"... secara anatomis strukur biologis mamalia seperti anjing itu sama seperti manusia. Ada bagian dari otak anjing bernama amikdala untuk merespon sesuatu (stimulus) yang juga terdapat pada setiap mamalia. Manusia dalam klasifikasi biologis adalah mamalia..."Â
Demikian bung Gerald menanggapi sebuah pertanyaan yang saya ajukan  terkait penerapan percobaan teori behaviorisme oleh Pavlov pada anjing yang diterapkan begitu saja pada manusia dalam sebuah kuliah Teori Belajar. "Untuk percobaan itu tidak bisa menggunakan manusia tetapi menggunakan hewan yang memiliki kesamaan anatomis dengan manusia" sambungnya.
Jawaban ini barangkali sangat menyenangkan bagi manusia dan para ahli dilaboratorium Ketika menggunakan mamalia lainnya untuk dijadikan sebagai objek percobaan ilmu pengetahuan manusia, menjadi objek experiment saja.Â
Lalu, apakah karena memiliki kemiripan anatomis lalu apa yang dicobakan pada binatang dapat begitu saja diterapkan pada manusia? Deretan pertanyaan lainnya  tentuk akan segera menyeruak bila tidak segera ditengahi.Â
Barangkali pertanyaan yang saya ajukan ini juga bagian dari gugatan terhadap praktik-praktik sains yang sudah sekian lama ditanyakan. Tentu tidak bermaksud untuk menghambat perkembangan sains tetapi lebih kepada menjaga kadar etis pada sains sehingga tetap dengan pertimbangan yang mendalam dalam  melakukan berbagai experimen atau percobaan-perobaan biologis maupun  psikologis.
"... menggunakan anjing sebagai bahan percobaan tentu memiliki makna tersendiri," demikian Ibu Alin mengawali tanggapannya atas pertanyaan saya yang sama. "Bila eksperimen tersebut mendapat hasil baik pada binatang yang nota bene tidak memiliki akal budi, tentu bila diterapkan pada manusia yang memiliki akal budi akan jauh lebih mengalami perubahan pada tata laku dan tata pikir" sambungnya.
Jawaban ini tidak kalah mengerikannya dan sangat mengkhawatirkan bila kita selidik dengan lebih seksama. Apakah kemudian bila praktik tersebut tidak berhasil diterapkan pada manusia yang berakal budi tadi lantas kita mendapat konfirmasi teoritis bahwa manusia derajat kogntifnya menjadi lebih rendah dari anjing.Â
Bahkan 'penganjingan dan pembinatangan' terhadap manusia itu menjadi  legal? Pada poin ini sangat perlu untuk lebih hati-hati dalam menjelaskan gagasan Pavlov tersebut.
Menurut saya, dalam konteks dunia Pendidikan, experiment psikologis (bukan fisiologis) agar dapat terbentuknya peserta didik yang 'kalos khai aghatos', elok dan rupawan secara kognitif seperti dalam filsafat Pendidikan Platon, Phaidea, seharusnya lebih dikedepankan.Â
Pendekatan Pendidikan (pembelajaran) yang digagas mestinya hasil experiment yang dilakukan pada makluk yang lebih tinggi derajanya dari manusia.Â
Proses Pendidikan dapat dilakukan dengan mengimitasi hal-hal yang lebih bermutu dan memiliki nilai yang lebih luhur. Bukan justru menarik manusia yang berakal budi itu turun kelas pada mamalia yang lebih rendah darinya.