Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Urusan Perkotaan Super Rumit, Saatnya Pemerintah Pusat Turun Tangan?

28 Agustus 2023   17:40 Diperbarui: 28 Agustus 2023   17:54 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesemrawutan sebuah Kota (foto : Suara.com)

Bicara Perkotaan secara garis besar bicara keramaian dan juga pembangunan serta pertumbuhan dalam konteks ekonomi dimana mengundang banyaknya penduduk yang melakukan mobilisasi dari kawasan pedesaan yang umumnya sarat akan pertanian untuk bertransformasi pada dukungan terhadap kehidupan ekonomi yang lebih formal dimana sarat akan perdagangan barang dan jasa. 

Hanya saja, kita perlu menyadari secara normatif sekaligus perlu merefleksikan bahwa masalah perkotaan seringkali menjadi 'buah bibir' bahkan tak jarang menekan banyak konsentrasi Pemerintah Negara dalam konteks membangun pemerataan yang berorientasi pada investasi dan juga pemberdayaan manusia yang lebih mampu menjadi maju.

 Secara opini, memang kita menilai kota itu telah maju pesat namun tanpa disadari permasalahan yang kompleks sudah selangkah lebih maju disebabkan semua tidak dipikirkan secara matang. 

Pemikiran dalam arti menggagas sebuah kota yang terencana dengan baik, yang lebih tertata sehingga menunjukkan bahwa kota itu sudah kapabel dari segi peradaban. 

Nyatanya, yang terjadi dan perlu terus terang bahwa kota di Indonesia adalah bentuk 'desa yang gagal menjadi kota'. Hanya memindahkan buruknya atau 'kolotnya' desa (walau tidak semua) ke 'kolam' yang lebih besar yaitu Kota.

Apa yang selalu kita dengar dalam isu perkotaan? 

Yang seringkali terdengar bahkan bukan hanya di Jakarta saja melainkan mungkin kota-kota yang tidak kalah maju pertumbuhannya atau bahkan yang sedang dan mulai bertumbuh kini menghadapi tantangan sama sekaligus menjadi krisis untuk bisa diuraikan untuk kini dan nanti. 

Namanya juga pembangunan tidak hanya untuk tahun ini namun tuntutan visioner kita diasah demi melahirkan prinsip yang berkelanjutan. Hanya saja berbicara berkelanjutan seringkali utopis dimana masalah fundamental dan prinsipil dari masa Kota berdiri belum selesai. 

Dari zaman Kota tersebut menjadi 'sarang penyamun' sampai sudah menjadi 'ladang emas dan beton' tiada berubah signifikan. 

Mirisnya Pemerintah Daerah Perkotaan seolah tidak punya arah yang jelas dan solid dalam memutuskan sebuah gerakan yang holistik dimana semua terpadu dan sudah spesifik pada persoalan dimana masalah perkotaan jelas dipetakan adalah berkorelasi pada tumbuhnya ekonomi dan tumbuhnya penduduk, semua berbanding lurus. 

Mulai urbanisasi, melahirkan kemacetan, melahirkan kepadatan permukiman, melahirkan polusi udara, melahirkan masalah sampah, melahirkan krisis air bersih, melahirkan keterbatasan pendidikan, melahirkan lagi ketimpangan atau akses ekonomi yang tidak semua sama. 

Kota bukan menjadi agen inklusivitas melainkan agen ketimpangan. Jelas sekali, makanya sudah lumrah istilah yang kaya makin kaya dan miskin makin miskin. Bukan di Desa tapi di Kota.

Maka mungkin sedikitnya benar juga mengacu pada kata seorang tokoh yang notabene sedang running untuk Presiden 2024 nanti (sebut saja mantan Gubernur) yang mengatakan kira-kira Pemerintah Indonesia saat ini (kebetulan tokoh tersebut memang dikenal antitesa Pemerintah sekarang) hanya berfokus pada pedesaan dimana pembangunan desa sudah benar-benar terpadu dan terstruktur bahkan semua terlalu berfokus pada pedesaan sekalipun memang desa musti kita lihat bahwa kuenya paling kecil dalam pembangunan negara maka kebijakan politik terlihat masih mengacu pada fokus untuk desa. 

Mengingat entitas ini merupakan entitas tertua bahkan sebelum negeri ini berdiri dengan kearifan lokalnya, maka lahirlah UU Desa, Dana Desa hingga Portofolio Pedesaan (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi). Kira-kira Intervensi Pemerintah Pusat sudah sampai sejauh itu terhadap Desa. 

Hanya saja, perkotaan yang justru sebenarnya paling besar bahkan selalu menjadi sorotan pasang mata dunia karena kemajuan perkotaan mendeskripsikan kemajuan sebuah negara, tiada inisiatif lebih untuk membangunnya.

Kebetulan tokoh ini berbicara kepada semua jajaran Walikota seluruh Indonesia beberapa waktu selang. Jangankan regulasi yang sangat solid dan tegas spesifik sekelas Undang-Undang Perkotaan, bahkan untuk Lembaga Negara mungkin sekelas Kementerian saja untuk portofolio Perkotaan. 

Pemerintah tidak punya inisiatif lebih dan malah menjadi beban untuk Kementerian-Kementerian lain yang orientasinya mungkin hanya sekelas Satuan Kerja (Direktorat Jenderal/Kedeputian) atau lebih kecil berbasis Program saja bukan Lembaga Politik yang lebih kuat dan langsung bertanggungjawab kepada Presiden. 

Mungkin ini juga menjadi kesulitan para Walikota melakukan transformasi atau akselerasi bersama Pusat mengingat musti banyak birokrasi yang justru inefisiensi. Jelas sekali karena tidak ada Menterinya.

Terus terang saya juga sedikit banyak memandang bahwa relevansinya Pemerintah Pusat turun tangan dalam konteks institusional sudah selayaknya dilaksanakan. 

Dalam Politik kita mengenal mungkin ada Politik Desa sebagai salah satu scope namun juga ada Politik Kota yang tak kalah penting dan kompleks dimana menyangkut berbagai kajian ilmu didalamnya dan semua berimplikasi antara berhulu maupun bermuara pada intrik didalamnya berbasis kepada kompleksitas masalah yang dihadapi oleh ekosistem didalamnya. Ekonomi, Sosial, Budaya, Pendidikan, Kesehatan, Transportasi, Lingkungan, Energi, dsb. 

Tapi, yang perlu digarisbawahi sekaligus menjadi usul konkrit dalam tulisan ini adalah mempertimbangkan bentuk kelembagaan yang tepat dalam rangka mewadahi langkah strategis membangun perkotaan. 

Mungkin agak beda dengan Pedesaan yang diwadahi oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). 

Mungkin bentuk intervensinya juga perlu proporsional dimana jangan semua diakomodir untuk didorong sebagaimana Desa yang memang entitas kecil dan identik dengan ekosistem tradisionilnya sehingga tidak lebih maju daripada Kota. 

Kemendes PDTT merupakan Kementerian Departemen yang kata kuncinya mereka itu melakukan urusan pembangunan, pemberdayaan dan percepatan yang sifatnya strategis dimana semua sudah terpatri dalam Undang-Undang maupun UUD 1945 secara luas. 

Maka poin pentingnya landasannya sangat kuat. Mungkin biaya politiknya relatif mahal mengingat harus ada revisi terkait Undang-Undang semisal memastikan adanya Kementerian itu 34 dan membingungkan juga berkaitan dengan penyesuaian belum lagi perlu ada regulasi khusus UU Perkotaan yang sangat lama sebenarnya.

Kemudian, ada 2 pilihan lain : Kementerian Negara Non Departemen maupun Badan/Lembaga Non Kementerian-Non Struktural (Setingkat Kementerian). Kementerian Negara Non Departemen casenya akan sama dengan adanya Kementerian Investasi yang notabene adalah peningkatan dari BKPM alias Badan Koordinasi Penanaman Modal, dimana sebenarnya 'biaya politik' nya memang mahal karena mahal atau tidaknya biaya politik ditentukan pada pihak selain Eksekutif yang berperan seperti Legislatif yang ikut menyetujui maupun dasar Undang-Undang yang tegas dan jelas sebagai Key Legislation atau Responsibility yang mengakomodir jalannya Kementerian tersebut. 

Kebetulan Kementerian Investasi tidak sematang itu sehingga cukup kenaikan dari Lembaga Non Struktural menjadi Kementerian Negara Non Departemen saja. 

Fungsinya adalah 3 kata kunci yaitu : Penajaman, Sinkronisasi, Koordinasi terkait Program Pemerintah yang memang sudah ada dimana hanya melengkapi saja atau mendukung kerja-kerja technical bukan menjadi technical executor sebagaimana Kementerian Departemen dimana isunya mungkin condong fundamental sehingga sulit juga dibubarkan (berbeda dengan non Departemen biasanya isu yang diakomodir adalah sesuai dengan fokus Pemerintah saja). 

Maka mungkin agak berat juga karena perkara 34 Kementerian yang menjadi batasan UU Kementerian sejak 2008 lalu. Makanya saat itu, Kementerian Investasi ada dan Kementerian Riset dan Teknologi dibubarkan sehingga 'turun kelas' menjadi Lembaga Non Struktural (Setingkat Menteri) yaitu Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN). 

Mungkin bentukan seperti BRIN yaitu Lembaga Non Struktural adalah yang paling tepat menurut saya, secara konsekuensi politik juga cenderung murah karena pembubaran dan pembentukan LNS ini cukup dengan Perpres saja tanpa harus disetujui Paripurna oleh DPR RI maupun musti membentuk Undang-Undang baik spesifik tentang Kementerian tsb maupun Key Legislation yang mengakomodir peran Kementerian tsb. LNS atau LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian) setingkat Menteri adalah cocok untuk mengakomodir Portofolio Perkotaan. Malahan lebih rasional karena mendorong pembentukan LPNK tidak terlepas dan tergantung kepada Kabinet walau ia setara anggota Kabinet. 

Konsekuensi Perkotaan ini diurus menjadi portofolio LPNK/LNS/LSM (Lembaga Setingkat Menteri), apakah itu? Selain yang tidak bergantung kepada dinamika politik bahwa ia bukan termasuk anggota Kabinet sehingga tidak ikut demisioner sekalipun Kabinet bubar karena pergantian Presiden. Lembaga yang mungkin juga bisa disebut Badan. 

Kalau boleh usul namanya adalah "Badan Nasional Pengelolaan Perkotaan" atau "Badan Koordinasi Pembangunan Perkotaan" dibanding Kementerian yang tentu akan berpengaruh kepada urusan fiskal juga yang mungkin menyita waktu padahal sebenarnya Kota itu mandiri dimana yang menjadi salah adalah koordinasi atau advokasi (penajaman) yang mengacu kepada tugas tertentu pemerintahan diluar spesifik Undang-Undang yang jatuhnya penting namun tidak terlalu penting juga kalau dilihat segi kekuatannya. 

Berarti konsekuensinya memang tetap harus bisa melaksanakan koordinasi dan implementasi regulasi dari Kementerian lain yang lebih technical hanya minimal wadahnya sudah ada terutama dukungan program dan rencana anggaran. 

Kelebihan lainnya lagi adalah jika diurus oleh LPNK adalah orientasinya adalah teknokratis karena sifatnya diluar Kabinet sehingga minim akan bargaining politis dimana Kabinet umumnya menjadi satu kesatuan dan menjadi 'jatah' politisi. 

Jika diluar biasanya (sekalipun memang LPNK juga bisa diisi orang Partai) tapi dominan memang dari Profesional baik dia adalah Praktisi/Akademisi Independen maupun yang masih dalam tataran Birokrasi (ASN aktif) yang berbeda dengan Menteri dimana musti undur jika mau menjabat. 

Apalagi cuma Lembaga yang hanya sebagai wadah bukan eksekutor langsung dimana Pemerintah Kota sudah punya cukup sumber daya dalam membangun kotanya berbeda dengan Desa makanya sampai ada intervensi seperti Dana Desa. 

Plus masa jabatannya juga tidak tergantung oleh Kabinet berjalan (kecuali Presiden selanjutnya memang ingin memasukkan orang ke LPNK itu memimpin). 

Nanti dibawahnya ada Kedeputian (bukan Direktorat Jenderal seperti Kemendes PDTT, karena diluar Kementerian Departemen semua adalah Kedeputian) yaitu berkenaan dengan masalah fundamental Kota seperti pengembangan perkotaan, transportasi, infrastruktur besar, pendidikan tingkat menengah dan tinggi, kesehatan, lingkungan perkotaan, serta ekonomi dan sosial perkotaan. 

Tinggal dipertimbangkan saja kedepannya seperti apa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun