Mohon tunggu...
Ferlando Jubelito Simanungkalit
Ferlando Jubelito Simanungkalit Mohon Tunggu... -

Just an ordinary Indonesian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Karakter Bangsa dengan Pendidikan Keluarga

6 Juni 2016   00:39 Diperbarui: 6 Juni 2016   00:58 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari ini, lini media massa Indonesia didominasi oleh pemberitaan tentang penangkapan para oknum pejabat negara, politisi, anggota parlemen, pengusaha dan hakim karena tersangkut kasus korupsi. Virus korupsi yang menjangkiti Indonesia sudah sangat sistemik. Korupsi telah menginfeksi seluruh wilayah kekuasaan negara: pemerintah (eksekutif), parlemen (legislatif) dan kehakiman (yudikatif). Nyaris tak ada lagi ruang di dalam sendi kehidupan bernegara kita yang terbebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahkan, setiap operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK selalu menarik perhatian netizen untuk membahasnya di sosial media. Hal ini mengakibatkan kasus-kasus korupsi tersebut menjadi trending topic yang mendunia di sosial media. Tak hanya sampai disitu, akhir-akhir ini lini media massa kita juga diisi dengan kasus-kasus yang sangat mencemaskan, diantaranya kasus pencabulan guru terhadap muridnya; kasus perkosaan gadis remaja oleh 19 orang pria di Manado, Sulawesi Utara; kasus perkosaan dan pembunuhan seorang remaja dengan gagang cangkul di Tangerang, Banten; dan kasus perkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh 14 orang pemuda terhadap seorang siswi SMP berinisial YY di Bengkulu. Kasus yang terakhir bahkan membuat Presiden Joko Widodo harus mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang memberikan hukuman pidana mati, seumur hidup dan kebiri kimia bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Perppu selalu dikeluarkan dalam keadaan genting dan darurat, yang berarti bahwa pemerintah sudah memandang Indonesia dalam keadaan darurat kekerasan seksual terhadap anak.

Sudah seperti inikah buruknya karakter dan moral bangsa kita? Bangsa yang dikenal karena nilai-nilai luhur kebudayaan dan peradabannya ini kini harus berjalan tertatih karena kemerosotan karakter kebangsaannya sendiri. Karakter kebangsaan ini yang oleh para pendiri bangsa (founding fathers) Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan, sangat dirasa penting dan menjadi prioritas nomor satu. Bung Karno selalu berpidato dengan penuh semangat tentang Nation and Character Building untuk menggembleng mental dan karakter Bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan. Presiden pertama Republik Indonesia ini selalu menekankan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki karakter kuat, ilmu pengetahuan tanpa karakter tak akan mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa.

Jika dipandang dari teori penyimpangan perilaku, masalah sosial pada umumnya terjadi karena kegagalan institusi keluarga (primary group) serta rusaknya keteladanan yang mendorong individu memilih sosialisasi menyimpang. Solusi untuk membangun karakter dan memperbaiki penyimpangan perilaku individu ini adalah dengan memperkuat kembali fungsi pranta keluarga dalam memberikan pendidikan karakter. Teori ini juga diperkuat dengan teori ekologi yang dikemukakan oleh Urie Bronfenbrenner, yang salah satunya adalah adalah mikrosistem. Di dalam teori Bronfenbrenner tentang mikrosistem, perkembangan karakter dan perilaku individu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana seseorang menghabiskan banyak waktu. Keluarga adalah salah satu lingkungan dimana setiap warga negara (individu) menghabiskan banyak waktu. Tidak ada satu orang pun yang terlahir ke dunia jika tidak melalui institusi keluarga. Karena itu, pranata keluarga adalah salah satu sistem sosial yang memiliki peran sangat penting dan vital dalam pembentukan karakter seseorang. Oleh karena itu keluarga harus menjadi benteng pertama pembentukan karakter seseorang melalui pendidikan keluarga.

