Mohon tunggu...
Fernandes Nato
Fernandes Nato Mohon Tunggu... Guru - Guru | Cricketer | Bererod Gratia

Saya adalah seorang pendidik pada sebuah sekolah swasta di Jakarta. Semoga melalui tulisan dan berbagi gagasan di media ini kita dapat saling memberdayakan dan mencerahkan. Mari kita saling follow 'tuk perluas lingkar kebaikan. Salam Kenal.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Menjabat Erat Tangan Sendiri

18 Januari 2023   00:44 Diperbarui: 8 Februari 2023   09:24 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: mencintai diri sendiri. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Hidup manusia barangkali terdiri atas tumpukan-tumpukan pengalaman entah itu yang menyenangkan, menduka, juga kecewa. Entah itu pengalaman yang sifatnya sangat pribadi-eksistesial atau juga pengalama bersama sebagai manusia. 

Ada pengalaman yang membekas dan sulit untuk beralu bahkan terus menggantung dalam benak ketika itu terlalu sentimentil dan kita berbaginya dengan orang lain. 

Terkait berbagi ini kita juga harus hati-hati sebab tidak setiap orang dapat dipercaya dan sering kali mengekploitasi kegundahan orang lain untuk kepentingan diri mereka sendiri.

Pada artikel ini saya hendak membagikan sebuah pengalaman yang cukup personal dalam perjumpaan dengan yang lain (the others). 

Ceritanya barangkali tidak terlalu menarik untuk disimak juga mungkin cenderung membuka aib diri sebab boleh jadi cerita ini tidak perlu ditanggapi secara serius apalagi sampai menulis panjang lebar dalam sebuah blog yang dapat diakses publik seperti ini. 

Tapi dari pengalaman ini sebenarnya saya ingin berbagi kiat bagaimana cara kita mengahadapi perlakuan tertentu, terutama merendahkan, dari orang lain terhadap diri kita. 

Bagaimana agar kita tetap menjabat erat tangan kita sendiri dan tidak harus terluka karena perlakuan orang lain apalagi bila sampai melukai.

Dalam sebuah peristiwa saya terlibat perjumpaan dengan beberapa orang yang menarik untuk disimak lakunya. 

Ketika masuk pintu ruang pertemuan tersebut salah seorang yang telah datang lebih awal dalam ruang tersebut menyambut dan menyapa, mengucapkan selamat tahun baru sembari mengulur tangan. 

Saya pun menyambut tangan orang tersebut dan mengucapkan hal serupa juga padanya. Orang kedua yang saya jumpai hanya tersenyum saja. Saya hendak mengulurkan tangan dan megucapkan selamat tetapi kedua tangan orang tersebut dia selibkan di antara dua pahanya sambil duduk tanpa mengucap kata, tersenyum saja. 

Saya membalas senyuman tersebut dengan sumringah lalu beranjak menuju seorang yang lain untuk menyapa dan berjabat tangan. Beliau itu seorang pimpinan pada level tertentu dan juga sangat dekat dengan Tuhan (setidaknya melalui omongan atau ujaran-ujaran kudusnya).

Saya lalu mendekat, mengucapkan salam, tetapi orang tersebut berpaling dan tunduk menatap layar ponsel tanpa melihat ke arah saya. Saya berhenti sejenak setelah lebih dekat lalu menyapanya dengan predikat yang melekat pada dirinya. 

Ia hanya bilang iya ya ya ya... sambil tidak lepas tatapan lekat pada layar poneselnya. Benar-benar sedang menikamti hal duniawi yang sering 'diceritakan' agar kita menghindari kelekatan pada keduniawian tersebut. 

Mungkin sangat sibuk, membaca artikel penting di internet, dan juga mungkin masih belum diperkenankan untuk berjabat tangan walaupun pemerintah telah mengumumkan berakhirnya PPKM. Saya masih pakai masker sebab itu di dalam ruangan. 

Bila tangan tidak berjabat tapi setidaknya sapaan salam tidak berlalu begitu saja atau menyungging senyuman. Dalam relasi interpersonal hal-hal kecil macam itu sudah cukup sebagai tanda menghargai kehadiran orang lain.

Saya lalu melangkah menuju ke tempat duduk yang agak ke belakang sembari merenung sejenak. Saya membatin bawha tidak danya jabat tangan tadi mengindikasikan belum diperbolehnya berjabat tangan dilingkungan kerja. 

Saya berpikir positif. Lalu duduk merunduk sembari membuka handphone untuk menyimak beberapa cuitan di twitter sebab acara belum juga mulai.

Beberapa orang rekan lalu mulai berdatangan. Menebar senyuman dan berjabat tangan satu dan yang lain.  Beliau yang adalah atasan dimana tadi sibuk dengan phonsel ketika saya datang menyapa juga menjabat tangan orang lain yang masuk ke dalam ruangan tersebut. 

Saya agak tertegun dan protes dalam batin atas perlakuan diskriminatifnya. Tapi protes saya tidak lama sebab tangan-tangan kawan berkawan berjuluran ke arah saya untuk saling menjabat. Saya menyambut dengan penuh sukacita sembari mengucapkan selamat hari raya dan juga tahun baru 2023.

Saya lalu memutuskan untuk tidak merasa terganggu dengan gestur sanga orang kudus tersebut (saya menyebut orang kudus sebab setelahnya akan ada firman Tuhan mengalir dari mulutnya selancar air terjun Niagara). 

Ketika memutuskan untuk mengendalikan diri saya agar tidak larut dalam intimidasi dan penindasan emosi yang sama sekali tidak teratur. Saya menata respon dengan baik seba  itu yang ada pada saya dan bisa saya kedalikan.

Saya mendidik diri bahwa rasa tidak adil dan juga penilaian diskrimintaif yang saya rasakan tadinya tidak lebih dari sekedar persepsi subjektif saya semata. Siapa tahu tidak bermaksud seperti itu. 

Pun bila maksudnya seperti itu lalu apa dayamu untuk mengendalikan tindakan orang lain  selain menjaga responmu terhadap tindakan-tindakan seperti itu? 

Ya, saya harus mengendalikan respon dan juga mengontrol emosi saya sendiri lalu saya merasa tenang. Tapi saya kurang bijaksana sebab selama sabda suci keluar dari mulutnya tidak satupun yang saya simak. 

Ada 'noise' dalam benak saya yang menghabat dan resisten. Saya lalu menulis peristiwa itu ke dalam sebuah buku catatan sembari mengikuti ritual duduk berdiri bernyanyi.

Pola Komunikasi era Digital

Dari pengalaman tersebut saya lalu menyimpulkan sesuatu terkait pola komunikasi diera digital yang penuh dengan distraksi dan juga disrupsi. 

Pola komunikasi di era digital ini, bila kita tidak sreg dengan seseorang atau lawan bicara maka kita dapat beralih atau mengalihkan diri pada gadget. Apakah ini juga sebagai bagian dari pembentukan 'personal space?' Bisa jadi!

Peristiwa pengabaian atau tidak menghargai tadi lalu saya menyimpulkan sebagai sebuah fenomen cara bereksistensi di era digital. Entah itu dia sebagai bawahan paling bawah atau atasan paling atas sekalipun. 

Entah dia orang paling kudus ataupun orang yang dijehanamkan oleh orang-orang suci. Fenomen seperti ini harus dinilai sebagai sesuatu yang normal (New-Normal atau Anomali).

Dalam era-era terdahulu tentu juga kita memiliki perasaan tidak suka pada individu tertentu tetapi agak sulit untuk mengelak bila bertemu dan terpaksa harus pura-pura tersenyum, menampilkan keramahan semu dan palsu, tapi tidak lama berselang kita akan 'mbecik'  (menghina:bahasa Manggarai) orang tersebut di belakang. 

Tapi sekarang kita punya pengalih yang canggih, ponsel pintar. Tidak ada orang lain yang sesukanya melanggar privasi kita bila kita sedang sibuk di handphone. 

Entah kita benar-benar sibuk atau kita menampakkan diri tampak sibuk saja agar dapat dinilai baik oleh Human Capital lalu gaji naik (bagian ini sih gak nyambung yah).

Healing Bersama Stoikisme

Mngontrol jiwa, kesadaran (rasio) dan segala yang bergantung pada kita secara bijaksana adalah hal paling penting dari pengajaran stoikisme sehingga kita tidak tertindas oleh perasaan sendiri atas perbuatan atau perkataan orang lain. 

Juga tidak terjerambab ke dalam 'error of reasoning' dalam menilai orang lain. Sehingga sangat penting untuk memahami pola dan psikologi komunikasi dewasa ini, era digital. 

Harus bisa merasa biasa saja ketika berhadapan dengan gejala-gejala baru yang barangkali pada dasawarsa sebelumnya hal tersebut sebagai sesuatu yang tabu.

Kita punya hak untuk tidak terluka oleh penilaian orang lain. Kita punya hak untuk tidak terusik oleh komentar orang lain tentang siapa kita. 

Kita punya hak untuk mengabaikan apa saja yang mana hal tersebut tidak akan membuat kita menjadi lebih mencintai kebijaksanaan. Kita punya hak untuk bahagia dan tidak tersandra oleh rasa iri, dengkin, cemburu dan kecendrungan tidak teratur dan lainnya.

Begitulah cara saya kemudian menyikapi peristiwa yang agaknya biasa saja tetapi saya kok terganggu. Pun bila itu sebagai sebuah tindakan yang menjadi bagian dari 'cancle culture' yang dilakukan oleh seorang pimpinan (walaupun tidak langsung).

Saya harus memastikan bahwa tindakan diskriminasi seperti itu akan saya jadikan sebagai fondasi dalam hidup bersama di ruang digital atapun korporeal. 

Kemudian, saya akan terus memperluas horison sehingga dapat lebih memahami pluralitas cara berada manusia secara memadai lalu menjadi manusia yang genuin-orisinil dan memiliki self acceptence sembari mendekap erat keberagaman cara berada setiap perjumpaan dengan yang lain.

Ada sebuah kebijaksaanaan dalam peribahasa inggris yang menurut saya baik untuk direfleksikan: If people throw stones at you. Don't throw them back. Collect them and build an empire. 

Tetap kritis dalam setiap keadaan agar dapat berlaku secara bijaksana dalam merespon keadaan tersebut. Sebab pada seorang penjahat sekalipun kita dapat belajar sebuah kebijaksanaan dan radikalitas sebuah tindakan yang membebaskan. 

Fernandes Nato*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun