Sejak Perppu No 2 Tahun 2017 diteken dan kemudian disahkan menjadi UU Ormas No 16 Tahun 2017 cukup banyak menuai kontra dari para akademisi dan praktisi hukum, oposisi serta pegiat hak asasi manusia. Alasanya jelas, mekanisme hukum (due proces of law) tentang peradilan terhadap ormas yang dianggap melanggar, putusanya dikembalikan kepada eksekutif serta menghilangkan peran yudikatif dalam memberikan amar putusan yang mengikat. Tak lain dan tak bukan ini dianggap langah mundur ditengah moderasi kehidupan bernegara yang demoktaris, seolah kembali membawa kenangan buruk Orba.
Jika melihat UU Ormas edisi 2013 dan 2017, maka dalam hal pengelompokan, ormas dibagi menjadi 2; antara ia menjadi berbadan hukum atau sekedar mendaftarkan perkumpulannya, itupun jika bekenan. Artinya jika dalam perjalannya ada ormas yang terindikasi melanggar dan sampai pada taraf sanksi pembekuan dan pembubaran, maka jika ormas tersebut berbadan hukum, secara konstitusi, menteri atau pejabat yang mengeluarkan izin tersebut berkuasa untuk mencabutnya kembali (asas contarius actus) dan ini yang menjadi ladang perdebatan banyak pihak.
Pasalnya dalam banyak literasi hukum, badan hukum (rechts persoon) adalah bentuk lain dari subjek hukum selain manusia serta mendapatkan kedudukannya di mata hukum, sehingga jika tersandung kasus, maka Pemerintah wajib memberikan mekanisme hukum yang sama seperti pada manusia (natuurlijk persoon).
Jika sudah disepakati demikian maka UU Ormas edisi 2017 terutama pada pasal 62 ayat (3) dan pasal 80A inkonstitusional, karena i) pasal a quo terbukti melanggar mekanisme hukum (due proces of law)Â sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 1 ayat (3), ii) pasal a quo terbukti melanggar hak kebebasan berkumpul dan berserikat sesuai amanat UUD 1945 Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3), iii) dalam kasus ormas berbadan hukum, maka pengunaan asas contarius actus tidak dapat diterapkan tanpa putusan pengadilan di awal. Â
Kemudian jika suatu ormas memutusakan untuk tidak berbadan hukum, maka alternatifnya adalah antara ia bersedia mendaftarkan diri pada instansi Pemerintah (Dusat atau Daerah) dan mendapatkan SKT (surat keterangan terdaftar) yang artinya ia mendapatkan pelayanan negara atau sebaliknya tidak mendaftarkan diri. Maka kaitanya dengan prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul bagi ormas yang tidak mendaftarkan diri, negara dalam hal ini tidak bisa melarang kegiatan ormas tersebut atau bahkan menetapkanya menjadi terlarang; sepanjang ormas yang bersangkutan tidak menganggu kamtibnas dan melakukan pelanggaran hukum (Putusan MK No 82/PUU-XI/2013)
SKB Pembubaran FPI & Label Otoritarian Rezim Jokowi
Di penghujuang akhir 2020, Pemerintah diwakili oleh kementerian dan lembaga terkait secara sepakat mengeluarkan SKB yang menyatakan ormas FPI bubar dan terlarang, sehingga per kemarin, semua kegiatan, atribut bahkan soalan yang bersingunggan dengan ormas ini dilarang. Dalam paparannya, Pemerintah menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan FPI baik kategori ringan hingga berat, bahkan temuan terbaru dikatakan bahwa ada anggota atau simpatiasan FPI yang terafiliasi dengan kelompok jaringan teroris di Indonesia.
Bagi penulis sendiri, hal ini cukup mengejutkan, FPI yang 1 dekade belakang ini mulai mendapat massa yang cukup banyak dan dalam berbagai komentarnya kerap dijadikan acuan umat dalam melihat kondisi sosial politik negeri ini, pada akhirnya resmi dibubarkan oleh Pmerintah, entah bagaimana nasib dan respon dari anggotnya dan klaim jutaan simpatisan, kita tunggu saja.
Dikutip dari banyak media massa, FPI sendiri sudah menerima instruksi dari Sang Imam Besar untuk menempuh gugatan melalui PTUN, namun selang sehari, beredar kabar bahwa hal tersebut urung dijalankan. FPI sendiri berdalih bahwa SKB tersebut meski dibungkus oleh kekuatan hukum, sejatinya adalah tembakan politis rezim penguasa yang memendam ketidaksukaan terhadap ormas ini, dan bahkan oleh FPI sendiri dianggap sebagai sampah peradaban.
Pasca kepulangan Sang Imam Besar FPI, narasi serta sentimen Pemerintah anti Islam kian masif, apalagi setelah Habib Riziq di tersangkakan karena melanggar UU Karantina Kesehatan, sampai adanya insiden baku tembak yang berakibat tewasnya 6 anggota FPI ditangan pihak Kepolisian. Tentunya di satu sisi, hal semacam ini cukup untuk memberatkan posisi Pemerintah dan seolah menegaskan posisinya yang anti-Islam (bagi FPI), maka dalam hal pembubaran ormas FPI, penulis kira Pemerintah dalam posisi dilema simalakama.
Keberatan tidak hanya dilayangkan oleh FPI dan simpatisannya, tapi juga dari kalangan politisi oposisi, akademisi dan praktisi hukum, hingga pegiat HAM. Kalangan politisi opisisi sendiri menganggap ini adalah salah satu cara memukul rezim terhadap lawan politiknya secara otoriter. Sebagaimana penulis sampaikan diawal bahwa posisi FPI sendiri, tegas sebagai kelompok oposisi dan kerap menyerang Pemerintah dengan isu dan sentimen anti Islam. Maka isu pembubaran FPI tidak hanya berdampak pada ormas semata, melainkan akan berkembang menjadi isu politis dalam kaitanya memukul lawan politik dan akan diperalat sebagai senjata di kemudian waktu.