Ibarat mendapat durian runtuh, rencana Gubernur Anies membatalkan Reklamasi Teluk Jakarta, secara tidak langsung mendapat "restu" dari KPK serta Menteri Susi.
Melihat perkembangan pemberitaan di media masa minggu yll, "restu" ini bisa jadi modal besar bagi Anies-Sandi untuk menuntaskan pembatalan Reklamasi secepatnya.
Menurut pengamatan penulis, membatalkan proyek reklamasi Jakarta secara legal tanpa gaduh sebenarnya mudah.Â
Dengan 3 syarat, Anies harus bisa mengkapitalisasi "restu" KPK dan Menteri Susi tersebut dan secara legal berlindung di balik UU No 27 Tahun 2007 atas izin-izin reklamasi yang Gubernur DKI terdahulu keluarkan.
UU No 27 Tahun 2007 ini, satu-satunya UU yang memuat Perencanaan dan Pelaksanaan Reklamasi secara rinci.Â
Ini bisa menjadi kartu truf dan pintu masuk bagi Anies-Sandi  untuk menyapu semua peraturan dibawah UU yang membenarkan proyek reklamasi.
Ini kesimpulan atas kajian penulis pada belasan peraturan dari setingkat  UU, Presiden sampai setingkat Gubernur.
"Restu" KPK
Anies perlu menggandeng KPK untuk menghadapi persoalan reklamasi ini, sebab sudah ada bukti proses reklamasi ini berlangsung kotor, tidak tanggung-tanggung salah satu Presiden Direktur pengembang pulau reklamasi terkena OTT KPK dan sudah divonis tiga tahun pada bulan September 2016 yll.
Terbukti Ariesman Widjaja bekas Presdir PT. Agung Podomoro Land menyuap Mohammad Sanusi Rp 2 milyar untuk memuluskan pembahasan rancangan Perda reklamasi teluk yaitu Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disebut RZWP-3-K.
"Masalah Aguan masih bisa dilakukan pengembangan selanjutnya nanti," ujar Yuyuk. Â Â Â
Perkembangan terakhir pada Jumat 27 Oktober yll, KPK memeriksa Sekda Pemprov DKI Saefullah terkait pencabutan reklamasi teluk Jakarta. Ia antara lain diminta menjelaskan KLHS yang disusun pemda DKI.
Untuk anda ketahui developer reklamasi Pulau G adalah PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk.
Dapat disimpulkan, KPK terus mengembangkan kasus suap Ariesman tersebut dan mulai membidik korporasi Pulau G.
Anies bisa mengambil momentum ini, dengan cara memberikan karpet merah pada KPK untuk "meneropong" proses kebijakan reklamasi yang telah diambil oleh pejabat terdahulu.
"Restu" Menteri Susi
Untuk Kompianer's ketahui, di jajaran Pejabat Tinggi Pemerintahan hanya Menteri Susi yang konsisten sejak 2015 yll sampai sekarang menolak keras reklamasi Jakarta. Penolakan ini berdasarkan pertimbangan aspek hukum dan nasib nelayan nantinya.
Yang disoal Menteri Susi atas proyek reklamasi ini adalah Perpres No 122 Tahun 2012, kewenangan Reklamasi Teluk Jakarta ada di tangan Menteri KKP. Untuk argumentasi ini penulis setuju 1.000% dengan Menteri Susi, dan akan dibeberkan lebih lanjut di sub topik berikut. Â Â
Penolakan Menteri Susi secara resmi diutarakan kembali pada Rapat kerja Komisi IV DPR dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Januari 2017 yll.
Dalam kesimpulan rapat kerja dengan DPR RI Komisi IV, Menteri Susi dengan tegas setuju pembangunan reklamasi dihentikan. Hal itu dikatakan Susi saat membuat simpulan rapat kerja dengan DPR RI Komisi IV.
"Setuju," jawab Susi tegas yang disambut tepuk tangan para anggota DPR dan pegawai KKP yang hadir.
Perkembangan terakhir minggu yll, konsistensi Menteri Susi terlihat saat Menko bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mencabut moratorium izin reklamasi Pulau C, D, dan G di Teluk Jakarta.
Saat itu Menko Luhut menjamin nasib nelayan yang terdampak reklamasi Teluk Jakarta.
Lantas, bagaimana Menteri Susi menanggapi hal ini?
