“Pak Asep kan semalam beradu mulut dengan Pak RT di pos ronda! Saya tidak bisa tidur memikirkan kejadian tersebut. Akhirnya saya berdoa dan berzikir sebisa saya. Ketika berzikir itulah saya mendapat pesan gaib tapi entah dari Gusti Alloh atau dari lelembut.”
Aku sejenak diam. Memperhatikan mata Asep Masduki sedikit temaram.
“Dalam wangsit seolah-olah tergambar dan terdengar jelas. Para pejabat negeri ini dari mulai presiden sampai RT terlalu sukar untuk lepas dari jerat korupsi. Korupsi itu bukan saja terkait dengan kebijakan, uang, jabatan, harta negara dan beras. Tidak bijak dan menghambur-hamburkan waktu saat jam kerja itu pun termasuk korupsi.”
Asep Masduki manggut-manggut. Janggut putihnya tampak kering serupa rumput.
“Oleh karena itu, kita sebaiknya lebih mendekatkan diri kepada sang Pencipta. Memperbaiki negeri ini dan mengurangi korupsi mulai dari diri kita. Jangan saling menghujat karena itu perbuatan dosa. Gusti Alloh tidak menyukainya.”
“Astaghfirulloh al ‘adzim.....” Asep Masduki beristigfar dengan takzim.
“Dalam Islam, orang yang meminta maaf lebih dahulu adalah orang yang lebih baik dan mulia. Saya sangat berharap Pak Asep mau menemui Pak RT dan meminta maaf terlebih dahulu kepadanya!”
“Baiklah! Saya pasti akan meminta maaf dan menyatakan islah.” Raut muka Asep Masduki lemah. Pasrah.
“Oh ya... jangan lupa juga dengan perjuangan kita! Seperti yang telah kita sepakati bersama. Calon presiden dari partai saya harus unggul di tiap TPS yang ada di desa kita.”
“Siap! Itu masalah gampang.” Asep Masduki tersenyum mantap. Matanya tenang.
***