LATAR BELAKANG
Antibiotik merupakan salah satu inovasi terbesar dalam dunia kesehatan yang ditemukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Alexander Fleming, seorang profesor bakteriologi di Rumah Sakit St. Mary, Berdasarkan prediksi Alexander Fleming, penemu antibiotik pada tahun 1945, dia menyatakan bahwa “akan ada waktu dimana Penicillin (antibiotik) bisa dibeli oleh siapa saja dan dapat dibeli ditoko manapun (tanpa resep) (Fleming, 1945:21). Dan saat ini, apa yang diprediksikan oleh Fleming sudah terjadi. Masalah kemudian muncul, apabila semua infeksi sudah resisten maka suatu saat akan ada masa dimana dunia tidak memiliki antibiotik lagi (sudah tidak mempan). Tetapi tidak dapat dipungkiri juga antibiotik juga telah menyelamatkan jutaan jiwa sejak pertama kali ditemukan. Namun, Sekarang banyak ditemukan penggunaan antibiotik yang tidak sesuai indikasi dan dosis telah ditentukan, hal ini menyebabkan masalah serius, seperti resistensi antimikroba (AMR).
Resistensi antimikroba (AMR) kini menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global, di mana mikroorganisme patogen berkembang menjadi lebih kebal terhadap antibiotik yang seharusnya efektif. Hal ini mengakibatkan penurunan efikasi terapi dan hal ini dapat meningkatnya angka kematian, serta beban ekonomi yang signifikan bagi individu maupun sistem kesehatan.
Di Indonesia, penyalahgunaan antibiotik oleh khalayak umum menjadi salah satu faktor utama penyebab resistensi ini. Praktik seperti membeli antibiotik tanpa resep dokter, penggunaan antibiotik yang tidak tepat dosis atau durasinya, serta pemanfaatan antibiotik untuk kondisi yang sebenarnya tidak memerlukannya misalnya flu atau pilek. Rendahnya pemahaman masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan antibiotik serta kurangnya edukasi yang efektif menjadi salah satu akar masalah yang harus segera diatasi.
Dalam masalah ini, Apoteker memegang peranan kunci sebagai gatekeeper dalam penggunaan obat yang bijak dan rasional. Sebagai tenaga kesehatan yang memiliki keahlian di bidang farmasi, Apoteker bertanggung jawab memastikan bahwa antibiotik hanya digunakan sesuai dengan indikasi medis yang benar. Selain itu, Apoteker juga memiliki peran dalam mengedukasi masyarakat mengenai bahaya resistensi antimikroba (AMR) serta pentingnya mematuhi aturan penggunaan antibiotik.
Meskipun telah ada regulasi yang melarang penjualan antibiotik tanpa resep pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik, namun praktik di lapangan menunjukkan bahwa pengawasan masih belum optimal. Tantangan ini memerlukan kolaborasi antara Apoteker, pemerintah, dan tenaga kesehatan lainnya untuk memperbaiki sistem pengawasan serta meningkatkan kesadaran masyarakat.
Artikel ini bertujuan untuk membahas peran strategis Apoteker dalam mencegah penyalahgunaan antibiotik oleh khalayak umum, mulai dari edukasi masyarakat hingga pengawasan distribusi obat. Dengan pendekatan yang terintegrasi, Apoteker dapat berkontribusi signifikan dalam menekan laju resistensi antimikroba (AMR) dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
RUMUSAN MASALAH
Penyalahgunaan antibiotik oleh khalayak umum di Indonesia menjadi salah satu masalah kesehatan yang sangat mengkhawatirkan, terutama dengan meningkatnya kasus resistensi antimikroba (AMR). Beberapa faktor, seperti kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya penggunaan antibiotik yang rasional, penjualan antibiotik tanpa resep, serta ketidakpedulian terhadap dampak jangka panjang penyalahgunaan antibiotik, dapat memperburuk situasi ini. Dalam situasi ini, Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang berperan penting dalam penyuluhan penggunaan obat memiliki tanggung jawab besar dalam upaya pencegahan penyalahgunaan antibiotik.