Bagi Nietzsche, pembalikan nilai tersebut menimbulkan moralitas dan nilai yang tidak natural. Dalam artian lain, tidak sejalan dengan kodrat alamiah manusia. Segala yang tidak natural pasti akan mengganggu tatanan. Nietzsche menganggap bahwa kodrat alamiah manusia justru adalah moralitas tuan. Manusia memiliki kehendak untuk berkuasa, keinginan untuk maju, berkreasi, dan keinginan untuk bebas dan mandiri. Setiap individu ingin dilihat dan dianggap sebagai yang paling menonjol (will to power). Namun, selama berabad-abad, kehendak ini dipenjara oleh agama dan sistem moralitas sosial yang ada.
Contoh sederhana saja, ketika Anda fotbar dengan teman-teman sekelas, kemudian ingin mempostingnya di instagram, apa yang pertama kali Anda lakukan? Ya, tentu dan pasti, pertama kali yang dilihat adalah foto diri sendiri. Kita pilih mana di antara hasil fotbar itu yang diri kita terlihat bagus. Apa namanya ini kalau bukan keinginan untuk terlihat "paling" dan "menonjol" di antara yang lain?
Oleh karena itu, bagi Nietzsche dunia ini sebenarnya tak lebih dari kehendak untuk berkuasa. Demikian pula dengan diri kita sendiri. Hakikat yang kita miliki adalah kehendak untuk berkuasa, tidak lebih daripada itu. Dalam hidup kita, hanya berisi dua hal: menaikkan derajat kita atau menunjukkan bahwa orang lain di bawah diri kita. Contoh saja, ketika kita merasa jelek, kita akan melihat kepada orang lain yang menurut kita lebih jelek lagi. Kita berusaha untuk menunjukkan bahwa orang lain di bawah diri kita.
Kehendak untuk berkuasa adalah daya hidup paling dasar dalam diri manusia. Bahkan tujuan pengetahuan bukan untuk menangkap kebenaran tertentu, melainkan untuk menundukkan sesuatu. Setiap pengetahuan tergantung kebutuhan kita, termasuk kebutuhan obyektivitas. Tidak ada kebenaran obyektif, kebenaran bersifat perspektif. Maka, penafsirannya tergantung daripada perspektif si penafsir dan perspektif penafsir adalah kehendaknya untuk berkuasa.
Ubermensch
Sejalan dengan pernyataan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan daya hidup manusia yang paling mendasar, setiap manusia hendaknya menjadi Ubermensch (Superman/Manusia Super). Bagi Nietzsche, tujuan kebudayaan bukan untuk kemanusiaan, melainkan untuk Ubermensch ini. Bukan untuk menuntun manusia menjadi manusia, melainkan menuntun manusia menjadi manusia super.
Oleh Nietzsche manusia dikategorikan ke dalam manusia kerumunan dan manusia super. Manusia Super (dikatakan juga sebagai Manusia Unggul) adalah mereka yang teguh, terampil, bebas, dan berdaulat. Manusia kerumunan adalah mereka yang lemah, pengecut, budak, tunduk. Jumlah manusia kerumunan ini sudah terlalu banyak sedangkan jumlah Ubermencsh sedikit. Oleh Nietzsche, kita memerlukan Ubermensch lebih banyak agar dunia menjadi lebih baik.
Superman memiliki kebebasan. Bukan berarti ia tidak bermoral. Ia tetap bermoral tetapi atas dasar moralitas yang dibikinnya sendiri. Ia merancang sendiri moralitasnya sejalan dengan kehendak sendiri, sebagai hasil pemikiran dan analisisnya sendiri. Ia mampu melakukan pembalikan nilai sebagaimana sebelumnya dilakukan oleh orang-orang bermoralitas budak. Mereka adalah yang realistis melihat hidupnya dan bermentalitas tuan.
Gambaran sosok superman ini (meskipun oleh Nietzsche sendiri dirasa kurang pas) adalah perpaduan antara Napoleon dan Goethe atau Julius Caesar dan Yesus. Napoleon adalah politikus yang luar biasa dan digabungkan dengan Goethe yang seorang seniman. Julius Caesar seorang raja besar digabung dengan Yesus yang seorang Nabi. Dengan kata lain, sosok superman ini adalah gabungan antara seniman, filsuf, dan orang suci. Seniman, artinya ia memiliki daya kreativitas, filsuf artinya ia memiliki pemikiran mendalam, orang suci artinya mengendalikan lingkungan sekitarnya. Ia adalah yang mengikuti will to power nya, agen yang mengubah, bukan sosok yang diubah.
Jika kita menganggap superman adalah pimpinan masyarakat hal ini justru keliru. Oleh Nietzsche, superman bukanlah pimpinan masyarakat melainkan mereka yang memiliki dan bisa menawarkan alternatif hidup yang lain (cenderung out of the box). Hal ini dikarenakan apabila menjadi seorang pimpinan maka ia terpaksa mengurus orang lain dan berpotensi menjadi penghalang orang lain untuk menjadi superman. Dapat dikatakan, superman adalah mereka yang otentik tanpa tenggelam dalam kerumunan masyarakat.
Nietzsche sendiri tidak menjelaskan bagaimana cara agar menjadi seorang superman. Alasannya, apabila Ia menjelaskan apa saja yang harus dilakukan, dan kita menuruti apa yang Nietzsche jelaskan, justru kita tidak menjadi superman. Kita justru jatuh ke dalam mentalitas budak yang menuruti orang lain. Satu satunya hal yang dilakukan untuk bisa menjadi superman adalah menuruti dorongan batin atau kehendak diri kita.