Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Belajar dari Ganjar: Stunting Bukan Soal Gizi, tapi Budaya

5 Februari 2024   14:30 Diperbarui: 10 Februari 2024   20:16 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Analisanya adalah pentingnya orientasi kebijakan yang lebih pada konsep mencegah potensi masalah yang sudah mengakar. 

Sedemikian adanya juga jika soal stunting harus dari para remaja yang dicegah untuk menikah dini, dan khususnya remaja putri juga yang kelak beberapa tahun akan menikah dan mengandung harus dipastikan bahwa mereka tidak rentan anemia. Sebelum menikah pun harus ada pemeriksaan kesehatan. 

Ganjar menekankan pentingnya 1 Nakes, 1 Faskes di 1 Desa dengan harapan bahwa Nakes yang ada di Faskes proaktif untuk turun memberikan pendampingan dan penyuluhan para calon keluarga untuk mencegah potensi risiko yang lebih besar tadi. 

Sebenarnya Pemerintah di era sekarang juga sudah cukup maksimal dalam hal ini, mencegah budaya pernikahan dini di Indonesia berdasarkan data BKKBN sudah impresif 10 tahun terakhir dimana 2013 masih 36 dari 1000 perempuan kini menjadi 26 dari 1000 perempuan sejak 2023. 

Jadi, salah satu kontribusi terbesarnya adalah yang terjadi di Jawa Tengah,berkorelasi pula pada data bahwa Prevalensi Penurunan Stunting Nasional juga bisa turun signifikan walau belum sampai target 2013: 37,3 persen menjadi 21,6 persen di tahun 2022. 

Bahkan Jawa Tengah imbas dari pencegahan pernikahan dini adalah dari 38 persen di 2013 sampai di 2022 sudah mencapai 20,9 persen (bahkan sedikit lebih maju dari pencapaian Nasional).  

Mungkin saja pernikahan dini bisa dicegah dengan penekanan akan pendidikan terutama karakter agar mereka bisa menunda pernikahannya, lebih fokus pada ilmu pengetahuan yang mana kesetaraan para perempuan juga agar bisa mendapat hak yang sama dengan lelaki. 

Kalau di Jateng sudah ada SMK Jateng yang mana mereka sekolah gratis utamanya perempuan tidak mampu dan disiapkan untuk bekerja terhadap industri yang membutuhkan. 

Berarti ini adalah ekosistem moral dan budaya tentunya bahwa keluarga yang direncanakan secara matang kelak melahirkan keturunan yang siap dan sehat. 

Termasuk soal stunting ini juga. Sehingga pelaksanaan stunting harus bisa dideteksi sejak dini disamping akarnya bukan sekedar pada kesehatan yang lahir pada kebutuhan nutrisi melainkan pentingnya menekankan budaya.

Bahwa keluarga itu harus dibangun secara matang dan sehat, bukan pernikahannya yang dini namun pencegahan dan penjaminan kesehatan keluarganya agar matang harus secara dini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun