Bila Pak RT dan Asep Masduki tidak akur, aku takut mereka berhenti turun ke masyarakat. Bila suara masyarakat ngawur, aku takut calon presidenku kalah dan karir politiku tamat.
Meski aku hanya ketua partai di tingkat desa. Aku merasa sangat bertanggung jawab untuk menyukseskan calon presiden yang diusung partai. Aku pulang dengan langkah lemah dan lunglai. Terus berpikir mencari cara dan sedikit-sedikit rekayasa.
Pukul sembilan pagi, aku sudah berpakaian rapi. Aku sudah punya strategi. Aku akan segera menemui Pak RT dan Asep Masduki.
Halaman rumah Pak RT terlihat asri. Meski tidak luas tetapi ditata serasi. Rumahnya sederhana. Warnanya sedikit kusam dimakan usia.
“Assalamu ‘alaikum....” Aku memberi salam seraya tersenyum.
“Waal’aikumussalam....” Pintu dibuka Pak RT dari dalam.
Setelah dipersilakan duduk, aku mulai membuka obrolan. Pak RT ngangguk-ngangguk mendengar penuh perhatian.
“Semalam saya tidak bisa tidur. Ingat terus sama Pak RT dan Pak Asep Masduki. Saya khawatir Pak RT dan Pak Asep Masduki terlanjur saling membenci. Semalam saya terus berdoa dan tafakur.”
“Si Asep memang keterlaluan! Dia menghina leluhur saya.” Pak RT bicara perlahan. Seperti tidak ingin ada orang lain yang mendengarnya.
“Tapi Pak RT harus ingat! Pak Asep Masduki itu pamannya Bu RT.” Aku menatap mata Pak RT. Hawa lembab membuat Pak RT berkeringat.
Aku berkata pada Pak RT dan sedikit berdusta. Semalam aku mendapat wangsit. Belanda telah membebaskan Indonesia dari penjajahan raja-raja. Belanda menghapus status hamba dan raja yang menganga seperti bumi dan langit.