Mohon tunggu...
Fernandes Nato
Fernandes Nato Mohon Tunggu... Guru - Guru | Cricketer | Bererod Gratia

Saya adalah seorang pendidik pada sebuah sekolah swasta di Jakarta. Semoga melalui tulisan dan berbagi gagasan di media ini kita dapat saling memberdayakan dan mencerahkan. Mari kita saling follow 'tuk perluas lingkar kebaikan. Salam Kenal.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Problematisnya "Anjing Pavlov"

25 September 2022   15:40 Diperbarui: 27 September 2022   08:12 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"... secara anatomis strukur biologis mamalia seperti anjing itu sama seperti manusia. Ada bagian dari otak anjing bernama amikdala untuk merespon sesuatu (stimulus) yang juga terdapat pada setiap mamalia. Manusia dalam klasifikasi biologis adalah mamalia..." 

Demikian bung Gerald menanggapi sebuah pertanyaan yang saya ajukan  terkait penerapan percobaan teori behaviorisme oleh Pavlov pada anjing yang diterapkan begitu saja pada manusia dalam sebuah kuliah Teori Belajar. "Untuk percobaan itu tidak bisa menggunakan manusia tetapi menggunakan hewan yang memiliki kesamaan anatomis dengan manusia" sambungnya.

Jawaban ini barangkali sangat menyenangkan bagi manusia dan para ahli dilaboratorium Ketika menggunakan mamalia lainnya untuk dijadikan sebagai objek percobaan ilmu pengetahuan manusia, menjadi objek experiment saja. 

Lalu, apakah karena memiliki kemiripan anatomis lalu apa yang dicobakan pada binatang dapat begitu saja diterapkan pada manusia? Deretan pertanyaan lainnya  tentuk akan segera menyeruak bila tidak segera ditengahi. 

Barangkali pertanyaan yang saya ajukan ini juga bagian dari gugatan terhadap praktik-praktik sains yang sudah sekian lama ditanyakan. Tentu tidak bermaksud untuk menghambat perkembangan sains tetapi lebih kepada menjaga kadar etis pada sains sehingga tetap dengan pertimbangan yang mendalam dalam  melakukan berbagai experimen atau percobaan-perobaan biologis maupun  psikologis.

"... menggunakan anjing sebagai bahan percobaan tentu memiliki makna tersendiri," demikian Ibu Alin mengawali tanggapannya atas pertanyaan saya yang sama. "Bila eksperimen tersebut mendapat hasil baik pada binatang yang nota bene tidak memiliki akal budi, tentu bila diterapkan pada manusia yang memiliki akal budi akan jauh lebih mengalami perubahan pada tata laku dan tata pikir" sambungnya.

Jawaban ini tidak kalah mengerikannya dan sangat mengkhawatirkan bila kita selidik dengan lebih seksama. Apakah kemudian bila praktik tersebut tidak berhasil diterapkan pada manusia yang berakal budi tadi lantas kita mendapat konfirmasi teoritis bahwa manusia derajat kogntifnya menjadi lebih rendah dari anjing. 

Bahkan 'penganjingan dan pembinatangan' terhadap manusia itu menjadi  legal? Pada poin ini sangat perlu untuk lebih hati-hati dalam menjelaskan gagasan Pavlov tersebut.

Menurut saya, dalam konteks dunia Pendidikan, experiment psikologis (bukan fisiologis) agar dapat terbentuknya peserta didik yang 'kalos khai aghatos', elok dan rupawan secara kognitif seperti dalam filsafat Pendidikan Platon, Phaidea, seharusnya lebih dikedepankan. 

Pendekatan Pendidikan (pembelajaran) yang digagas mestinya hasil experiment yang dilakukan pada makluk yang lebih tinggi derajanya dari manusia. 

Proses Pendidikan dapat dilakukan dengan mengimitasi hal-hal yang lebih bermutu dan memiliki nilai yang lebih luhur. Bukan justru menarik manusia yang berakal budi itu turun kelas pada mamalia yang lebih rendah darinya.

Saya menampilkan dua tanggapan ini sebagai pembuka dalam refleksi saya terhadap teori belajar Behaviorisme yang dikemukakan oleh Pavlov Cs., dalam matakuliah Teori Belajar dan Konsep Mengajar. 

Gambaran dialektis ini sengaja saya cuplikkan sebagai bentuk apresiasi terhadap kawan-kawan satu angkatan yang begitu gigih dalam studi juga mau berpikir dengan standart tinggi. Kawan-kawan satu angkatan ini kebetulan adalah banyak guru dan juga praktisi dalam dunia pendidika dalam varian yang lainnya di lingkungan kerja masing-masing.

Behaviorisme dan Perubahan Prilaku

Manusia adalah subjek yang sangat kompleks untuk dipahami. Ada begitu banyak fenomena yang menarik untuk disimak terkait eksistensinya. 

Barangkali komplesitas eksistenis manusia tersebut menyulut Pavlov dan empat kawan lainnya untuk membuat sebuah experimen dalam membentuk pola laku manusia sehingga mengalami perubahan pola pikir (menilai stumulus) dan juga pola laku (respon atas stimulus).

Tentu tidak ada teori yang bebas kritik sehingga dapat diterima oleh publik, diadaptasi oleh publik, dan menjadi salah satu pendekatan yang digunakan dalam pembudayaan nilai (belajar) pada satuan pendidikan.  Behaviorisme sendiri memiliki intensi utama agar terjadinya perubahan (pola pikir dan juga pola laku) pada diri manusia (dalam konteks pendidikan tentu agar terjadinya perubahan pola pikir dan laku siswa ke arah yang lebih baik dan elok).

Adanya stimulus dan juga respons menjadi kata kunci dalam teori Behaviorisme tersebut. Stimulus yang kuat mestinya memungkinkan terjadinya respons yang kuat pula. 

Dalam konteks pembelajaran di sekolah, adanya ragam apresiasi (stimulus) bila tercapainya prestasi (respon) tertentu oleh siswa dalam belajara menjadi sebuah praktik tersendiri dari behaviorisme. 

Praktik 'Anjing Pavlov' menunjukan bahwa secara naluriah atau alamiah manusia akan memberikan respons pada stimulus tertentu dengan pengkondisian tertentu pula.

Watson dalam eksperimennya (little Albert experiment) menekankan sebuah pengkondisian dalam aktivitas pembelajaran. 'Percobaan little Albert' dari Watson tersebut memungkinakan seseorang dapat terkondisikan emosinya demi tujuan tertentu, ketaatan ataupun rasa bahagia, misalnya. 

Berbeda dengan Pavlov yang meneliti kondisi alamiahnya (nature) seseorang (meliur) bila adanya stimulus. Watson meneliti bahwa ada juga hal yang dapat dilakukan atau dibentuk dari luar yang sifat alamiah tersebut terhadap manusia asalkan dilakukan secara berulang dengan intensitas tertentu.

Lain halnya dengan Skinner yang berpendapat bahwa perubahan prilaku manusia itu terjadi secara alamiah dan secara kebetulan mereka menemukan stimulus tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan prilaku pada seseorang. 

Bila Stimulus tersebut tidak lagi menyebabkan konsekusnesi tertentu atau perubahan prilaku tertentu maka dengan sendirinya stimulus tersebut menjadi tidak relevan. 

Mengikuti logika Skinner tersebut, mestinya manusia akan secara natural juga mampu menemukan stimulus baru dalam mengembangkan pola laku dan pikirnya bila stimulus yang terdahulu telah menjadi tidak relevan.

Percobaan pada 'Skinner Box' menunjukkan bukti gagasannya tersebut dimana seekor tikus yang ditaruh di dalam box dengan tuas tertentu pada salah satu sisinya yang menghubungkan pada sumber makanan. 

Secara tidak sengaja tikus menekan tuas tersebut lalu keluar makanan. Tindakan tidak sengaja tersebut membuat tikus menekan tuas secara berulang dan sealu diganjari makanan. Dari gagasan Skinner tersebut dapat diadaptasi ke dalam kegiatan pembelajaran pun dalam pendampingan lainnya terhadap peserta didik.

Catatan penutup

Teori belajar Behaviorisme merupakan sebuah pemikiran yang mana perubahan prilaku pada manusia (siswa dalam konteks sekolah) ditentukan oleh sesuatu yang ada di luar dirinya (faktor external). 

Teori ini kemudian  seperti sebuah 'stimulus' sehingga melahirkan 'respons' dari pemikir lainnya untuk membetuk proposisi baru, terutama faktor internal dari manusia yang kemudian dapat membentuk responsnya terhadap sebuah stimulus bahkan sampai tidak merespon sama sekali (mungkin hal tersebut juga sebagai sebuah respon).

Terlepas dari adanya ragam kritik terhadap pemikiran Pavlov dan kawan-kawannya, hal tersebut tentu tidak membuat pemikiran mereka menjadi tidak relevan. Praktik atas pemikiran mereka ini tentu masih sangat relevan dalam dunia pendidikan saat ini bahkan dalam komunitas sosial masyarakat.

Mengoperasionalkan pemikiran mereka ini tentu bukan perkara mudah dan perlu usaha penuh sadar sehingga tidak menjadi salah kaprah. Praktik-praktik di level satuan pendidikan tentu saja bisa sangat beragam sesuai dengan karakteristik masing-masing Satuan Pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun