
Penelitian Ibiroma akhirnya menarik perhatian Ayos, salah satu kurator pameran seni Jogja Biennale tahun ini. "Fokus kami tahun ini adalah Oceania sebagai zona sosiopsikologis yang meliputi Indonesia Timur hingga Hawaii," jelas Ayos. "Wilayah ini tidak hanya berbagi gen budaya yang sama tetapi juga masalah sosial dan solidaritas yang sama."
Perhatian mereka tentu saja beralih ke Papua, di mana sekelompok sarjana di Universitas Cendrawasih bekerja keras untuk menghidupkan kembali warisan Ap. "Di luar prestasinya sebagai musisi, dia juga kurator sejati pertama di Papua," kata Ayos. "Pendekatan kuratorialnya memadukan aktivisme seni dan budaya, menjauh dari museum seni dan pameran terbatas. Sebaliknya, ia mengungkapkan temuannya melalui musik dan pertunjukan."
Berkolaborasi dengan Universitas Cendrawasih sebagai mitra "docking program", Jogja Biennale pada akhirnya bertujuan untuk merayakan warisan Ap sebagai kurator perintis di Indonesia Timur. "Dalam kajian kuratorial Indonesia, orang seperti Ap terabaikan," kata Ayos. "Sejarah seni rupa Indonesia didominasi oleh kurator Jawa. Memiliki orang-orang seperti Arnold Ap dalam narasi akan memperluas wawasan kami."
Peringatan tahunan masih menandai tanggal pembentukan Mambesak dan kematian Arnold Ap. "Arnold Ap adalah ikon budaya, tetapi dia juga seseorang yang menyatukan orang Papua melalui musik," kata Ibiroma. "Baginya, tidak ada budaya yang lebih unggul atau lebih rendah. Setiap budaya di suatu negara melengkapi dan menyempurnakan yang lain." Jika Papua benar-benar menjadi bagian dari Indonesia, menurut Ap, maka budayanya perlu berkembang, bukan ditekan.
"Saya pikir dia pantas dihormati," kata Ibiroma. "Dan pemerintah harus mengakui bahwa mereka salah membunuhnya."