Mohon tunggu...
Femas Anggit Wahyu Nugroho
Femas Anggit Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hamba Allah yang ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tuhan Telah Mati: Menyelami Alam Filsafat Eksistensialisme Nietzsche

6 November 2023   00:03 Diperbarui: 30 Juni 2024   10:19 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Berusaha memahami Nietzsche sama halnya membakar diri kita dalam perapian. Bagaimana tidak? Pemikiran-pemikirannya dapat menembus ruang batas dan menjebol tatanan yang selama ini kita anggap sah. Filsuf satu ini pula yang dengan pemikirannya yang amat radikal mampu mengguncang benua Eropa, terlebih Gereja yang oleh Nietzsche dikritik habis-habisan. Sir Muhammad Iqbal, salah satu filsuf Eksistensialisme Islam dalam potongan puisinya menyatakan:

"Tentang Nietzsche: Jika kau nada gemulai, jangan datang menghampiri..."

Dapat ditafsirkan, bahwa apabila kita nada gemulai (lemah pendirian, mudah terprovokasi, mudah tersinggung) sebaiknya jangan mencoba menghampiri pemikiran-pemikiran Nietzsche terlebih dulu.

Kritiknya Nietzsche sebenarnya lebih ke arah keberagamaan, bukan agama itu sendiri. Keberagamaan adalah bagaimana seseorang itu dalam menafsirkan dan menjalankan agamanya. Hal inilah yang oleh Nietzsche dianggap sering kali keberagamaan itu justru membelenggu manusia.

Tampaknya, pemikiran ini muncul karena latar belakang kehidupan Nietzsche di masa kecilnya. Ia ditinggal ayahnya saat masih usia belia. Ayahnya adalah seorang pendeta, dan ingin anaknya tersebut menjadi pendeta pula. Oleh karena itu, sepeninggal ayahnya, Nietzsche dididik oleh ibunya dengan cara yang dapat dibilang ketat.

Dalam lingkup pergaulan, Nietzsche dikenal sebagai anak yang baik-baik, tidak banyak bicara dan cenderung pemalu. Ia juga suka menyendiri dalam kesunyian dan merenung. Ia oleh teman-temannya bahkan dijuluki sebagai "Sang Pendeta". Anak dengan fisik yang lemah itu amat lemah lembut dalam pergaulan dengan tetangganya.

Siapa sangka dibalik sosok anak yang lemah fisiknya, pendiam, baik, dan pemalu itu tersembunyi sosok filsuf besar yang kelak mengguncang jagat pikiran benua Eropa. Sampai pada usia 18 tahun, Nietzsche menyatakan dirinya ateis. Orang-orang menganggap hal ini hanya sebatas gejala pubertas saja, sebagai gejala pencarian jati diri dan nantinya akan sembuh sendiri. Namun, ternyata sampai akhir hayatnya pun Nietzsche tampaknya mempertahankan ketidakpercayaannya pada Tuhan.

Pemikiran Nietzsche cenderung individualis. Dapat ditafsirkan pemikirannya adalah luapan dari seorang yang penuh kesepian, kesunyian, dan kesendirian. Bahkan karya terbesarnya, Also Sprach Zarathustra disusun dalam pengasingannya di puncak pegunungan Alpen, di Sils Maria. Nietzsche menyusun karya terbesarnya itu dalam kesendirian dan kesunyian. Walter Kaufmann, seorang yang dikenal sebagai penafsir dan penerjemah karya-karya Nietzsche mengatakan bahwa:

"...petunjuk terpenting untuk memahami Zarathustra ialah bahwa itu adalah karya seorang yang sangat kesepian."

Kritik Terhadap Moralitas 

Setiap masyarakat memiliki tatanan moral dan nilai-nilai yang mengatur tingkah laku dalam hidup. Tatanan tersebut umumnya berisikan pedoman mengenai mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Semua ini dianggap sah dan mutlak keberadaannya serta wajib ditaati.