Keluarga Sebagai Persekutuan Primer

Fungsi keluarga sebagai persekutuan primer adalah relasi antara anggota keluarga yang bersifat mendasar dan eksklusif karena faktor ikatan biologis, ikatan hukum dan karena adanya kebersamaan dalam mempertahankan hidup. Persekutuan primer berperan menciptakan persahabatan dan hubungan interpersonal yang bersifat kontinu, rasa kecintaan serta rasa aman diantara anggota keluarga. Fungsi keluarga sebagai persekutuan primer akan sangat memudahkan indoktrinasi pendidikan karakter di dalam lingkungan keluarga karena pendidikan karakter ditanamkan langsung oleh orang-orang terdekat yang memiliki hubungan darah (biologis) secara langsung.

Dalam memanfaatkan fungsi keluarga sebagai persekutuan primer, orang tua harus berperan untuk memberikan contoh dan teladan kepada anak-anak dalam berpikir dan bersikap. Orang tua harus konsisten membiasakan pikiran-pikiran dan sikap-sikap yang benar dalam mendidik anak-anaknya agar anak-anak dapat mengikuti kebiasaan yang benar tersebut. Kebiasaan yang benar lama-lama akan membentuk karakter yang benar, karena karakter adalah representasi dari kebiasaan yang telah menjadi cara hidup (way of life).

Keluarga Sebagai Institusi Pembentukan Anutan, Keyakinan Agama, Nilai-Nilai Budaya dan Moralitas

Keluarga merupakan sumber panutan bagi anak. Dari keluarga, anak belajar tentang kepercayaan dan keyakinan agama yang harus dia anut. Keyakinan agama yang dianut oleh kedua orang tua adalah keyakinan yang secara otomatis juga dianut oleh anak. Peran orang tua dalam memberikan pengajaran keagamaan yang benar kepada anaknya sangat penting dan vital. Karena setiap anak mendapatkan keyakinan agamanya dari keyakinan agama yang dianut oleh orang tuanya. Untuk itu orang tua harus mampu memberikan pengajaran keagamaan yang benar kepada anak-anak mereka untuk membentuk fondasi dasar keagamaan anak-anak mereka. Orang tua harus mampu menghadirkan lingkungan beragama yang benar di dalam keluarga. Lingkungan beragama yang benar di dalam keluarga akan membentuk sebuah kebiasaan beragama yang taat dan benar. Setiap orang yang beriman serta taat dalam menjalankan peribadatan dan ajaran agamanya tentu akan membentuk karakter manusia yang religius.

Setiap anak juga terlahir di dalam lingkungan keluarga yang memiliki nilai-nilai kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Nilai-nilai kebudayaan dapat berasal dari kebudayaan bangsa, kebudayaan daerah, kebudayaan suku ataupun nilai-nilai kebudayaan setempat yang dihidupi menjadi sebuah cara hidup. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Kebudayaan dapat berbentuk kepercayaan, kesenian, norma-norma maupun adat istiadat. Sebagai bangsa yang terkenal karena keragaman kebudayaannya, masyarakat Indonesia selalu mewariskan setiap kebudayaan yang baik dari generasi ke generasi. Kebiasaan itu tidak hanya berhenti sampai pada tingkatan mewariskan, tetapi juga menjadikan kebudayaan itu sebagai cara hidup (way of life) dalam membangun peradaban. Mengajarkan anak-anak untuk mengenal kebudayaan yang baik dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari adalah peran keluarga yang harus diaktifkan kembali. Manusia yang terbiasa menjalankan kebudayaan yang baik akan menghasilkan peradaban yang berkarakter dan berkepribadian.

Keluarga juga merupakan sumber pertama ajaran-ajaran moral, etika dan sopan santun. Dari keluarga kita juga mendapatkan pengajaran pertama tentang segala sesuatu yang benar dan salah. Keluarga menanamkan nilai-nilai moralitas, etika dan sopan santun sebelum kita mendapatkannya dari pendidikan formal di sekolah. Kebiasaan beretika dan bersopan santun dibentuk dari dalam lingkungan keluarga. Kebiasaan itu bisa terbentuk dari sikap saat berhadapan dengan orang yang lebih tua (orang tua atau kakak) ataupun saat bertutur sapa, bercengkrama dan menyikapi aturan-aturan di dalam keluarga. Etika dan sopan santun yang baik tentu akan menghasilkan moralitas yang baik pula.

Keluarga Sebagai Wadah Partisipasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun