Komisioner KPK Marwata mengakui banyaknya OTT membuat KPK mulai terbebani kelebihan pekerjaan karena jumlah tenaga penyelidik, penyidik, dan penuntut umum terbatas. Marwata mengatakan, pekerjaan rumah penyelesaian perkara di KPK menumpuk (Kompas 16/9).
Lebih lanjut Marwata menerangkan KPK harus membagi tugas penyidik dan penuntutnya. Kasus dari hasil OTT menjadi Prioritas karena tersangkanya sudah ditahan sehingga waktu penahanannya terbatas, sesuai KUHAP.
Pemberkasaan Kilat OTT
Untuk anda ketahui KUHAP pasal 24 menyaratkan perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik KPK hanya berlaku paling lama 20 hari dan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum (disini Jaksa KPK) yang berwenang untuk paling lama 40 hari.
Dalam arti kata, seseorang tersangka OTT KPK harus cepat-cepatnya di selidik dan disidik serta dilimpahkan berkasnya ke Pengadilan Tipikor tidak boleh lebih dari 60 hari atau 2 bulan lamanya. Inilah yang membuat kasus OTT hampir tidak pernah ada penangguhan perkara karena waktu KPK sangat mepet.
Dari mulai di selidik, penangkapan OTT sampai dilimpahkan ke berkas ke Pengadilan, memerlukan energi yang besar dari Tim KPK, jalan panjang yang melelahkan sbb:
- Penyelidikan;
- Penangkapan;
- Penahanan;
- Penggeledahan;
- Pemasukan rumah;
- Penyitaan benda;
- Pemeriksaan surat;
- Pemeriksaan saksi;
- Pemeriksaan di TKP;
- Terarkhir barulah pemberkasan dan pelimpahan perkara. Â Â Â Â
Dan lebih gilanya lagi, sekali penangkapan OTT tidak saja menghasilkan 1-2 orang tersangka, berkaca dengan OTT Wali Kota Cilegon ada 5 orang tersangka. Selain sang Wali Kota ada 1 orang lagi dari pemerintahan dan 3 orang dari pihak penyuap.
Ini baru satu kasus, bagaimana kalau ada OTT hampir 20 kali tahun ini?? Bisa anda bayangkan berapa ribu jam kerja yang dihabiskan untuk OTT tersebut.
OTT Melenceng Dari Road Map KPK
Jika anda membaca "Laporan Akuntabilitas Kinerja 2016", OTT KPK ini melenceng dari Road Map KPK tahun 2011-2023 yang fokusnya dibagi dalam 3 periode yaitu 2011-2015, 2015-2019, 2019-2023.
a. Melibatkan pengambil keputusan terhadap kebijakan atau regulasi;
b. Melibatkan aparat penegak hukum;
c. Berdampak luas terhadap kepentingan nasional;
d. Kejahatan sindikasi, sistemik, dan terorganisir;Â Â Â Â Â
Kalau kita melihat skala kasus OTT KPK dan poin C diatas, kebanyakan terjadi dalam skala daerah bukan nasional.Â
Seperti terakhir yang mencuat beberapa bulan terakhir seperti gratifikasi Bupati Kutai Kartanegara, Wali Kota Cilegon, Bupati Batubara, Wali Kota Tegal, Walikota Batu, Anggota DPRD Banjarmasin, Bupati Pamekesan, Gubernur Bengkulu.
Saya akui ada beberapa OTT yang memenuhi poin a dan b seperti OTT Dirjen Hubla dan Hakim MK Patrialis Akbar.Â
Tapi jika anda melihat jumlah pengaduan masyarakat setiap tahunnya (tahun 2016, 7.271 kasus), berdasarkan hasil verifikasi ada 3.868 kasus terindikasi Tindak Pidana Korupsi (TPK), lihat tabel dibawah ini.
Dari data KPK, total ada 111 kasus yang dibawa ke penuntutan dimana selain 76 kasus verifikasi 2016 ada 35 kasus dari verifikasi 2015 (lihat tabel dibawah ini)
Jika mengingat jumlah pengaduan masyarakat selama 2016 yang terindikasi TPK sebesar 3.868 kasus, menimbang keterbatasan penyidik dan penuntut, serta jumlah penuntutan per tahunnya hanya berkisar 100-an, maka lebih bijaknya KPK memilah-milah kasus yang berskala besar bernilai ratusan milyar hingga triliyunan dan melibatkan "orang besar" di tingkat nasional seperti kasus E-KTP, Reklamasi, Hambalang, BLBI dll.
Jika KPK asyik dengan OTT "imut" tersebut, selain KPK melupakan Road Map yang sudah mereka buat, selain itu persepsi positif masyarakat terhadap KPK lambat laun akan berkurang.
Atau memang OTT "imut" ini agar kasus kakap lepas? Hanya Tuhan dan KPK yang tahu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H