Mohon tunggu...
Fenni Bungsu
Fenni Bungsu Mohon Tunggu... Freelancer - Suka menulis

Penyuka warna biru yang senang menulis || Komiker Teraktif 2022 (Komunitas Film Kompasiana)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[KC] Wanita Sehatiku

2 Oktober 2015   12:08 Diperbarui: 31 Maret 2016   10:45 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: fiksiana community

 

Fenni Bungsu, No.33

***

Celana jeans, rompi, dan kaus putih lengan pendek. Gaya pakaian ini semakin membuatku percaya diri. Bertemu dengan pujaan hati, pasti degup jantung berdetak lebih kencang.

Aku dikenalkan tetanggaku, dengan adik iparnya. Keluarganya telah kukenal sangat dekat, baik soal agama maupun akhlak. Wajahnya manis. Ia tinggal di rumah kos. Hanya beberapa kali saja ia mengunjungi kakaknya. Waktu yang manis itu, dirancang khusus oleh tetanggaku untuk mempertemukan kami. Pembicaraan yang hangat, kemudian berlanjut bertukar nomor ponsel hingga acara hari ini.

Prioritasku hanya satu, cepat menikah. Umurku telah diatas ambang normal, 45 tahun. Usia sangat matang bagi seorang pria. Aku berharap, dia akan memiliki pemikiran yang sama, karena usianya dua tahun dibawahku.

Pertemuan ini di salah satu mall di bilangan ibukota. Layaknya seperti anak muda yang hendak "nembak" gebetannya, aku merasa demikian. Aku harus mengutarakannya, agar dia mengetahui keseriusanku. Namun, aku sempat takut mengingat cintaku tidak bersambut ketika mengungkapkannya. Saat ini, aku menikmati jalur-Nya dengan ikhlas hati. 

Menuju lokasi pertemuan, tak henti-hentinya aku berpikir tentang dia. Mengapa bisa hanya sekali pertemuan, aku merasa sreg dengannya? Apa ini yang disebut love at first sight atau mungkin dialah wanita sehatiku? 

Menuju lokasi pertemuan, tak henti-hentinya aku berpikir tentang dia. Mengapa bisa hanya sekali pertemuan, aku merasa sreg dengannya? Apa ini yang disebut love at first sight

Tubuhku semakin gemetar melihat dia sudah tiba. Wanita rambut kucir kuda itu melambaikan tangannya ke arahku. Ia bersama dua orang teman wanita. Untungnya suasana di restoran ini ramai, jadi tidak ada yang memerhatikan rasa gugupku.

"Gimana, ke sini? Susah nggak?" tanya wanita manis itu seraya mempersilakan aku duduk. 

"Lu-mayan." Suaraku sedikit bergetar karena duduk bersebelahan dengannya.

"Pesan duluan aja." Ucapnya.

"Kamu saja dulu."

Arni, wanita yang mengenakan kemeja motif bunga itu terlihat sangat angkuh. Entah karena penampilannya yang tidak seperti pertama kali kami bertemu, atau perasaanku saja yang merasa sangat jauh darinya. Akh..lagi-lagi perasaan galau datang. 

Tak lama kemudian makanan yang kami pesan sudah terhidang di meja. Aku perhatikan, ia lebih nyaman berbincang-bincang dengan kedua temannya itu. Mungkin lebih baik aku berinisiatif untuk membuka percakapan lebih dulu.

"Kamu, suka masakan apa?"

Pertanyaannya mengenai masakan, pasti akan merembet pada hal lain, batin Arni. "Suka apa saja. Kenapa memang?"

"Hanya bertanya saja, siapa tahu selera kita sama."

Wajah Arni tampak datar. Ia sibuk melihat ke arah makanan, lalu sesekali mengalihkan pandangan ke teman-temannya. Aku mencari kata-kata lain.

"Oh iya, bagaimana tanggapanmu tentang perkenalan yang diiringi komitmen?"

Tuh betul kan kalimatnya merembet, Arni membatin. "Wah, gimana yah. Serius sih boleh-boleh aja. Terlalu cepat juga nanti kaget."

"Terlalu cepat bagaimana? berkenalan sekaligus berkomitmen, kan tidak masalah. Bukankah umur kita nggak muda lagi?"

"Nah begini ini nih,"

Sendok yang kupegang nyaris terlepas. "Maksudnya?"

"Kok jadi cepet-cepet gitu yah."

"Saya kan hanya ingin bilang,"

"Tuh,  baru jalan sekali aja, sudah mau katakan cinta pada saya."

Aku tersenyum. "Katakan cinta? Apakah tidak lucu terdengar, usia yang sudah kepala empat harus mengungkapkan cinta layaknya anak muda?"

"Siapa bilang lucu? Katakan cinta itu perlu, biar si wanita tahu."

"Baik, anggaplah saya sudah mengatakannya." Aku menggelengkan kepala. "Kalau begitu, kita tidak perlu lama-lama berkenalan sampai menghabiskan waktu berbulan-bulan,"

"Langsung menikah gitu?" wajahnya menyiratkan ketidaksukaan.

"Iya."

Arni terdiam sejenak. "Kayaknya tidak bisa. Penampilan kamu terlihat tua, jadi jauh jaraknya dari saya. Mending kita bersaudara aja."

Aku menghela nafas panjang, tidak ingin menanggapinya. Lekas saja, aku habiskan makanan dan minum dengan tenang. Kedua temannya, tampak bingung dengan keadaan yang dingin kembali. 

"Seriuskah Arni kepadaku? penilaiannya hanya sebatas penampilan? Apa ia belum berani melangkah ke pelaminan? sepertinya, dia bukan wanita sehatiku, Bahri." Ucapku dalam hati. Batinku bergejolak dengan berbagai pertanyaan.

"Kita baru kali ini pergi bersama. Lebih baik jalani aja dulu, saling mengenal satu sama lain." Ujar Arni yang berusaha mencairkan suasana. "Lagipula, baru aja kamu ungkapkan cinta,"

"Cinta kalau hanya sebatas di lidah, aku bisa katakan seribu kali pada siapapun. Tapi bisakah cinta menghargai setelah dinyatakan?"

Ketiga wanita itu diam tak bergeming. Arni tampak linglung ketika mata kami bertemu. Lekas aku mengalihkan pamdangan.

"Maksud kamu?"

"Memang usia tidak memperlihatkan seseorang telah matang. Kalau kamu mengerti, maksud pernyataan aku tadi, berarti kamu dewasa."

Arni terlihat sedih.

Aku bangkit berdiri. "Oh iya, terima kasih atas kebersamaan di siang ini. Kita memang sepantasnya menjadi saudara saja." Aku sangat berharap agar ia dapat menahanku dan menganulir perkataannya untuk membuat hatiku tenang.

"Maaf ya. Bukankah ada ungkapan bahwa cinta tidak harus memiliki?"

Aku kembali duduk. Hatiku amat kesal. "Cinta itu harus memiliki. Bukan hanya sekedar diungkapkan, tapi harus diwujudkan dalam ikatan yang resmi. Itulah hakikat cinta untuk mereka yang serius." Ucapku seraya menyunggingkan senyum kesedihan.

Aku beranjak pergi meninggalkan cinta pandangan pertama. Lagi-lagi cintaku tak berbalas. Aku tak peduli apa yang dipikirkan oleh Arni. Mungkin dia memang bukan jodohku. Kuteguhkan hati, yakin suatu saat akan benar-benar bertemu dengan wanita sehatiku.

***

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (http://m.kompasiana.com/androgini)

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community 

https://m.facebook.com/groups/175201439229892?refid=18&__tn__=C 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun