Dengan semangat kami masak dan persiapan untuk summit attack. Bersama rombongan lain, kami dengan lega berjalan menyusuri sabana dengan kelap-kelip bintang di langit. Suhu waktu itu tidak terlalu dingin hingga perjalanan berjalan normal. Sesampainya di Pasar Dieng kami hampir saja tersesat.Â
Setelah sekitar 15 menit mencari jalan akhirnya "beruntung" bertemu jejak berupa sampah, yang berarti ini jalur semestinya. Terkenal di kalangan pendaki bahwa semakin banyaknya sampah di sepanjang jalur pendakian hampir dipastikan mustahil pendaki tersesat.Â
Meski begitu, bukan berarti boleh membuang sampang sembarangan seperti pesan, "jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan mengambil apapun kecuali foto".Â
Mentari mulai mengintip malu dari ufuk timur saat kami hampir menggapai puncak. Headlamp kami matikan dan indahnya mata memandang selalu memanjakan kami hingga sampai puncak. Sesampainya di puncak kami bergegas menunaikan sholat subuh sebelum matahari muncul penuh.Â
Lautan awan dengan keindahan bumi dari puncak Gunung Lawu, pelukan, ucapan selamat, dan muka penuh keharuan setiap pendaki terpancar di puncak kala itu Setelah puas menikmati pemandangan di puncak akhirnya kami turun dan mampir ke warung tertinggi di Indonesia nan legendaris "Mbok Yem". Hanya dengan 13 ribu kami menikmati hidangan nasi telur dan sayur.Â
Tak lama kami segera bergegas ke camp dan packing untuk turun. Naasnya, hujan deras menghajar kami saat perjalanan turun dengan jalan pendakian yang berubah bak aliran sungai. Beruntung dengan perencanaan dan persiapan matang kami sampai di basecamp dan Jogja dengan selamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H