Saya mendidik diri bahwa rasa tidak adil dan juga penilaian diskrimintaif yang saya rasakan tadinya tidak lebih dari sekedar persepsi subjektif saya semata. Siapa tahu tidak bermaksud seperti itu.Â
Pun bila maksudnya seperti itu lalu apa dayamu untuk mengendalikan tindakan orang lain  selain menjaga responmu terhadap tindakan-tindakan seperti itu?Â
Ya, saya harus mengendalikan respon dan juga mengontrol emosi saya sendiri lalu saya merasa tenang. Tapi saya kurang bijaksana sebab selama sabda suci keluar dari mulutnya tidak satupun yang saya simak.Â
Ada 'noise' dalam benak saya yang menghabat dan resisten. Saya lalu menulis peristiwa itu ke dalam sebuah buku catatan sembari mengikuti ritual duduk berdiri bernyanyi.
Dari pengalaman tersebut saya lalu menyimpulkan sesuatu terkait pola komunikasi diera digital yang penuh dengan distraksi dan juga disrupsi.Â
Pola komunikasi di era digital ini, bila kita tidak sreg dengan seseorang atau lawan bicara maka kita dapat beralih atau mengalihkan diri pada gadget. Apakah ini juga sebagai bagian dari pembentukan 'personal space?' Bisa jadi!
Peristiwa pengabaian atau tidak menghargai tadi lalu saya menyimpulkan sebagai sebuah fenomen cara bereksistensi di era digital. Entah itu dia sebagai bawahan paling bawah atau atasan paling atas sekalipun.Â
Entah dia orang paling kudus ataupun orang yang dijehanamkan oleh orang-orang suci. Fenomen seperti ini harus dinilai sebagai sesuatu yang normal (New-Normal atau Anomali).
Dalam era-era terdahulu tentu juga kita memiliki perasaan tidak suka pada individu tertentu tetapi agak sulit untuk mengelak bila bertemu dan terpaksa harus pura-pura tersenyum, menampilkan keramahan semu dan palsu, tapi tidak lama berselang kita akan 'mbecik' Â (menghina:bahasa Manggarai) orang tersebut di belakang.Â
Tapi sekarang kita punya pengalih yang canggih, ponsel pintar. Tidak ada orang lain yang sesukanya melanggar privasi kita bila kita sedang sibuk di handphone.Â