Dari kalangan akademisi dan praktisi hukum sendiri ada yang melihat bahwa FPI adalah korban kedua dari timah panas UU Ormas edisi 2017 setelah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), terlebih dengan temuan penulis di atas mengenai indikasi bahwa beberapa pasal dalam UU Ormas edisi 2017 dianggap inkonstitusional dan menyalahi UUD 1945, sehingga kalangan ini menilai (dikatakan secara objektif) bahwa ada kemungkinan UU ini dibuat tanpa melakukan kajian hukum mendalam terlebih dahulu.
Berikutnya kalangan pegiat dan aktivis HAM menilai bahwa pembubaran FPI, sebagai konsekuensi dari UU Ormas edisi 2017 adalah langkah mundur dalam berdemokrasi. Kalangan ini mulai menyamakan langkah politis rezim ini dalam menghadapi lawan politiknya seperti apa yang Orba pernah lakukan; otoriter-represif.
Dan juga UU ini berbahaya pada iklim negara demokratis, dengan adanya keputusan sepihak dalam membubarkan ormas, maka secara langsung telah menyalahi prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul yang telah diatur pada UUD 1945 Pasal 28, 28E Ayat (3) dan 28I Ayat (1) dan juga Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik PBB pada Desember 1966 yang disetujui oleh Indonesia. Jika sudah begini, maka para aktivis dan pegiat HAM, akan menyuarakan kegagalan negara dalam menjamin HAM, dan menghembuskan kekhawatiran berlebih (paranoid syndrom) bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul akan terganggu, terhalang, dibatasi untuk berkembang, bahkan berpotensi dimatikan, sebagaimana Orba pernah melakukannya. Â
Meski dipenuhi sentimen negatif, akan tetapi Pemerintah tetap bersikukuh bahwa Perppu No 2 Tahun 2017 yang telah sah menjadi UU Ormas No 16 Tahun 2017 memilki landasan dan mekanisme hukum yang sesuai dengan UUD 1945. Dalam hal ini argumentasi kunci Pemerintah adalah soal posisi Panca Sila sebagai dasar dan falsafah negara, sehingga siapa saja yang mencoba mengganti, merubah atau bahkan menghilangkannya adalah musuh negara yang harus segera disingkirkan. Dilansir dari Kemendagri, bahwasanya FPI sudah mengajukan perpanjangan SKT, namun dikarenakan ada beberapa hal yang oleh Pemerintah dianggap menyimpang, sehingga permintaan tersebut sampai sekarang belum dikabulkan. Usut punya usut hal itu disebabkan pihak Pemerintah merasa keberatan dan mempermasalahkan  anggaran dasar FPI Pasal 6 yang kurang lebih bermakna penerapan syariah Islamiyah yang kaffah diseluruh lapisan sosial masyarakat dibawah naungan khilafah Islamiyyah. Pemerintah menilai bahwa anggaran dasar tersebut menyalahi perluasaan makna dari Panca sila sebagai landasan dan dasar negara.
Maka jika berangkat dari alasan ini, SKB pembubaran FPI sudah tepat adanya, terlebih dari pihak FPI sendiri menolak untuk mengganti pasal 6 tersebut. Bahwa tidak ada secara explisit kewajiban penggunaan Panca Sila sebagai asas tunggal, namun jika mengacu pada pendefinisian ormas sesuai UU Orma edisi 2017 maka akan terlihat bahwa ormas harus dalam kehidupannya berdasar Panca Sila da UUD 1945.
Namun argumentasi ini juga masih mendapat koreksi dari banyak pihak, pasalnya pengkategorian suatu ormas melenceng dari Panca Sila hanya dari sudut penguasa, maka sama saja dengan penggunaan tafsir mutlak Pemerintah, yang bisa saja di kemudian hari akan menjadi alat kontrol masyarakat, seperti Orba.
Selain dianggap bertentangan dengan Panca Sila, Pemerintah juga menyatakan FPI dalam kegiatannya menganggu ketertiban umum, memprovokasi permusuhan dan menghalang-halangi hak asasi terhadap kelompok tertentu, bahkan temuan pihak terkait mengunggap ada 35 anggota atau simpatisan FPI yang terbukti berafiliasi pada jaringan kelompok teroris, sehingga sesuai amanat UU, ormas yang bersangkutan bisa disanksi secara administratif (pencabutan izin badan hukum atau keterangan terdaftar) dan sanksi pidana sesuai ketentuan yang ada. Tidak berlebihan Pemerintah dalam penggunaan argumen ini, yang jelas jika kita melihat rekam jejak pergerakan FPI maka akan kita temukan banyak sekali pelangggaran yang dinyatakan oleh Pemerintah, sampai-sampai penulis akan kewalahan jika menulis semuanya.
Sebagai penutup dari tulisan yang panjang ini, penulis selaku warga negara yang baik maka meyakini Panca Sila sebagai satu-satunya falsafah dan dasar negara. Mutlak tidak bisa diganti dan diganggu gugat, sehingga sudah selayaknya kita pasang badan untuk melindunginya dan menolak semua paham, aliran atau kelompok tertentu yang ingin mengusiknya.
Selanjutnya jika memang beranggapan bahwa UU Ormas ini melanggar prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul dalam UUD 1945, maka selayaknya kita juga berpegang pada prinsip mengormati hak asasi orang lain dalam kaitanya tertib kehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam upaya tersebut setiap orang harus tunduk dan patuh pada pembatasan yang dilakukan Pemerintah melalui undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (UUD 1945 Pasal 28J).
Terakhir, sudah sepatutnya kita berprasangka pada Pemerintah akan itikad baik dan keseriusan dalam kaitannya perlindungan dan penjaminan HAM di Indonesia, terlebih aura dan semangat reformasi yang terus menyala, menjadi pengingat serta kontrol yang lebih saksama atas kinerja mereka. Semua itu dilakukan demi terciptanya iklim negara hukum yang demokratis dan responsif, sehingga kondusifitas serta stabilitas dalam kehidupan berbangsa bernegara menjadi benar-benar nyata. Menuju Indonesia Emas, Jayalah Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H