Ada apa dengan Dunia pendidikan kita? betapa tidak, pendidikan di negeri ini tak ada hentinya dirundung problem, mulai dari persoalan tata kelola sekolah, kekurangan pengajar, kurikulum yang sering berganti-ganti, infrastruktur kurang memadai, hingga pada tataran tindak kekerasan dan perundungan.
Terbaru kita disuguhi oleh viralnya video seorang murid di SMP Gresik yang diduga melakukan tindakan perundungan terhadap seorang guru. Sebelumnya di tahun 2018, publik juga di sajikan video viral perundungan murid terhadap guru di Kendal. Dalam kedua video tersebut, terlihat bahwa guru menjadi bahan candaan para muridnya dan masih banyak lagi kasus-kasus viral lainnya. Mengapa kejadian tersebut terus berulang?
Dunia pendidikan semestinya menjadi wadah/wahana untuk membentuk manusia menjadi insan yang berkualitas, berakhlak mulia bukan untuk membentuk manusia menjadi beringas yang mengabaikan norma dan adat serta sopan santun. Kita perlu mengurai akar masalah dan menarik benang merah dari fenomena ini. Dilihat dari sisi kebijakan yang telah ada, apakah ada yang salah? Berikut mungkin dapat menjadi renungan bersama.
Minimnya Pendidikan Moral dan Budi Pekerti
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah "usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.Â
Berdasarkan Undang-undang tersebut Lembaga pendidikan sudah semestinya menjadi ruang untuk mendidik, mengubah tingkah laku peserta didik menjadi lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup seseorang. Lembaga pendidikan juga diharapkan menjadi sebuah lingkungan yang ramah bagi peserta didik dan pendidik.
Sebenarnya tujuan yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional kita sudah sangat lengkap untuk membentuk anak didik menjadi pribadi utuh yang dilandasi akhlak dan budi pekerti luhur. Namun, pada kenyataannya, tujuan yang mulia tersebut tidak diimbangi pada tataran kebijakan pemerintah yang mendukung tujuan tersebut.Â
Entah mengapa yang terjadi pada Sistem Pendidikan sekarang, pelajaran "Pendidikan Moral dan Budi Pekerti" sudah semakin sedikit porsinya dalam kurikulum, oleh karena itu aspek-aspek yang berkaitan dengan budi pekerti menjadi kurang disentuh bahkan ada kecenderungan tidak ada sama sekali. Dahulu guru menjadi sosok yang menjadi sangat dihormati dan disegani, searah dengan sikap para murid terhadap para pendidik sangat patuh dan sangat menjaga adab sopan santun serta etika. Pendidikan etika dan moral dalam dunia pendidikan sangat dijunjung tinggi dan adat ketimuran sangat dijaga.
Saat ini pelajaran budi pekerti dan moral dianggap telah cukup tercakup dalam mata pelajaran agama, tentu hal itu tidak demikian adanya. Walaupun budi pekerti dan moral merupakan bagian dari mata pelajaran agama yang salah satu bahasannya adalah akhlak/budi pekerti, pembahasan mengenai hal tersebut pasti memperoleh porsi yang amat sangat kecil. Hal ini mengingat cukup banyak aspek yang dibahas dalam mata pelajaran agama dengan alokasi waktu yang amat minim yaitu dua jam dalam seminggu.Â
Oleh karena itu, sentuhan aspek moral/akhlak/budi pekerti menjadi amat tipis dan tandus. Padahal zaman terus berjalan, budaya terus berkembang, teknologi berlari pesat. Arus informasi mancanegara bagai tak terbatas. Hasilnya, budaya luar yang negatif mudah terserap tanpa ada filter yang cukup kuat. Gaya hidup modern yang tidak didasari akhlak/budi pekerti cepat ditiru.
Nilai Akademik = Kesuksesan
Selama ini sistem pendidikan kita masih melihat kesuksesan pendidikan adalah (nilai) akademik. Karakter pendidikan yang ada di Indonesia saat ini adalah karakter pendidikan yang masih berorientasi pada kompetensi dan bukan standar kualitas lulusannya. Pemerintah masih menggunakan Ujian Akhir Nasional sebagai standar untuk menetukan kelulusan siswa dan setiap tahun, standar yang ditetapkan cenderung meningkat.Â
Masih berkorelasi dengan faktor diatas ketika sekolah-sekolah hanya berkonsestrasi pada bagaimana cara untuk mendapatkan peringkat terbaik, maka pelajaran yang dipadatkan adalah pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan apa yang akan diujikan.Â
Oleh sebab itu, pendidikan moral sepertinya harus rela 'terhapus' dari deretan pelajaran di sekolah. Memang, secara teoritis, masih ada pelajaran yang namanya Kewarganegaraan. Namun, ketika porsi pelajaran Kewarganegaraan sangat minim dapatkah pelajaran tersebut memberikan nilai-nilai kehidupan, pendidikan moral dan pembentukkan karakter bagi anak didik.
 Dengan pola yang lebih mengedepankan akedemik, anak-anak cenderung kurang dihargai dan diberi apresiasi saat berada di sekolah. Maka tidaklah mengherankan ketika mereka tidak pernah dihargai maka mereka pun akhirnya tidak bisa menghargai dan mengapresiasi (orang lain)
Kedua faktor diatas, dilihat dari segi kebijakan, dilihat dari faktor sosial, fenomena yang terjadi bisa juga disebabkan oleh faktor berikut:
Lingkungan keluarga
Tidak dipungkiri lingkungan keluarga menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku anak/murid. Mengutip sebuah teori ekologi Bronfenbrenner, perilaku anak-anak dipengaruhi oleh banyak sistem. salah satunya yaitu keluarga.Â
Bicara lingkungan keluarga, pola asuh menjadi kunci yang membentuk perilaku anak. Ketika pola asuh yang diterapkan pada sebuah keluarga adalah pola asuh yang ideal, maka tumbuh kembang anak-anak akan menjadi lebih baik.Â
Dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi nilai agama, norma, adat istiadat, maka tidaklah mengherankan seseorang anak akan menjadi pribadi yang baik. Begitu pula sebaliknya apabila anak di didik dengan pola yang salah, seperti memanjakan dengan budaya permisif yang kental maka akan membentuk karakter dan perilaku anak yang cenderung memberontak.
Kemajuan teknologi
Kemajuan teknologi menyebabkan perubahan yang begitu besar pada kehidupan umat manusia dengan segala peradaban dan kebudayaannya. Perubahan ini juga memberikan dampak yang begitu besar terhadap transformasi nilai-nilai yang ada di masyarakat.Â
Dan di akui atau tidak, kemajuan teknologi perlahan-lahan mulai mengubah pola hidup dan pola pemikiran masyarakat. Dengan semakin majunya teknologi kemudahan dalam memperoleh jaringan internet tidak hanya dinikmati oleh orang dewasa tetapi juga pada anak-anak dan kemudahan akses tersebut juga memberikan dampak positif kepada anak.
Tapi sebaliknya seperti dua sisi mata uang, dampak negatif dengan adanya kemajuan teknologi mengancam generasi muda kita terutama dari sisi pergeseran budaya  dengan semakin mudahnya akses terhadap internet, yang secara sadar dan tidak sadar mereka akan'mengkonsumsi' konten-konten yang bersifat negatif seperti pornografi, unsur-unsur seperti kekerasan dan agresivitas yang didapat dari game dan masih banyak lainnya.
Sekarang bagaimana, langkah atau tindakan untuk memutus mata rantai dari fenomena yang telah diuraikan diatas. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan hendaknya melakukan evaluasi terhadap sistem yang sudah ada, mencari solusi terbaik demi kemajuan generasi muda bangsa.
Seperti yang telah diuraikan diatas sistem pendidikan yang masih mengedepankan nilai sebagai tolok ukur kesuksesan menyebabkan sekolah-sekolah sekarang cenderung 'memaksa' murid-muridnya belajar keras demi mempertahankan peringkat sekolah mereka. Anak-anak cenderung dilatih serba-instan melalui pendidikan yang berbasis nilai.Â
Sehingga pendidikan yang melatih regulasi pikir dan kendali emosi sangat minim. Pendidikan di negara kita tidak berorientasi pada manusia, melainkan terlalu fokus pada pencapaian nilai akademik serta kepatuhan pada standarisasi dokumen. Harapannya pendidikan karakter menjadi tolak ukur kesuksesan sekolah, bukan nilai UN atau akademik.Â
Paradigma baru tersebut akan mendorong perubahan ekosistem sekolah yang positif dan membangun empati serta pembelajaran yang menguatkan kemampuan murid memiliki kendali diri dan kendali emosi. Sehingga mampu membangun pribadi siswa yang mandiri dan tahan banting.
Selain itu kita tidak boleh hanya menyerahkan masalah ini kepada tangan pemerintah, kita sebagai masyarakat yang menjadi lingkungan terdekat bagi anak-anak sudah semestinya memberikan pendidikan yang terbaik terutama pendidikan yang membentuk karakter seperti budi pekerti dan moral sesudah pendidikan agama pastinya.Â
Kontrol kita sebagai orang tua menjadi peran kunci dalam kesuksesan pembentukkan karakter anak-anak kita, arus globalisasi dan kemajuan teknologi tidak dapat kita hindari dan merupakan keniscayaan. Gerakan yang membangun kesadaran terhadap pent
ingnya pelajaran moral dan budi pekerti menjadi tugas bersama. Berbicara memang mudah dan melakukan tidak semudah berbicara dan membalik telapak tangan. Â Tapi setidaknya ini menjadi pengingat bagi kita semua sebagai proses untuk perbaikanÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H