Tetesan sisa-sisa air hujan jatuh dari wajahku. Segera menyekanya. Dalam keadaan diam, kau meneruskan bicara, "menikalah denganku, Mas! Bawa aku pergi dari masa laluku."
Aku berpaling dari tatapanmu.
"Tidak bisa, Linda. Apalah arti diriku bagimu. Aku adalah debu yang mudah disapu angin, atau buih di tengah lautan yang kapan saja tamat dihempas ombak. Seindah apapun aku dalam kehidupanmu, aku adalah senja yang siap digantikan malam berbintang. Maaf, Linda, aku sudah menganggu hubunganmu dengan Sastro."
Aku kembali menghadapmu dan kupegang lembut pipimu, "Aku yakin kamu pasti bahagia bila bersamanya."
"Apa, Mas, mau pergi dariku di saat aku terlanjur cinta. Bertahun-tahun kamu kesepian, bukankah aku yang mas cari selama ini?"
Pertanyaanmu itu ku balas dengan sebuah pelukan hangat.
"Kalian butuh penginapan?" Pemilik vila meradu momen kita. Sorot mataku dan matamu telah padu. Kala itu, kita menggelora hangat dalam bait cinta sejati. Waktu telah memberikan saat indah bersamamu.
***
Terhitung tiga tahun semenjak datang di pernikahanmu. Aku menghilang darimu entah ke mana busur kehidupanku. Hingga tak sengaja waktu mempertemukan kita kembali di antrean sebuah ATM.Â
Kau menggandeng seorang anak laki-laki. Rambut, alis, mata dan hidung anak itu mirip sekali dengan yang kumiliki. Tidak denganmu, apalagi suamimu.
"Namanya Vino. Sama seperti namamu, Mas," tuturmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H