"Saya belum tahu detailnya seperti apa, kamu tidak bisa konfirmasi ke saya. Kita instansi negara mesti lihat aturannya seperti apa, sudah benar atau tidak, kita (Indonesia) negara hukum bukan negara 'katanya'," kata Susi, di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan, Jumat (20/10/2017).
Dia mengaku tak bisa asal bicara karena ada ketentuan hukum yang berlaku. Susi mengatakan, stakeholder atau pemangku kepentingan terkait perlu berbicara terlebih dahulu mengenai keinginan-keinginan nelayan. Perlu proses panjang dalam memutuskan sebuah kebijakan.
"Nelayannya kan kita mesti tanya seperti apa, mau tidak? Enggak semudah itu. Enggak bisa kita bicara, 'oh oke selesai cabut (moratorium sanksi reklamasi pulau), terus (reklamasi) jalan terus dan nelayan nanti dapat (jaminan kehidupan lebih baik)'. Enggak begitu kan? Prosesnya ada, aturan-aturannya disesuaikan," kata pengusaha asal Pangandaran ini.
Dapat disimpulkan, Menteri Susi sampai sekarang tetap konsisten membela nasib nelayan serta peraturan perundangan yang berlaku.
Anies seharusnya berdiskusi dengan Menteri Susi secepatnya untuk menuntaskan pembatalan reklamasi secepatnya.
UU No 27/2007, Kartu Truf Pembatalan Reklamasi
Debat legalitas reklamasi pantai Jakarta adalah isu yang paling sering mencuat selain dengan isu lingkungan.Â
Menurut penulis, Anies terlebih dahulu masuk ke azaz legalitas dibandingkan dengan isu lingkungan. Sebab legalitas adalah pintu masuk pengusaha reklamasi untuk menjalankan usahanya.
Untuk anda ketahui, hanya ada satu undang-undang yang spesifik mengatur perencanaan dan perizinan Reklamasi, yaitu UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) yang kemudian diubah menjadi UU No 1 Tahun 2014.
Berdasarkan penelusuran penulis atas semua izin prinsip dan izin pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI, maka semuanya gagal memenuhi persyaratan UU PWP-3-K, sebab:
Pertama:
Secara kelahiran, semua izin Gubernur DKI dikeluarkan setelah UU PWP-3-K lahir dan ditandatangani oleh SBY pada 17 Juli 2007.Â
Sedangkan izin prinsip terlama yang dimiliki Pulau C, D dan E, ditanda-tangani oleh Gubernur Sutiyoso dua hari sesudah UU PWP-3-K terbit yaitu 19 Juli 2007 (Surat Gubernur Nomor 1571/-1.711, sumber: Makalah Kebijakan Selamatkan Teluk Jakarta, Rujak Center for Urban, Oktober 2017).
Secara substansi semua izin-izin dari Gubernur di tabel atas bertentangan dengan:
Pasal 7 Ayat 1.b:
Di ayat ini, sebelum ada pelaksanaan reklamasi, Pemda DKI wajib menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RZWP-3-K dalam sebuah Perda.
RZWP-3-K memuat Norma, standar, dan pedoman penyusunan perencanaan reklamasi didalamnya.
Pembahasan Perda ini terhenti sejak Mohammad Sanusi dicokok oleh KPK karena terbukti di suap oleh Presdir PT. Agung Podomoro Land.
Walaupun tidak ada Perda Zonasi, Gubernur DKI tetap memberikan izin prinsip dan pelaksanaa reklamasi ke pengembang.
(3) Perencanaan dan pelaksanaan Reklamasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
Perpres No 122 Tahun 2012:
Sebagaimana amanat UU PWP-3-K Pasal 34 Ayat 3 diatas, pada tanggal 5 Desember 2012 keluar Perpres No 122 Tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Perpres inilah yang menjadi dasar Menteri Susi untuk menyatakan bahwa reklamasi tidak sah, seperti yang penulis ungkapkan diatas.
Inti Perpres ini mengatur:
Pasal 4 Ayat 1;Â
Penentuan Lokasi, lagi-lagi ditegaskan persyaratan adanya Perda RZWP-3-K yang mana DKI belum mempunyai.
Dikarenakan Jakarta masuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN), Menteri KKP Â adalah orang yang berhak memberikan izin lokasi.
Padahal dari hierarki perundangan, jelas UU atau Perpres diatas Keputusan Gubernur.Â
Silahkan anda lihat UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7 Ayat 1 dibawah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H