Siang itu, di hamparan depan swalayan banyak mobil dan motor berlalu lalang dan memadati ruas parkiran. Aku mencarimu, mencocokan wajah di fotomu yang kuingat dengan orang yang sedang kulihat. Terik menyengat kulitku, tapi tak kuhiraukan.
Kling..
Satu pesan masuk, darimu.
[Aku di kantin depan. Mas, sudah sampai mana?]
[Tunggu. Aku menuju ke sana.]
Jawabku.
Setelahnya, aku menyoroti perempuan mengenakan sweater biru tipis yang melekat di tubuhnya. Penampilannya tidak terlalu asing. Aku seperti sudah lama mengenalnya. Untuk ukuran seorang perempuan, dia memang terlihat sempurna dalam bermain cinta. Kau mampu menggetarkan asmara di kalbuku.
Jantungku mulai tidak stabil saat aku mendekatimu. Kau sudah menatapiku dari kejauhan. Aku jadi kikuk saat hendak menyapamu terlebih dulu. Kau hanya memamerkan senyuman yang merekah saat di dekatku. Segera membuatku ingin membalasnya kembali.
"Sejak kapan kamu di rumah?" satu pertanyaanku akhirnya keluar. Untuk memancing agar kau segera bicara. Memastikan, bahwa suaramu tetap sama lembut, saat kemarin kudengar lewat telepon.
"Pagi tadi baru sampai. Tapi, sore nanti sudah mau balik," jawabmu pelan.
"Tadi belanja apa? Kalau untuk keperluanmu di kontrakan, apa ndak sebaiknya belinya di Surabaya saja?" aku melirik isi kantong plastik yang kau bawa.
Hari itu, aku memang tidak banyak bertanya. Aku merasa ndak enak dengan temanmu saat itu. Nanti aku dikira selingkuhanmu. Segera aku pergi. Padahal banyak suara hati yang ingin kubuka saat itu darimu, termasuk sembilu yang kau rasakan. Aku hanya memberi beberapa lembar uang untuk keperluanmu di Surabaya sebelum akhirnya kita berpisah.
***
Di kamarku ini sunyi telah pergi menjauh. Biasanya aku berbicara dengan foto yang terpampang di dinding. Setelah perjumpaan itu, kau banyak menghabiskan waktu untuk menelponku. Aku sudah tak lagi dikoyak rasa sepi sejak kau membingkai hari-hariku.
"Kapan kamu pulang lagi? Kalau boleh, aku mau kita bertemu berdua saja," pintaku melalui telepon.