Mohon tunggu...
Femas Anggit Wahyu Nugroho
Femas Anggit Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hamba Allah yang ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tuhan Telah Mati: Menyelami Alam Filsafat Eksistensialisme Nietzsche

6 November 2023   00:03 Diperbarui: 30 Juni 2024   10:19 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kembalinya yang Sama Secara Abadi

Salah satu pendukung untuk menjadi superman, bagi Nietzsche sifat dari dunia ini adalah siklus dan berulang. Dunia rusak, nantinya akan baik lagi, rusak lagi, baik lagi, dan seterusnya. Semua peristiwa akan berulang dan tidak berujung. Bagi Nietzsche hal ini menjengkelkan. Akan tetapi, karena merupakan suatu siklus maka Ja-Sagen (kita terima saja).

Hal ini merupakan implikasi dari Nietzsche yang melakukan penolakan terhadap transendensi. Segalanya adalah immanensi. Segalanya peristiwa adalah dunia dan tidak ada hubungannya dengan yang di luar manusia dan di luar dunia. Tidak ada Tuhan sang pencipta atau dengan kata lain tidak ada sein kreatif di luar dunia ini. Tidak ada yang melampaui dunia ini, seperti akhirat. Bukti paling jelas adalah hukum kekekalan energi. Energi kekal dan bisa berubah dari satu bentuk ke bentuk lain.  Demikian dari kita pula adalah kumpulan energi yang memadat. Energi ini tidak akan lenyap, ia hanya akan berubah ke bentuk lain. Dapat dikatakan, secara bersiklus ketika kita mati, maka kita (yang terdiri dari sekumpulan energi yang memadat) akan kembali ke bentuk semula atau berubah ke bentuk lain.

Tuhan Telah Mati

Pendukung lain untuk memunculkan Ubermensch adalah kematian Tuhan. Ungkapan "Tuhan Telah Mati" ini dapat dijumpai dalam karyanya Nietzsche yang sekaligus merupakan magnum opusnya yakni Also Sprach Zarathustra (dapat dicari dan dibaca sendiri, toh sudah ada versi terjemahan bahasa Indonesianya). Dalam karya tersebut, diceritakan bahwa Zarathustra yang ingin menebar kearifan dan kebijaksanaannya kepada orang-orang, ia mulai turun dari tempat pengasingannya di puncak gunung. Dalam perjalanan, ia bertemu orang tua suci yang sedang mencari akar-akaran di hutan. Bertanyalah Zarathustra kepada orang suci itu perihal apa yang dilakukannya, dan beginilah jawaban orang suci:

"Aku mencipta lagu dan menyanyikannya; dan sementara aku mencipta lagu, aku tertawa, menangis, dan bersenandung; demikianlah aku memuja Tuhan. Sambil berdendang, menangis, tertawa, dan bersenandung, kupuja Tuhan yang memang Tuhan-ku..."

Mendengar jawaban itu, Zarathustra kemudian berlalu. Ketika ia seorang diri, bertanya-tanyalah IA di dalam hatinya:

"Mungkinkah demikian? Orang suci di hutan tadi belum mendengar berita bahwa Tuhan Sudah Mati!"

Lantas, kapan Tuhan mati? Tuhan mati saat manusia sadar ternyata mereka-lah yang "menciptakan Tuhan", bukan sebaliknya. Menciptakan Tuhan di sini maksudnya adalah bahwa Tuhan yang selama ini disembah adalah konstruksi manusia itu sendiri. Buktinya, perspektif mengenai Tuhan antara satu agama dan agama lain berbeda. Yang dibunuh adalah Tuhan yang ada di kepala kita, yang sesuai konsep kita.

Bagaimana Tuhan mati? Kita sendirilah yang membunuhnya. Menurut Nietzsche, sains kita yang semakin canggih dan semakin mampu menjelaskan banyak hal semakin mengurangi peran serta Tuhan dalam urusan duniawi. Yang semula tidak dapat dijelaskan secara ilmiah, semua dikaitkan dengan kegaiban kekuasaan Tuhan. Setelah sains menjelaskan semuanya, hilanglah peran Tuhan itu.

Dengan kematian Tuhan, kita akan terbebas dari apa yang oleh Nietzsche disebut sebagai kecengengan transendental. Maksudnya, dengan adanya Tuhan kita cenderung menjadi cengeng. Segala permasalahan selalu dikeluhkesahkan kepada Tuhan. Sedikit-sedikit mengatasnamakan Tuhan. Kita pun menjadi pengecut yang melarikan diri dari dunia dengan berlindung di bawah naungan Tuhan. Ketika Tuhan telah dibunuh, maka kita akan terbebas dari kecengengan dan kepengecutan semacam ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun