[Justru itu. Dia tidak jauh lebih baik dari orangtuaku. Tidak peduli denganku. Aku sudah tunangan sama dia. Dua bulan lagi kami rencana akan menikah. Semakin dekat hari pernikahan, seharusnya dia malah perhatian sama aku. Bukan malah tak acuh. Seolah mau cerai saja. Dia lagi kerja sekarang. Dua minggu sekali, dia berkunjung ke kontrakanku. Tapi, aku sangat mencintainya.]
Awalnya aku senang membaca pesanmu yang lumayan panjang itu. Merasa berharga di matamu. Tapi, kalimat terakhirmu itu sangat menggores hatiku dan kuakui akupun terluka.
Aku mencoba melapangkan dada. Ikhlas jika aku sekedar sebagai bahu untuk tempatmu bersandar.
Hampir saja aku bertanya, "Dapat uang dari mana kamu untuk membayar kontrakan dan keperluanmu sehari-hari di Surabaya. Apa tidak dicari sama orang tuamu sebab telah lama meninggalkan rumah."
Tapi baiknya memilih pertanyaan tersebut kusimpan di dalam dada. Rasanya kurang etis saja. Aku juga sama, takut kehilanganmu.
***
Kling..
Satu pesan masuk di gawai yang ku taruh di saku celanaku. Aku langsung menyambarnya. Menghentikanku yang sedang sibuk di tengah pekerjaan. Rupanya darimu.
[Aku sekarang lagi di Bravo Swalayan.]
Isi pesanmu.
Tempat itu ada di daerahku, juga tempat asalnya.
[Jadi sekarang kamu lagi pulang?]
Tanyaku.
[Iya. Ini lagi belanja. Nanti sore sudah langsung balik ke Surabaya.]
Hening sebelum aku menyadari arah pesan itu.
[Apa kamu ingin ketemuan?]
[Ini sudah mau balik. Bisa saja sih kita ketemu. Tapi aku sama temanku, ndak apa-apa kan?]
[Iya. Ndak apa-apa.]
Pekerjaanku yang banyak rela aku tinggalkan.
"Bro, aku keluar sebentar dulu ya! Nanti kamu bilang sama bos," pamitku ke rekan kerja.