Bagi Nietzsche, sistem baik buruk tersebut sebenarnya adalah ciptaan manusia itu sendiri. Dari orang-orang besar katakanlah seperti Plato, Locke, Hegel, Buddha, Jefferson, dan juga Jesus (dan para Nabi lain juga termasuk di dalamnya?). Oleh masyarakat, dipercaya bahwa sistem baik buruk tersebut merupakan sesuatu yang ada secara mutlak dan orang-orang besar tadilah yang menemukan atau juga dikatakan bahwa tatanan nilai tersebut berasal dari Tuhan. Padahal, menurut Nietzsche orang-orang tersebut justru tidak menemukan, melainkan menciptakan. Segala nilai dan sistem baik buruk adalah bikinan mereka (dari pikiran mereka sendiri) dan sifatnya adalah perspektif. Tentunya, dengan pengaruh latar belakang dari si pencipta sistem nilai dan moralitas tersebut (orang-orang besar tadi).

Sebagai bukti bahwa sistem nilai bukanlah sesuatu yang ada secara mutlak adalah perbedaan tata nilai antara masyarakat di suatu tempat dengan tempat lain. Katakanlah masyarakat di tempat A memiliki tata nilai bahwa dikatakan sopan ketika bicara dengan orang yang lebih tua harus menundukkan pandangan, sedangkan di tempat B misalnya, justru dikatakan sopan ketika bicara dengan orang yang lebih tua saling menatap mata. Jika memang tatanan nilai dan moralitas adalah sesuatu yang keberadaannya mutlak, bukankah seharusnya isi daripada tatanan dan moralitas tersebut sama di setiap masyarakat?

Sesuatu yang fatal adalah masyarakat menganggap nilai dan moralitas tersebut bersifat absolut. Moralitas terutama moralitas agama tidak lagi dipertanyakan. Akibatnya, orang-orang yang memiliki potensi besar untuk memajukan peradaban yang pemberani, mandiri, dan inovator terpenjara oleh nilai dan moralitas tersebut. Mereka tidak memiliki kebebasan dalam berbuat dan berkreasi. Orang-orang berpotensi tersebut dibayangi segala konsekuensi apabila tidak sesuai dengan moralitas yang ada. Katakanlah konsekuensi seperti yang banyak didengung-dengungkan oleh agama: dosa besar dan akan dimasukkan neraka (dibakar, disiksa, dan segala bentuk sadisme lain).

Bagi Nietzsche dengan adanya hal tersebut, bukannya peradaban akan maju, justru peradaban akan mengalami kemunduran. Sebagai contoh ada pada peradaban Romawi sebelum dan sesudah masuknya Kristen. Sebelum Kristen masuk, Romawi sedemikian dahsyatnya hingga menguasai hampir dunia di bawah kepemimpinan Alexander The Great. Setelah Kristen masuk, peradaban Romawi mengalami kemunduran. Hal ini karena moralitas agama memang mengajarkan bahwa harus saling mengasihi, yang kuat melindungi yang lemah.

Semua horizon moral (termasuk agama) bagi Nietzsche adalah kreasi manusia itu sendiri. Tidak ada kebenaran di luar manusia dan masyarakat. Karena berhubungan dengan manusia, maka moralitas sifatnya hanya perspektif dan tidak absolut. Karena perspektif, maka hal tersebut adalah pilihan. Kita bisa memilih untuk ikut atau tidak ikut tetapi membuat nilai dan moralitas sendiri.  

Genealogi Moral

Anggapan bahwa moralitas bukanlah sesuatu yang mutlak dan absolut memunculkan teori yang disebut sebagai genealogi moral. Genealogi moral adalah upaya untuk menyingkap motif atau sesuatu hal lain di sebalik moralitas. Penyingkapan kedok, nafsu, kebutuhan, ketakutan, dan harapan yang ada di balik moralitas. Mudahnya, mencari sesuatu yang melatarbelakangi lahirnya suatu moralitas.

Moralitas dianggap sebagai sebuah simbol yang mewakili suatu hal lain di sebaliknya. Moralitas apa pun yang dipegang oleh masyarakat sebenarnya hanya sebatas menyimbolkan harapan-harapan masyarakat, kebutuhan, dan pandangan-pandangannya. Nilai baik dan buruk ternyata tidak serta merta bergantung pada obyektivitas bahwa satu hal baik dan satu hal lain buruk. Sifatnya sebenarnya adalah genealogi. Suatu hal dianggap baik dan buruk atau benar dan salah bergantung dari perspektif mana hal tersebut dipandang.

Sebagai contoh di suatu masyarakat terdapat moralitas apabila bertamu dan diberi suguhan maka harus dihabiskan. Jika tidak dihabiskan maka dianggap melecehkan tuan rumah. Di masyarakat lain moralitasnya justru sebaliknya, ketika bertamu suguhan jangan sampai dihabiskan karena bila habis justru akan dianggap serakah dan rakus. Jika demikian, lantas moralitas mana yang benar? Di sinilah genealogi moral berperan. Kesimpulan baik dan buruk, benar atau salah pada contoh kasus di atas harus ditinjau dari masyarakat yang berkaitan dengan moralitas itu sendiri. Harus ditinjau apa maksud di sebalik moralitas yang ada, apa harapan yang ada di sebaliknya, mengapa masyarakat memiliki moralitas semacam itu. Tidak bisa serta merta langsung disimpulkan bahwa moralitas yang satu benar dan yang lain salah.

Moralitas Tuan dan Moralitas Budak

Sebagaimana sebutannya, moralitas tuan adalah ketika seseorang memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri. Ia memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan sendiri, baik dan buruk sesuai anggapannya sendiri. Ia benar-benar berdaulat atas segala tingkah laku, nasib, dan atas nilai baik dan buruk. Moralitas tuan berarti menunjukkan kekuatan Bagi moralitas tuan, apa yang disebut bermoral berarti mandiri, berani, tegas.

Berkebalikan dengan moralitas tuas, moralitas budak adalah ketika seseorang tidak memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri. Ia tidak bebas dalam bertindak, ia diatur, tidak mandiri dan nasibnya digantungkan pada orang lain (tergantung perintah tuannya. Moralitas budak menunjukkan ketidakberdayaan. Dalam moralitas budak, yang disebut bermoral adalah lemah lembut, mengalah, pasrah, simpati, tanpa pamrih, sebagaimana kasta mereka.

Secara umum, manusia terbagi dalam dua moralitas tersebut. Dan menurut Nietzsche, kebanyakan manusia moralitasnya adalah moralitas budak. Kebanyakan manusia tidak mandiri, penakut, dan pengecut. Mereka tidak punya inisiatif dan keberanian dalam bertindak. Mereka terpenjara oleh moralitas dan nilai yang ada yang dianggap absolut dan mutlak. Yang dianggap baik dan buruk tidak pernah berasal dari diri sendiri melainkan dari luar diri. Dalam moralitas tuan, segala yang baik dan buruk berasal dari dalam diri sendiri. Atas dasar pemikiran, pertimbangan dan analisis sendiri.

Dalam hidup, dua moralitas ini saling ribut satu sama lain. Bagi yang bermoralitas budak, moralitas tuan dianggap sebagai sebuah arogansi dan kejahatan. Bagi moralitas tuan, moralitas budak adalah moralitas yang buruk, moralitas orang-orang lemah.

Oleh Nietzsche, anggapan moralitas budak terhadap moralitas tuan sebagai sesuatu yang jahat dan tidak baik sebenarnya adalah ungkapan dari rasa inferiornya. Mereka memberikan sebuah reaksi atas rasa inferior tersebut. Mereka merasa inferior karena tidak bisa seperti moralitas tuan.

Contoh gambarannya, kita sering kali menganggap bahwa budaya barat itu jelek, jahat, dan sebagainya. Hal ini sebenarnya muncul karena rasa inferior kita terhadap mereka. Kita merasa lebih rendah dibanding mereka. Kita memiliki rasa iri yang tersembunyi karena tidak bisa mencapai kemajuan seperti mereka. Alhasil rasa tersebut disalurkan melalui anggapan bahwa budaya mereka itu jelek dan tidak sesuai norma.

Bisa dilihat hal nyata dari rasa inferior ini adalah ketika ada bule di Bali sedang bersantai di pantai misalnya. Anda hendak mengajak foto bule tersebut. Kiranya apa yang akan Anda lakukan? Tentulah berbicara dengan bule tersebut dengan bahasa inggris. Pernahkah kalian terpikir, mereka singgah di negara kita, Indonesia. Lalu, mengapa harus kita yang susah payah bercakap dengan mereka menggunakan bahasa inggris? Kenapa tidak mereka kita paksa saja untuk paham dengan bahasa kita, bahasa Indonesia? Tentu, bisa di cek lebih mendalam ke diri sendiri. Di sana ada rasa inferioritas. Merasa rendah dan menganggap bahwa bahasa Inggris lebih tinggi kastanya karena dianggap bahasa internasional.

Pembalikan Nilai 

Kedatangan orang-orang besar dan agama oleh Nietzsche justru dianggap mengakibatkan adanya transvaluasi nilai (pembalikan nilai). Apa yang sebenarnya baik justru dianggap buruk dan apa yang sebenarnya buruk justru dianggap baik. Mentalitas seperti kalah dan rendah diri semula adalah buruk. Karena ada transvaluasi, mentalitas tersebut mengalami pembalikan nilai. Kalah ditransvaluasi menjadi mengalah, sehingga nilainya berbalik menjadi baik. Demikian pula rendah diri, ditransvaluasi menjadi rendah hati supanya nilainya berbalik menjadi baik. Sedangkan mentalitas seperti berani, superior, maju yang awalnya hal tersebut adalah baik justru ditransvaluasi menjadi buruk. Dibalikkan nilainya menjadi arogan dan jahat.

Transvaluasi nilai tersebut bagi Nietzsche merupakan semacam balas dendam imajiner. Balas dendam dari moralitas budak yang merasa inferior dan tidak bisa menyamai moralitas tuan. Sehingga, dilakukanlah pembalikan agar seolah-olah moralitas budak berada di tempat tinggi sebagai moralitas yang baik. Pembalikan nilai semacam ini memang sangat mungkin karena sebagaimana asumsi awal, segala nilai dan moralitas sifatnya adalah perspektif, tidak mutlak, dan tidak absolut.

Lantas, mengapa transvaluasi nilai semacam ini dapat bertahan? Menurut Nietzsche hal ini dikarenakan dunia sosial, budaya, dan bahkan agama secara terus menyediakan narasi-narasi untuk melanggengkan transvaluasi nilai ini. Diciptakan narasi yang memuat keutamaan dan mengagung-agungkan dari moralitas budak. Narasi ini sebenarnya bukan berasal secara langsung dari ayat-ayat suci dalam agama, melainkan dari penafsiran para pemukanya yang justru secara tidak disadari melanggengkan pembalikan nilai, melanggengkan moralitas. Narasi-narasi seperti: "tenang saja, tetap ikhlas dan pasrah, ini hanya kehidupan di dunia" mengakibatkan manusia menjadi lemah, pemalas, dan tidak mau maju. Alhasil, manusia yang terdoktrin bahwa moralitas tersebut mutlak dan absolut, ia akan benar-benar terpenjara dan kelanggengan pembalikan nilai semakin menjadi-jadi.

Kehendak untuk Berkuasa 

Bagi Nietzsche, pembalikan nilai tersebut menimbulkan moralitas dan nilai yang tidak natural. Dalam artian lain, tidak sejalan dengan kodrat alamiah manusia. Segala yang tidak natural pasti akan mengganggu tatanan. Nietzsche menganggap bahwa kodrat alamiah manusia justru adalah moralitas tuan. Manusia memiliki kehendak untuk berkuasa, keinginan untuk maju, berkreasi, dan keinginan untuk bebas dan mandiri. Setiap individu ingin dilihat dan dianggap sebagai yang paling menonjol (will to power). Namun, selama berabad-abad, kehendak ini dipenjara oleh agama dan sistem moralitas sosial yang ada.

Contoh sederhana saja, ketika Anda fotbar dengan teman-teman sekelas, kemudian ingin mempostingnya di instagram, apa yang pertama kali Anda lakukan? Ya, tentu dan pasti, pertama kali yang dilihat adalah foto diri sendiri. Kita pilih mana di antara hasil fotbar itu yang diri kita terlihat bagus. Apa namanya ini kalau bukan keinginan untuk terlihat "paling" dan "menonjol" di antara yang lain?

Oleh karena itu, bagi Nietzsche dunia ini sebenarnya tak lebih dari kehendak untuk berkuasa. Demikian pula dengan diri kita sendiri. Hakikat yang kita miliki adalah kehendak untuk berkuasa, tidak lebih daripada itu. Dalam hidup kita, hanya berisi dua hal: menaikkan derajat kita atau menunjukkan bahwa orang lain di bawah diri kita. Contoh saja, ketika kita merasa jelek, kita akan melihat kepada orang lain yang menurut kita lebih jelek lagi. Kita berusaha untuk menunjukkan bahwa orang lain di bawah diri kita.

Kehendak untuk berkuasa adalah daya hidup paling dasar dalam diri manusia. Bahkan tujuan pengetahuan bukan untuk menangkap kebenaran tertentu, melainkan untuk menundukkan sesuatu. Setiap pengetahuan tergantung kebutuhan kita, termasuk kebutuhan obyektivitas. Tidak ada kebenaran obyektif, kebenaran bersifat perspektif. Maka, penafsirannya tergantung daripada perspektif si penafsir dan perspektif penafsir adalah kehendaknya untuk berkuasa.

Ubermensch

Sejalan dengan pernyataan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan daya hidup manusia yang paling mendasar, setiap manusia hendaknya menjadi Ubermensch (Superman/Manusia Super). Bagi Nietzsche, tujuan kebudayaan bukan untuk kemanusiaan, melainkan untuk Ubermensch ini. Bukan untuk menuntun manusia menjadi manusia, melainkan menuntun manusia menjadi manusia super.

Oleh Nietzsche manusia dikategorikan ke dalam manusia kerumunan dan manusia super. Manusia Super (dikatakan juga sebagai Manusia Unggul) adalah mereka yang teguh, terampil, bebas, dan berdaulat. Manusia kerumunan adalah mereka yang lemah, pengecut, budak, tunduk. Jumlah manusia kerumunan ini sudah terlalu banyak sedangkan jumlah Ubermencsh sedikit. Oleh Nietzsche, kita memerlukan Ubermensch lebih banyak agar dunia menjadi lebih baik.

Superman memiliki kebebasan. Bukan berarti ia tidak bermoral. Ia tetap bermoral tetapi atas dasar moralitas yang dibikinnya sendiri. Ia merancang sendiri moralitasnya sejalan dengan kehendak sendiri, sebagai hasil pemikiran dan analisisnya sendiri. Ia mampu melakukan pembalikan nilai sebagaimana sebelumnya dilakukan oleh orang-orang bermoralitas budak. Mereka adalah yang realistis melihat hidupnya dan bermentalitas tuan.

Gambaran sosok superman ini (meskipun oleh Nietzsche sendiri dirasa kurang pas) adalah perpaduan antara Napoleon dan Goethe atau Julius Caesar dan Yesus. Napoleon adalah politikus yang luar biasa dan digabungkan dengan Goethe yang seorang seniman. Julius Caesar seorang raja besar digabung dengan Yesus yang seorang Nabi. Dengan kata lain, sosok superman ini adalah gabungan antara seniman, filsuf, dan orang suci. Seniman, artinya ia memiliki daya kreativitas, filsuf artinya ia memiliki pemikiran mendalam, orang suci artinya mengendalikan lingkungan sekitarnya. Ia adalah yang mengikuti will to power nya, agen yang mengubah, bukan sosok yang diubah.

