Mulai urbanisasi, melahirkan kemacetan, melahirkan kepadatan permukiman, melahirkan polusi udara, melahirkan masalah sampah, melahirkan krisis air bersih, melahirkan keterbatasan pendidikan, melahirkan lagi ketimpangan atau akses ekonomi yang tidak semua sama.Â
Kota bukan menjadi agen inklusivitas melainkan agen ketimpangan. Jelas sekali, makanya sudah lumrah istilah yang kaya makin kaya dan miskin makin miskin. Bukan di Desa tapi di Kota.
Maka mungkin sedikitnya benar juga mengacu pada kata seorang tokoh yang notabene sedang running untuk Presiden 2024 nanti (sebut saja mantan Gubernur) yang mengatakan kira-kira Pemerintah Indonesia saat ini (kebetulan tokoh tersebut memang dikenal antitesa Pemerintah sekarang) hanya berfokus pada pedesaan dimana pembangunan desa sudah benar-benar terpadu dan terstruktur bahkan semua terlalu berfokus pada pedesaan sekalipun memang desa musti kita lihat bahwa kuenya paling kecil dalam pembangunan negara maka kebijakan politik terlihat masih mengacu pada fokus untuk desa.Â
Mengingat entitas ini merupakan entitas tertua bahkan sebelum negeri ini berdiri dengan kearifan lokalnya, maka lahirlah UU Desa, Dana Desa hingga Portofolio Pedesaan (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi). Kira-kira Intervensi Pemerintah Pusat sudah sampai sejauh itu terhadap Desa.Â
Hanya saja, perkotaan yang justru sebenarnya paling besar bahkan selalu menjadi sorotan pasang mata dunia karena kemajuan perkotaan mendeskripsikan kemajuan sebuah negara, tiada inisiatif lebih untuk membangunnya.
Kebetulan tokoh ini berbicara kepada semua jajaran Walikota seluruh Indonesia beberapa waktu selang. Jangankan regulasi yang sangat solid dan tegas spesifik sekelas Undang-Undang Perkotaan, bahkan untuk Lembaga Negara mungkin sekelas Kementerian saja untuk portofolio Perkotaan.Â
Pemerintah tidak punya inisiatif lebih dan malah menjadi beban untuk Kementerian-Kementerian lain yang orientasinya mungkin hanya sekelas Satuan Kerja (Direktorat Jenderal/Kedeputian) atau lebih kecil berbasis Program saja bukan Lembaga Politik yang lebih kuat dan langsung bertanggungjawab kepada Presiden.Â
Mungkin ini juga menjadi kesulitan para Walikota melakukan transformasi atau akselerasi bersama Pusat mengingat musti banyak birokrasi yang justru inefisiensi. Jelas sekali karena tidak ada Menterinya.
Terus terang saya juga sedikit banyak memandang bahwa relevansinya Pemerintah Pusat turun tangan dalam konteks institusional sudah selayaknya dilaksanakan.Â
Dalam Politik kita mengenal mungkin ada Politik Desa sebagai salah satu scope namun juga ada Politik Kota yang tak kalah penting dan kompleks dimana menyangkut berbagai kajian ilmu didalamnya dan semua berimplikasi antara berhulu maupun bermuara pada intrik didalamnya berbasis kepada kompleksitas masalah yang dihadapi oleh ekosistem didalamnya. Ekonomi, Sosial, Budaya, Pendidikan, Kesehatan, Transportasi, Lingkungan, Energi, dsb.Â
Tapi, yang perlu digarisbawahi sekaligus menjadi usul konkrit dalam tulisan ini adalah mempertimbangkan bentuk kelembagaan yang tepat dalam rangka mewadahi langkah strategis membangun perkotaan.Â