Masih hangat diingatan kita adalah pasca kepulangan Imam Besar FPI Habib Muhammad Riziq Shihab, yang disambut penuh euforia dengan ratusan baliho selamat datang dibanyak titik di Ibu Kota serta ratusan massa yang menjemputnya setibanya di bandara Soetta hingga ke Markas FPI di Petamburan. Meskipun angka positif covid-19 yang kian melonjak, mereka seolah abai dan tak acuh dengan hal tersebut, mereka hanya fokus pada tujuan mereka semata, glorifikasi semu.Â
Tak berhenti di situ, mereka kemudian secara terang-terangan dan sengaja  membuat banyak kegiatan yang bersifat masif di tengah Pemda DKI memberlakukan PSBB transisi untuk yang ke sekian kalinya. Sontak hal tersebut membuat pro dan kontra di masyarakat, sebab kerumunan sangat berpotensi menjadi klaster baru penularan covid-19. Banyak dari mereka beranggapan bahwa Pemerintah dalam hal ini Pemda, bahkan Pusat tak punya banyak kuasa bahkan nyali untuk berhadapan dengan sebuah ormas, yang tidak berbadan hukum, bahkan tak terdaftar. Di lain pihak banyak juga yang beranggapan bahwa jika pemilu saja boleh, masa sekedar perkumpulan keagamaan dilarang?, dasar rezim dzalim!.
Ternyata Pemerintah, baik Pemda maupun Pusat tak tinggal diam, dikonfirmasi bahwa Pemda DKI sudah menjatuhkan sanksi denda sejumlah 50 juta, yang terkesan dibesar dan dibangga-banggakan sebagai denda tersebar selama pelaksanaaan PSBB. Pusat sendiri melalui mitra ketertiban Umumnya; Kepolisian, mengusut dugaan pelanggaran UU Karantina Kesehatan oleh Habib Riziq, dan berhasil menjeratnya dengan status tersangka.
FPI, Antara Memukul atau Dipukul
Hampir 2 dekade FPI berdiri, apa yang kita dengar tentang ormas ini kebanyakan adalah suara-suara negatif bernada arogansi, intoleransi, kriminal, melanggar hukum, kebencian, permusuhan SARA, terorisme bahkan sparatisme. Tapi kemudian jangan kita munafik bahwa suara-suara positif bernada tolong-menolong, tanggap bencana, peduli konstitusi, dakwah Islam dan kedemawanan tetap ada. Hanya saja dalam hal ini, branding yang dibangun oleh FPI, barang kali terlampu fenomenal sehingga mudah diingat.
Salah satu model pergerakan ormas ini yang dianggap kontroversi adalah sweeping ke berbagai tempat yang dilabeli sebagai pusat kemungkaran dan kedzaliman, terlebih pada waktu tertentu seperti bulan suci Ramadhan dan hari-hari besar Islam lainnya. Dalam konteks tertentu sweeping bisa saja berkonotasi positif, namun apa yang kemudian FPI lakukan dianggap melebihi kewenanganya sebagai ormas, bahkan cenderung melangkahi prosedur kamtibnas Kepolisian. Ditambah lagi pendekatan yang bersifat represif dan tekesan main hakim sendiri, sehingga konotasinya jelas negatif.
Dalam tulisan ini, penulis secara pribadi tidak menyoalkan tentang asas keIslaman dan kaidah amar maruf nahi munkar yang didalilkan FPI, namun hemat penulis, alih-alih memegang keyakinannya dalam menjalankan agama, di lain pihak mereka justru mencederai dan mengkerdilkan makna Islam sebagai agama yang cinta damai. Meskipun penulis berkeyakinan bahwa Islam adalah Islam tetapi bagaimana orang lain (non Islam) melihat ajaran agama ini adalah melalui tindak tanduk kita selaku penganutnya. Barang kali hal-hal semacam inilah yang menjadi salah satu faktor tumbuh pesatnya tren Islampobia di dunia belakangan ini.
Dalam banyak kesempatan, kegiatan sweeping (yang dianggap pengejawantahan perintah amar maruf nahi munkar) FPI bersinggungan dengan kekuatan fisik semata dari pada pendekatan-pendekatan persuasif, sehingga mereka terbuai dan lupa bahwa negara ini, berlandaskan hukum. Kita tahu bahwa soalan ketertiban umum adalah ranah Kepolisian, tidak ada aturan atau hukum apapun yang membolehkan ormas melakukan hal tersebut, kecuali ada izin resmi dari institusi yang bersangkutan.
Pada akhirnya FPI yang semula ormas, lambat laun berevolusi sesuai dengan apa yang di citakan dan tujuannya membentuk paramiliter, yang sedikit banyak menyamakan dirinya dengan satuan-satuan kamtibnas di negeri ini. Tak sedikit aktivitas mereka yang kemudian berkonfrontasi dengan pihak keamanan resmi republik ini, sesama ormas, golongan suku, ajaran agama tertentu bahkan dengan institusi Pemerintah.
Dari mulai kasus perusakan kantor Komnas HAM, pengrudukan kantor Kedutaan Amerika, perusakan kampung dan persekusi terhadap kelompok Syiah dan Ahmadiyah, penolakan terhadap kegiatan keagamaan jemaat sebuah gereja, penyerangan terhadap kegiatan peringatan Hari Panca sila di Monas (Insiden Monas), penghasutan dan provokasi berdasar SARA, penghinaan terhadap tokoh nasional dan Panca sila dan yang terbaru adalah temuan Kementrian Dalam Negeri bersama BNPT tentang adanya beberapa anggota FPI yang terindikasi pada kelompok dan gerakan terorisme. Bahkan imam besar mereka, Habib Riziq kerap diperiksa oleh Kepolisian dan beberapa di antaranya berujuang penetapan tersangka dan mendekam di penjara.
Masalah selanjutnya yang bagi penulis masih menyisakan tanda tanya besar adalah: bagaimana cara-cara yang oleh jumhur dinyatakan kontroversi, pada satu dekade terakhir, justru mulai mendapat posisi di hati banyak umat muslim Indonesia. Entah apa penyebabnya banyak dari mereka kepincut, namun satu yang pasti adalah adanya pergeseran norma dan kondisi sosial masyarakat serta pemahaman beragama yang mulai semakin masif dan intensif namun cenderung instan dan hanya di kulit saja. Isu-isu mengenai Islampobia yang kian menyudutkan posisi umat muslim, serta sentimen Pemerintah anti Islam yang kian dihembuskan, juga membuat posisi umat dihadapakn dengan pilihan; tetap diam melihat penindasan terhadap Islam atau bangkit melawan. Takbiir!!!
Barang kali apa yang sempat Pak Jusuf Kalla sampaikan bahwa ada kekosongan pemimpin umat Islam yang bisa mengarahkan dan memimpin mereka, ada benarnya. Pilihannya tentu akan jatuh ke Habib Riziq dan FPI-nya, yang dianggap sebagai model perlawanan tehadap Pemerintah, atau apapun itu yang mereka anggap yang dzalim, ketimbang pada ormas Islam linier seperti NU dan Muhamadiyyah yang dalam sejarahnya selalu mengedepankan taawun (kompromi), ukhuwah wataniyah (nasionalisme), ukhuwah basyariyah (humanisme) dan tasamuh (toleransi) baik dalam hubungannya dengan Pemerintah ataupun dengan yang lainnya.
Coba perhatikan bagaimana FPI yang dengan ratusan ribu anggotanya dan klaim jutaan simpatisan, berhasil merubah pandangan umat terhadap Ahok, sapaan Gubernur DKI hingga menyebabkan kekalahan dari rival politiknya, Pak Anies Baswedan dalam perhelatan Pilkada DKI 2017 silam. Dengan hembusan isu dan sentimen agama, mereka berhasil meyakinkan umat bahwa Ahok tidak lain dan bukan adalah musuh Islam, sehingga tidak pantas memimpin mereka, juga mereka yang bersamanya atau mendukungnya tak lepas dari anggapan tersebut, sehingga semakain terlihat pada akhirnya FPI memposisikan diri sebagai ormas yang beropisisi terhadap Pemerintah yang bertentangan dengan apa yang menjadi kepentingan dan kemauan mereka.
Dari sepak terjangnya, penulis berkeyakinan bahwa dihadapkan dengan penolakan apapun, selama apa yang menjadi visi mereka bisa tercapai, selama itu pula mereka tetap teguh pada cara-caranya nan kontroversial.
Ormas dalam Jaminan KonstitusiÂ
Tepat sehari yang lalu, Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Hukum dan HAM, Informasi dan Komunikasi, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme akhirnya resmi membubarkan dan melarang semua kegiatan dan atribut yang mengatasnamakan FPI, baik di tingkat pusat hingga ke daerah. Tak ayal pengumuman tersebut langsung beredar di masyarakat, baik melalui media cetak maupun elektronik, penuh pro dan kontra. Lalu bagaimana sebenarnya prihal ormas dalam kerangka konstitusi dan mekanisme dalam pembekuan dan pembubaranya ?
Ormas sendiri adalah satu dari banyak instrumen yang mencirikan sehatnya sebuah demokrasi suatu negara. Di Indonesia, ormas merupakan buah amanat UUD 1945 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan mengutarakan pendapat di muka umum, dan sebagai landasan penerapannya dibuatkanlah aturan turunan yang mengatur dan mengakomodir prihal ke-ormasan, yaitu UU No 8 tahun 1985. Namun Orba dengan segala siasatnya, justru membuat UU ini sebagai alat kontrol dan pengawasan terhadap perilaku masyarakat dengan menetapkan pengunaan Panca Sila sebagai asas tunggal.
Menuai kontra dari banyak kalangan, Orba seolah tak bergeming, alasan mereka jelas, ormas adalah elemen untuk mewujudkan persatuan dan kemajuan nasional, oleh karenanya ia harus berasaskan Panca Sila sebagai nilai murni bangsa Indonesia. Dengan peraturan yang demikian, pada kenyataanya ormas pada masa itu hanya hitam di atas putih yang harus tunduk pada tafsir Panca Sila sepihak Rezim Orba dan bila disinyalir melanggarnya bisa dibubarkan tanpa proses hukum yang jelas. Berkumpul dan bersertikat yang seharusnya menjadi hak bebas masyarakat pada akhirnya sirna.
Pasca kejatuhan Rezim Orba dan dimulainya fase reformasi bangsa ini, pola pemerintahan berangsur berubah dari yang semula otoriter-represif, menjadi demokratis-responsif. Berimbas dengan perubahan semua aturan yang dianggap tinggalan Orba agar lebih komperhensif dalam menerima masukan dan aspirasi masyarakat. Termasuk dalam ke-ormasan, Pemerintah mencoba membuka peluang ketebukaan dan pengejawantahan amanat UUD 1945 agar lebih demokratis dan responsif. Terbukti dengan direvisinya UU No 8 Tahun 1985, menjadi UU No 17 Tahun 2013. Meski direvisi UU ini pun masih menemukan kelemahan sehingga beberapa kali dilakukan pengujian melalui Mahkamah Konstitusi (The Guardian of Constitution).
Inti dari revisi ini adalah upaya demokratis Pemerintah pasca reformasi agar kontrol terhadap ormas melalui mekanisme hukum yang sah secara konstitusi (due proces of law) dan berusaha semaksimal mungkin tidak menutup ruang bebas hak kebebasan berkumpul dan berserikat, salah satunya menyatakan bahwa apabila dalam pelaksanaanya ormas melakukan tindakan-tindakan yang melanggar UU Ormas, maka mekanismenya lebih persuasif dan jika sampai pada taraf pembekuaan dan pembubaran maka satu-satunya yang berhak menetapkan adalah kekuasaan yudikatif dengan memberikan kesempatan pihak terkait untuk hadir, menyatakan pendapat dan bersaksi di muka peradilan umum. Inilah poin penting yang membedakan antara pemerintahan sebelum dan sesudah reformasi, dari yang sentralis pada eksekutif, kemudian dibagi wewenangnya secara konstitusi dan riil pada yudikatif.
Lain cerita dengan UU No 17 Tahun 2013, rupanya permasalahan tentang ormas masih berlanjut. Fakta yang tidak bisa dinafikan adalah pasca reformasi, masyarakat seolah memiliki trauma berkepanjangan mengenai pola otoritarian Orba. Hal ini tidaklah salah menginggat 3 dekade, bangsa ini digenggam dan diperalat oleh Orba yang berlindung dibalik kata Panca Sila. Akhirnya Panca Sila yang semula terpatri tak tergoyahkan sebagai filosofische grondslag, turun drajat menjadi hitam di atas putih belaka dalam pelaksanaan konstitusi dan kehidupan bernegara. Imbasnya selama kurun waktu 2 dekade terakhir, bangsa ini dibanjiri banyak sekali ideologi, seolah mereka bertarung untuk memenangkan hati masyarakat republik ini.
Inilah yang kemudian menjadi landasan sosiologis Pemerintah kembali melakukan revisi terhadap UU Ormas No 17 Tahun 2013, bahkan pada kesempatan ini tak tanggung-tanggung, Pemerintah mengeluarkan Perppu No 2 Tahun 2017 sebagai upaya dalam merevisi UU Ormas No 17 Tahun 2013. Kasus yang ditemukan adalah adanya ormas (HTI) yang dengan sengaja ingin merubah dasar negara.
Ketika pada akhirnya kasusnya mencuat ke permukaan, Pemerintah merasa kesulitan dalam menanganginya, -menginggat sekumpulan orang yang terorganisir dan memiliki banyak simpatisan untuk mengubah dasar negara adalah tindakan yang membahayan persatuan dan kedaulatan NKRI- jika berpatokan pada UU Ormas edisi 2013, maka pembekuan dan pembubarannya akan memakan waktu yang sangat lama, terlebih HTI yang berbadan hukum dan adanya potensi untuk selalu naik banding hingga ke Mahkamah Agung. Pemerintah berdalih bahwa tidak ada yang bisa menjamin apakah selama masa peradilan berlangsung, stabilitas dan kedaulatan nasional akan baik-baik saja, hingga akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan Perppu No 2 Tahun 2017 (yang kemudian disahkan menjaid UU No 16 Tahun 2017), yang dalam hal ini sudah sesuai dengan persyaratan pengeluaran perppu yaitu dalam kondisi darurat sesuai tafsir MK (The Final Interpreter of Constitution).
Inti dari perppu ini adalah bagaimana Pemerintah kembali menegaskan posisi mutlak Panca Sila sebagai dasar negara, menyatakan secara implisit posisinya bagi setiap ormas di wilayah NKRI dan menyederhakan proses hukum bagi ormas yang melangggar ketentuan UU Ormas dengan mengembalikan keputusan pembekuan dan pembubaran ormas terkait melalui menteri atau pejabat yang mengeluarkan izin berbadan hukum atau surat keterangan terdaftar, namun tetap memberi ruang pada ormas terkait untuk melayangkan keberatan dengan menggugat ke muka peradilan tata usaha negara. Tentunya semua ini adalah buah tafsir Pemerintah selaku pemegang kuasa dalam menjamin kondusifitas dan stabilitas nasional.
Sejak Perppu No 2 Tahun 2017 diteken dan kemudian disahkan menjadi UU Ormas No 16 Tahun 2017 cukup banyak menuai kontra dari para akademisi dan praktisi hukum, oposisi serta pegiat hak asasi manusia. Alasanya jelas, mekanisme hukum (due proces of law) tentang peradilan terhadap ormas yang dianggap melanggar, putusanya dikembalikan kepada eksekutif serta menghilangkan peran yudikatif dalam memberikan amar putusan yang mengikat. Tak lain dan tak bukan ini dianggap langah mundur ditengah moderasi kehidupan bernegara yang demoktaris, seolah kembali membawa kenangan buruk Orba.
Jika melihat UU Ormas edisi 2013 dan 2017, maka dalam hal pengelompokan, ormas dibagi menjadi 2; antara ia menjadi berbadan hukum atau sekedar mendaftarkan perkumpulannya, itupun jika bekenan. Artinya jika dalam perjalannya ada ormas yang terindikasi melanggar dan sampai pada taraf sanksi pembekuan dan pembubaran, maka jika ormas tersebut berbadan hukum, secara konstitusi, menteri atau pejabat yang mengeluarkan izin tersebut berkuasa untuk mencabutnya kembali (asas contarius actus) dan ini yang menjadi ladang perdebatan banyak pihak.
Pasalnya dalam banyak literasi hukum, badan hukum (rechts persoon) adalah bentuk lain dari subjek hukum selain manusia serta mendapatkan kedudukannya di mata hukum, sehingga jika tersandung kasus, maka Pemerintah wajib memberikan mekanisme hukum yang sama seperti pada manusia (natuurlijk persoon).
Jika sudah disepakati demikian maka UU Ormas edisi 2017 terutama pada pasal 62 ayat (3) dan pasal 80A inkonstitusional, karena i) pasal a quo terbukti melanggar mekanisme hukum (due proces of law)Â sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 1 ayat (3), ii) pasal a quo terbukti melanggar hak kebebasan berkumpul dan berserikat sesuai amanat UUD 1945 Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3), iii) dalam kasus ormas berbadan hukum, maka pengunaan asas contarius actus tidak dapat diterapkan tanpa putusan pengadilan di awal. Â
Kemudian jika suatu ormas memutusakan untuk tidak berbadan hukum, maka alternatifnya adalah antara ia bersedia mendaftarkan diri pada instansi Pemerintah (Dusat atau Daerah) dan mendapatkan SKT (surat keterangan terdaftar) yang artinya ia mendapatkan pelayanan negara atau sebaliknya tidak mendaftarkan diri. Maka kaitanya dengan prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul bagi ormas yang tidak mendaftarkan diri, negara dalam hal ini tidak bisa melarang kegiatan ormas tersebut atau bahkan menetapkanya menjadi terlarang; sepanjang ormas yang bersangkutan tidak menganggu kamtibnas dan melakukan pelanggaran hukum (Putusan MK No 82/PUU-XI/2013)
SKB Pembubaran FPI & Label Otoritarian Rezim Jokowi
Di penghujuang akhir 2020, Pemerintah diwakili oleh kementerian dan lembaga terkait secara sepakat mengeluarkan SKB yang menyatakan ormas FPI bubar dan terlarang, sehingga per kemarin, semua kegiatan, atribut bahkan soalan yang bersingunggan dengan ormas ini dilarang. Dalam paparannya, Pemerintah menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan FPI baik kategori ringan hingga berat, bahkan temuan terbaru dikatakan bahwa ada anggota atau simpatiasan FPI yang terafiliasi dengan kelompok jaringan teroris di Indonesia.
Bagi penulis sendiri, hal ini cukup mengejutkan, FPI yang 1 dekade belakang ini mulai mendapat massa yang cukup banyak dan dalam berbagai komentarnya kerap dijadikan acuan umat dalam melihat kondisi sosial politik negeri ini, pada akhirnya resmi dibubarkan oleh Pmerintah, entah bagaimana nasib dan respon dari anggotnya dan klaim jutaan simpatisan, kita tunggu saja.
Dikutip dari banyak media massa, FPI sendiri sudah menerima instruksi dari Sang Imam Besar untuk menempuh gugatan melalui PTUN, namun selang sehari, beredar kabar bahwa hal tersebut urung dijalankan. FPI sendiri berdalih bahwa SKB tersebut meski dibungkus oleh kekuatan hukum, sejatinya adalah tembakan politis rezim penguasa yang memendam ketidaksukaan terhadap ormas ini, dan bahkan oleh FPI sendiri dianggap sebagai sampah peradaban.
Pasca kepulangan Sang Imam Besar FPI, narasi serta sentimen Pemerintah anti Islam kian masif, apalagi setelah Habib Riziq di tersangkakan karena melanggar UU Karantina Kesehatan, sampai adanya insiden baku tembak yang berakibat tewasnya 6 anggota FPI ditangan pihak Kepolisian. Tentunya di satu sisi, hal semacam ini cukup untuk memberatkan posisi Pemerintah dan seolah menegaskan posisinya yang anti-Islam (bagi FPI), maka dalam hal pembubaran ormas FPI, penulis kira Pemerintah dalam posisi dilema simalakama.
Keberatan tidak hanya dilayangkan oleh FPI dan simpatisannya, tapi juga dari kalangan politisi oposisi, akademisi dan praktisi hukum, hingga pegiat HAM. Kalangan politisi opisisi sendiri menganggap ini adalah salah satu cara memukul rezim terhadap lawan politiknya secara otoriter. Sebagaimana penulis sampaikan diawal bahwa posisi FPI sendiri, tegas sebagai kelompok oposisi dan kerap menyerang Pemerintah dengan isu dan sentimen anti Islam. Maka isu pembubaran FPI tidak hanya berdampak pada ormas semata, melainkan akan berkembang menjadi isu politis dalam kaitanya memukul lawan politik dan akan diperalat sebagai senjata di kemudian waktu.
Dari kalangan akademisi dan praktisi hukum sendiri ada yang melihat bahwa FPI adalah korban kedua dari timah panas UU Ormas edisi 2017 setelah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), terlebih dengan temuan penulis di atas mengenai indikasi bahwa beberapa pasal dalam UU Ormas edisi 2017 dianggap inkonstitusional dan menyalahi UUD 1945, sehingga kalangan ini menilai (dikatakan secara objektif) bahwa ada kemungkinan UU ini dibuat tanpa melakukan kajian hukum mendalam terlebih dahulu.
Berikutnya kalangan pegiat dan aktivis HAM menilai bahwa pembubaran FPI, sebagai konsekuensi dari UU Ormas edisi 2017 adalah langkah mundur dalam berdemokrasi. Kalangan ini mulai menyamakan langkah politis rezim ini dalam menghadapi lawan politiknya seperti apa yang Orba pernah lakukan; otoriter-represif.
Dan juga UU ini berbahaya pada iklim negara demokratis, dengan adanya keputusan sepihak dalam membubarkan ormas, maka secara langsung telah menyalahi prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul yang telah diatur pada UUD 1945 Pasal 28, 28E Ayat (3) dan 28I Ayat (1) dan juga Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik PBB pada Desember 1966 yang disetujui oleh Indonesia. Jika sudah begini, maka para aktivis dan pegiat HAM, akan menyuarakan kegagalan negara dalam menjamin HAM, dan menghembuskan kekhawatiran berlebih (paranoid syndrom) bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul akan terganggu, terhalang, dibatasi untuk berkembang, bahkan berpotensi dimatikan, sebagaimana Orba pernah melakukannya. Â
Meski dipenuhi sentimen negatif, akan tetapi Pemerintah tetap bersikukuh bahwa Perppu No 2 Tahun 2017 yang telah sah menjadi UU Ormas No 16 Tahun 2017 memilki landasan dan mekanisme hukum yang sesuai dengan UUD 1945. Dalam hal ini argumentasi kunci Pemerintah adalah soal posisi Panca Sila sebagai dasar dan falsafah negara, sehingga siapa saja yang mencoba mengganti, merubah atau bahkan menghilangkannya adalah musuh negara yang harus segera disingkirkan. Dilansir dari Kemendagri, bahwasanya FPI sudah mengajukan perpanjangan SKT, namun dikarenakan ada beberapa hal yang oleh Pemerintah dianggap menyimpang, sehingga permintaan tersebut sampai sekarang belum dikabulkan. Usut punya usut hal itu disebabkan pihak Pemerintah merasa keberatan dan mempermasalahkan  anggaran dasar FPI Pasal 6 yang kurang lebih bermakna penerapan syariah Islamiyah yang kaffah diseluruh lapisan sosial masyarakat dibawah naungan khilafah Islamiyyah. Pemerintah menilai bahwa anggaran dasar tersebut menyalahi perluasaan makna dari Panca sila sebagai landasan dan dasar negara.
Maka jika berangkat dari alasan ini, SKB pembubaran FPI sudah tepat adanya, terlebih dari pihak FPI sendiri menolak untuk mengganti pasal 6 tersebut. Bahwa tidak ada secara explisit kewajiban penggunaan Panca Sila sebagai asas tunggal, namun jika mengacu pada pendefinisian ormas sesuai UU Orma edisi 2017 maka akan terlihat bahwa ormas harus dalam kehidupannya berdasar Panca Sila da UUD 1945.
Namun argumentasi ini juga masih mendapat koreksi dari banyak pihak, pasalnya pengkategorian suatu ormas melenceng dari Panca Sila hanya dari sudut penguasa, maka sama saja dengan penggunaan tafsir mutlak Pemerintah, yang bisa saja di kemudian hari akan menjadi alat kontrol masyarakat, seperti Orba.
Selain dianggap bertentangan dengan Panca Sila, Pemerintah juga menyatakan FPI dalam kegiatannya menganggu ketertiban umum, memprovokasi permusuhan dan menghalang-halangi hak asasi terhadap kelompok tertentu, bahkan temuan pihak terkait mengunggap ada 35 anggota atau simpatisan FPI yang terbukti berafiliasi pada jaringan kelompok teroris, sehingga sesuai amanat UU, ormas yang bersangkutan bisa disanksi secara administratif (pencabutan izin badan hukum atau keterangan terdaftar) dan sanksi pidana sesuai ketentuan yang ada. Tidak berlebihan Pemerintah dalam penggunaan argumen ini, yang jelas jika kita melihat rekam jejak pergerakan FPI maka akan kita temukan banyak sekali pelangggaran yang dinyatakan oleh Pemerintah, sampai-sampai penulis akan kewalahan jika menulis semuanya.
Sebagai penutup dari tulisan yang panjang ini, penulis selaku warga negara yang baik maka meyakini Panca Sila sebagai satu-satunya falsafah dan dasar negara. Mutlak tidak bisa diganti dan diganggu gugat, sehingga sudah selayaknya kita pasang badan untuk melindunginya dan menolak semua paham, aliran atau kelompok tertentu yang ingin mengusiknya.
Selanjutnya jika memang beranggapan bahwa UU Ormas ini melanggar prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul dalam UUD 1945, maka selayaknya kita juga berpegang pada prinsip mengormati hak asasi orang lain dalam kaitanya tertib kehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam upaya tersebut setiap orang harus tunduk dan patuh pada pembatasan yang dilakukan Pemerintah melalui undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (UUD 1945 Pasal 28J).
Terakhir, sudah sepatutnya kita berprasangka pada Pemerintah akan itikad baik dan keseriusan dalam kaitannya perlindungan dan penjaminan HAM di Indonesia, terlebih aura dan semangat reformasi yang terus menyala, menjadi pengingat serta kontrol yang lebih saksama atas kinerja mereka. Semua itu dilakukan demi terciptanya iklim negara hukum yang demokratis dan responsif, sehingga kondusifitas serta stabilitas dalam kehidupan berbangsa bernegara menjadi benar-benar nyata. Menuju Indonesia Emas, Jayalah Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H