"Jadi mengatasi stunting sejak ibu hamil, bahkan bisa dicegah pada saat anak-anak kita mau menikah, Pak, periksa kesehatan si calon pengantin perempuan, laki-lakinya juga, maka dia siap menikah, maka jangan menikah dini,"
Pernyataan ini seakan memberikan sebuah kesan yang berbeda daripada Pasangan Calon lainnya barangkali. Ketika penanganan sebuah stunting yang saat itu dilontarkan awal melalui Capres nomor urut 2 yaitu Prabowo Subianto bertanya soal apakah Ganjar Pranowo setuju dengan visi Prabowo soal makan siang gratis efektif untuk menekan angka stunting dan menekan kemiskinan ekstrem.Â
Ganjar secara obyektif menjawab dengan argumentasi logis bahwa jika fokus penanganan Stunting itu hanya dimaksimalkan pada makan siang gratis untuk anak usia sekolah dari PAUD maupun sampai Perguruan Tinggi.
Tentu tidaklah cukup untuk menangani stunting, seharusnya dari ibu hamil bahkan sebelumnya sekalipun memang di pernyataan awal. Prabowo Subianto juga menjelaskan bahwa makan siang gratis juga berlaku untuk ibu hamil dalam bentuk Vitamin.Â
Namun penekanannya kurang digaungkan bahwa selama ini yang menjadi narasi visi-misi Prabowo-Gibran adalah orientasi ke anak sekolah agar mereka bisa semangat beraktivitas dalam sekolah disamping orangtua yang tidak akan khawatir manakala mereka juga cenderung lupa.
Bahkan tidak bisa menjamin kebutuhan untuk sarapan anak-anak sekolah karena data dari WFP atau World Food Programme yang jadi pegangan mereka.
Bahwa sudah 76 negara yang mana 61 persennya adalah negara pendapatan tinggi menerapkan kebijakan makan siang gratis tersebut yang mana orientasinya adalah masyarakat miskin bisa terjamin anak-anaknya terhadap kebutuhan nutrisinya. Karena secara asumsi pula mengatakan bahwa nutrisi yang cukup bisa mengangkat derajat anak-anak dari kemiskinan.
Hanya saja sedikit banyak menjadi kritik bahwa penanganan stunting dan gizi buruk juga harus bisa dibedakan.Â
Ganjar menekankan bahwa makan siang juga efektif hanya saja kurang tepat jika melihat pada konsepsi stunting secara luas yaitu kekerdilan dari postur yang diakibatkan pada gizi buruk.Â
Gizi buruk bisa menjadi gizi baik namun untuk stunting belum tentu juga bisa bebas stunting. Karena gizi buruk itu untuk konsepsi yang singkat sementara stunting itu sudah lebih mendasar.
Karena, seharusnya pencegahannya juga menekankan pada aksi yang lebih dini, makanya disinggung 1000 hari HPK alias Hari Pertama Kehidupan dari janin muncul sampai sudah berusia sekitar 2-3 tahun yang mana kebutuhan akan nutrisi dari ibu dan bayi menjadi utama.Â
Bahkan lebih spesifiknya bahwa ini adalah persoalan dari kesiapan ibu dan ayah yang kelak akan melahirkan anak-anak yang sehat. Maka ibu dan ayahnya juga perlu dipastikan sehat, sebelum mereka menikah dan akhirnya mengandung anak.Â
Stunting itu adalah soal permasalahan gizi kronis yang sejak dini tidak dijamin kecukupan gizinya yang berimbas pada pertumbuhan postur tubuh dan otak mereka kedepan juga terkesan lamban.Â
Makanya sempat disinggung bahwa jika anak stunting maka IQnya rendah selain tubuhnya juga semisal usia 20 tahun masih seperti 10 tahun.Â
Masalah ini menurut Ganjar Pranowo juga muncul dari keluarga yang melahirkan yang tidak diberikan penyuluhan pentingnya kesehatan sejak dini, yang mana sebelum melahirkan pentingnya pula dideteksi bilamana ada penyakit maka perlu ada penanganan. Sehingga bukan sejak lahir saja dipantau bahkan ketika sudah dewasa.
Ganjar Pranowo menekankan pada pentingnya membudayakan gerakan hidup sehat bagi setiap keluarga melalui kecukupan gizi yang sehat.Â
Alih-alih mendorong makan siang gratis yang ditinjau sekalipun sejak usia kandungan bahwa komponen bahan makanan-nya adalah organik dan mayoritas ditunjang melalui impor.Â
Ganjar menekankan pada kearifan pangan lokal yang diperkaya dengan produksi dan distribusi pangan lokal yang lebih mumpuni bahkan menyejahterakan petani.Â
Semisal jika alih-alih mendorong prevalensi stunting melalui makanan tambahan atau nutrisi dan komponennya berasal dari bahan impor negara lain.Â
Mengapa tidak menggunakan pangan lokal saja yang tentunya juga dijamin kualitasnya, semisal seperti program PMTAS (Program Makanan Tambahan Anak Sekolah) walau makanan tambahan mengapa tidak dimaksimalkan bahan makanannya seperti daun kelor yang efektif untuk menumbuhkan nutrisi bagi anak-anak usia dini, atau para remaja putri yang kelak akan menikah dimana sejak dini mereka yang rentan anemia juga musti dijaga.Â
Stunting itu harus dilihat pada konsepsi 1000 hari pertama kehidupan bukan 1000 bahkan 2000 hari hari kehidupan selanjutnya.Â
Orientasinya berbeda, bahkan jauh sebelum ibu itu mengandung sekalipun bahkan sejak menikah. Dimana ditekankan pula bahwa pernikahan dini menjadi masalah pelik sehingga menciptakan stunting selama ini.Â
Pengalaman yang mungkin didapati oleh Ganjar Pranowo waktu Gubernur Jawa Tengah dimana memang Provinsi yang ia pimpin menyumbang besar terhadap Angka Stunting yang tinggi, dan setelah dianalisa bahwa masalah mencegah stunting memang bukan sekedar nutrisi, melainkan kepastian dalam menciptakan keluarga yang kelak menjadi ekosistem sehat.
Ekosistem Sehat lahir dari sebuah Budaya yang Sehat. Dimana membangun budaya yang kelak juga tidak lantas mengganggu taraf hidup dan tumbuh kembang di masa datang.Â
Mungkin, beliau juga merefleksikan bahwa banyak orang-orang usia tua dan lanjut yang justru mengalami kekerdilan tadi karena orang tua mereka dahulu rerata mengalami nikah dini (bukan muda lagi).Â
Nikah hanya sekedar nikah tidak lantas diperiksa dahulu soal kesehatan dan kesiapan dalam proses reproduksi, imbasnya lahir anak-anak yang mengalami gagal tumbuh.Â
Serta, ujungnya berkorelasi penuh pada penciptaan nutrisi lokal yang dapat diakses oleh setiap masyarakatnya. To the point, bahwa berdasar pengalaman itu Ganjar menekankan bahwa pernikahan dini harus dicegah.Â
Program seperti Jateng Gayeng Nginceng Wong Meteng (5Ng), Jo Kawin Bocah dan Dapur Sehat Atasi Stunting (Dahsat) menjadi contoh bahwa Stunting itu harus dicegah dengan menekan pernikahan dini.
Rerata masyarakat pedesaan menikah di usia dibawah 19 tahun yang mana kematangan reproduksi dan nutrisi tubuh mereka belum kuat disamping jika telah menikah perlunya pendampingan nutrisi saat kehamilan melalui makanan tambahan dan USG 4G di Puskesmas Gratis.
Tentunya itu juga mengurangi angka kematian ibu dan bayi sampai pada konsepsi dapur sehat yaitu menjamin nutrisi mereka melalui kearifan lokal pangan mereka yang cukup.Â
Untuk remaja putri diberikan tablet penambah darah maupun nutrisi lainnya agar mereka juga bebas dari kerentanan terhadap anemia. BKKBN juga jelas mengatakan bahwa ini sudah menjadi budaya dan perlu pendekatan yang lebih dini lagi karena stunting itu harusnya dicegah sementara jika memberikan makan siang gratis ketika anak usia sekolah.
Justru mengobati yang mana jika diobati belum tentu sembuh 100 persen. Sebaliknya, jika sudah dicegah maka sel-sel penyakitnya sudah bisa dipotong.
Analisanya adalah pentingnya orientasi kebijakan yang lebih pada konsep mencegah potensi masalah yang sudah mengakar.Â
Sedemikian adanya juga jika soal stunting harus dari para remaja yang dicegah untuk menikah dini, dan khususnya remaja putri juga yang kelak beberapa tahun akan menikah dan mengandung harus dipastikan bahwa mereka tidak rentan anemia. Sebelum menikah pun harus ada pemeriksaan kesehatan.Â
Ganjar menekankan pentingnya 1 Nakes, 1 Faskes di 1 Desa dengan harapan bahwa Nakes yang ada di Faskes proaktif untuk turun memberikan pendampingan dan penyuluhan para calon keluarga untuk mencegah potensi risiko yang lebih besar tadi.Â
Sebenarnya Pemerintah di era sekarang juga sudah cukup maksimal dalam hal ini, mencegah budaya pernikahan dini di Indonesia berdasarkan data BKKBN sudah impresif 10 tahun terakhir dimana 2013 masih 36 dari 1000 perempuan kini menjadi 26 dari 1000 perempuan sejak 2023.Â
Jadi, salah satu kontribusi terbesarnya adalah yang terjadi di Jawa Tengah,berkorelasi pula pada data bahwa Prevalensi Penurunan Stunting Nasional juga bisa turun signifikan walau belum sampai target 2013: 37,3 persen menjadi 21,6 persen di tahun 2022.Â
Bahkan Jawa Tengah imbas dari pencegahan pernikahan dini adalah dari 38 persen di 2013 sampai di 2022 sudah mencapai 20,9 persen (bahkan sedikit lebih maju dari pencapaian Nasional). Â
Mungkin saja pernikahan dini bisa dicegah dengan penekanan akan pendidikan terutama karakter agar mereka bisa menunda pernikahannya, lebih fokus pada ilmu pengetahuan yang mana kesetaraan para perempuan juga agar bisa mendapat hak yang sama dengan lelaki.Â
Kalau di Jateng sudah ada SMK Jateng yang mana mereka sekolah gratis utamanya perempuan tidak mampu dan disiapkan untuk bekerja terhadap industri yang membutuhkan.Â
Berarti ini adalah ekosistem moral dan budaya tentunya bahwa keluarga yang direncanakan secara matang kelak melahirkan keturunan yang siap dan sehat.Â
Termasuk soal stunting ini juga. Sehingga pelaksanaan stunting harus bisa dideteksi sejak dini disamping akarnya bukan sekedar pada kesehatan yang lahir pada kebutuhan nutrisi melainkan pentingnya menekankan budaya.
Bahwa keluarga itu harus dibangun secara matang dan sehat, bukan pernikahannya yang dini namun pencegahan dan penjaminan kesehatan keluarganya agar matang harus secara dini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H