Foto: fiksiana community
Â
Fenni Bungsu, No.33
***
Celana jeans, rompi, dan kaus putih lengan pendek. Gaya pakaian ini semakin membuatku percaya diri. Bertemu dengan pujaan hati, pasti degup jantung berdetak lebih kencang.
Aku dikenalkan tetanggaku, dengan adik iparnya. Keluarganya telah kukenal sangat dekat, baik soal agama maupun akhlak. Wajahnya manis. Ia tinggal di rumah kos. Hanya beberapa kali saja ia mengunjungi kakaknya. Waktu yang manis itu, dirancang khusus oleh tetanggaku untuk mempertemukan kami. Pembicaraan yang hangat, kemudian berlanjut bertukar nomor ponsel hingga acara hari ini.
Prioritasku hanya satu, cepat menikah. Umurku telah diatas ambang normal, 45 tahun. Usia sangat matang bagi seorang pria. Aku berharap, dia akan memiliki pemikiran yang sama, karena usianya dua tahun dibawahku.
Pertemuan ini di salah satu mall di bilangan ibukota. Layaknya seperti anak muda yang hendak "nembak" gebetannya, aku merasa demikian. Aku harus mengutarakannya, agar dia mengetahui keseriusanku. Namun, aku sempat takut mengingat cintaku tidak bersambut ketika mengungkapkannya. Saat ini, aku menikmati jalur-Nya dengan ikhlas hati.Â
Menuju lokasi pertemuan, tak henti-hentinya aku berpikir tentang dia. Mengapa bisa hanya sekali pertemuan, aku merasa sreg dengannya? Apa ini yang disebut love at first sight atau mungkin dialah wanita sehatiku?Â
Menuju lokasi pertemuan, tak henti-hentinya aku berpikir tentang dia. Mengapa bisa hanya sekali pertemuan, aku merasa sreg dengannya? Apa ini yang disebut love at first sight
Tubuhku semakin gemetar melihat dia sudah tiba. Wanita rambut kucir kuda itu melambaikan tangannya ke arahku. Ia bersama dua orang teman wanita. Untungnya suasana di restoran ini ramai, jadi tidak ada yang memerhatikan rasa gugupku.