Jika kita menganggap superman adalah pimpinan masyarakat hal ini justru keliru. Oleh Nietzsche, superman bukanlah pimpinan masyarakat melainkan mereka yang memiliki dan bisa menawarkan alternatif hidup yang lain (cenderung out of the box). Hal ini dikarenakan apabila menjadi seorang pimpinan maka ia terpaksa mengurus orang lain dan berpotensi menjadi penghalang orang lain untuk menjadi superman. Dapat dikatakan, superman adalah mereka yang otentik tanpa tenggelam dalam kerumunan masyarakat.

Nietzsche sendiri tidak menjelaskan bagaimana cara agar menjadi seorang superman. Alasannya, apabila Ia menjelaskan apa saja yang harus dilakukan, dan kita menuruti apa yang Nietzsche jelaskan, justru kita tidak menjadi superman. Kita justru jatuh ke dalam mentalitas budak yang menuruti orang lain. Satu satunya hal yang dilakukan untuk bisa menjadi superman adalah menuruti dorongan batin atau kehendak diri kita.

Kembalinya yang Sama Secara Abadi

Salah satu pendukung untuk menjadi superman, bagi Nietzsche sifat dari dunia ini adalah siklus dan berulang. Dunia rusak, nantinya akan baik lagi, rusak lagi, baik lagi, dan seterusnya. Semua peristiwa akan berulang dan tidak berujung. Bagi Nietzsche hal ini menjengkelkan. Akan tetapi, karena merupakan suatu siklus maka Ja-Sagen (kita terima saja).

Hal ini merupakan implikasi dari Nietzsche yang melakukan penolakan terhadap transendensi. Segalanya adalah immanensi. Segalanya peristiwa adalah dunia dan tidak ada hubungannya dengan yang di luar manusia dan di luar dunia. Tidak ada Tuhan sang pencipta atau dengan kata lain tidak ada sein kreatif di luar dunia ini. Tidak ada yang melampaui dunia ini, seperti akhirat. Bukti paling jelas adalah hukum kekekalan energi. Energi kekal dan bisa berubah dari satu bentuk ke bentuk lain.  Demikian dari kita pula adalah kumpulan energi yang memadat. Energi ini tidak akan lenyap, ia hanya akan berubah ke bentuk lain. Dapat dikatakan, secara bersiklus ketika kita mati, maka kita (yang terdiri dari sekumpulan energi yang memadat) akan kembali ke bentuk semula atau berubah ke bentuk lain.

Tuhan Telah Mati

Pendukung lain untuk memunculkan Ubermensch adalah kematian Tuhan. Ungkapan "Tuhan Telah Mati" ini dapat dijumpai dalam karyanya Nietzsche yang sekaligus merupakan magnum opusnya yakni Also Sprach Zarathustra (dapat dicari dan dibaca sendiri, toh sudah ada versi terjemahan bahasa Indonesianya). Dalam karya tersebut, diceritakan bahwa Zarathustra yang ingin menebar kearifan dan kebijaksanaannya kepada orang-orang, ia mulai turun dari tempat pengasingannya di puncak gunung. Dalam perjalanan, ia bertemu orang tua suci yang sedang mencari akar-akaran di hutan. Bertanyalah Zarathustra kepada orang suci itu perihal apa yang dilakukannya, dan beginilah jawaban orang suci:

"Aku mencipta lagu dan menyanyikannya; dan sementara aku mencipta lagu, aku tertawa, menangis, dan bersenandung; demikianlah aku memuja Tuhan. Sambil berdendang, menangis, tertawa, dan bersenandung, kupuja Tuhan yang memang Tuhan-ku..."

Mendengar jawaban itu, Zarathustra kemudian berlalu. Ketika ia seorang diri, bertanya-tanyalah IA di dalam hatinya:

"Mungkinkah demikian? Orang suci di hutan tadi belum mendengar berita bahwa Tuhan Sudah Mati!"

Lantas, kapan Tuhan mati? Tuhan mati saat manusia sadar ternyata mereka-lah yang "menciptakan Tuhan", bukan sebaliknya. Menciptakan Tuhan di sini maksudnya adalah bahwa Tuhan yang selama ini disembah adalah konstruksi manusia itu sendiri. Buktinya, perspektif mengenai Tuhan antara satu agama dan agama lain berbeda. Yang dibunuh adalah Tuhan yang ada di kepala kita, yang sesuai konsep kita.

Bagaimana Tuhan mati? Kita sendirilah yang membunuhnya. Menurut Nietzsche, sains kita yang semakin canggih dan semakin mampu menjelaskan banyak hal semakin mengurangi peran serta Tuhan dalam urusan duniawi. Yang semula tidak dapat dijelaskan secara ilmiah, semua dikaitkan dengan kegaiban kekuasaan Tuhan. Setelah sains menjelaskan semuanya, hilanglah peran Tuhan itu.

Dengan kematian Tuhan, kita akan terbebas dari apa yang oleh Nietzsche disebut sebagai kecengengan transendental. Maksudnya, dengan adanya Tuhan kita cenderung menjadi cengeng. Segala permasalahan selalu dikeluhkesahkan kepada Tuhan. Sedikit-sedikit mengatasnamakan Tuhan. Kita pun menjadi pengecut yang melarikan diri dari dunia dengan berlindung di bawah naungan Tuhan. Ketika Tuhan telah dibunuh, maka kita akan terbebas dari kecengengan dan kepengecutan semacam ini.

Dengan kematian Tuhan, segala belenggu dan penjara yang mencegah manusia untuk kreatif dan bebas semuanya hilang sudah. Ketika Tuhan mati, maka mati pulalah segala nilai dan moralitas yang ada. Segalanya menjadi kosong dan tidak ada nilai dan timbullah nihilisme.

Nihilisme sendiri berarti ketidakadaan makna atau nilai kehidupan. Nihilisme dapat dikategorikan menjadi nihilisme pasif dan nihilisme aktif. Nihilisme pasif adalah ketika sampai pada tahap ketiadaan nilai atau makna hidup, seseorang jatuh ke dalam keputusasaan. Mereka cenderung merasa akan kehilangan arah, kesepian, kesendirian, sehingga hidup pun dijalani begitu saja. Mereka ini sebenarnya merindukan makna dan moralitas baru tetapi tidak mampu menemukannya. Nihilisme aktif adalah mereka yang ketika sampai pada tahap kesadaran ketiadaan nilai dan makna hidup, mereka justru menciptakan sendiri nilai dan makna hidup yang baru. Ia akan menjadi seorang Ubermensch.

Yang Dapat Diambil dari Seorang Nietzsche

Kita boleh saja menganggap filsuf satu ini gila, sinting, atau edan. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa pemikirannya memberikan kontribusi yang cukup besar dalam dunia Eropa dan filsafat. Pemikirannya yang sangat radikal memberikan beberapa hal baru.

Nietzsche telah memberikan kita kebenaran "yang lain". Nietzsche juga memberikan ide baru seperti perspektivisme yang nantinya sangat berpengaruh terhadap perkembangan dunia filsafat yang disebut pos modern. Nietzsche menunjukkan bahwa moralitas sifatnya relatif dan perspektif saja. Nietzsche mengajak kita untuk menikmati hidup dan bebas dari dunia tanpa makna. Nietzsche juga mengingatkan kita bahwa selama ini umumnya kita hanya menghabiskan waktu dan sering ikut saja kerumunan orang lain. Kita tidak menuruti will to power kita. Nietzsche ingin manusia memiliki keotentikan sesuai diri manusia itu sendiri (kehendaknya, keinginannya, hasratnya). Kita harus memunculkan diri sendiri dalam sejarah!

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun