Logistik menjadi penting dimana saat periode pertama Oposisi dirasa rada kuat karena Gerindra pimpinan Prabowo sama dengan Golkar dimana banyak pula fungsionarisnya pengusaha termasuk adiknya Hashim Djojohadikusumo. Sementara mengandalkan Demokrat? Sudah puasa kekuasaan lantas kalau bahasa kasarnya, sudah kering lah apalagi Demokrat tidak dapat 'jatah' Menteri karena merasa idealis. Jadi jelas ketidakmampuan secara fundamental berpengaruh.
Bisa dianalisa kalau secara kacamata sebuah permainan saham. Fundamental sendiri (kalau tidak salah) lebih pada kapasitas dan kapabilitas dari pemain atau produk itu yang ingin dijual, ya kekuatan dari finansial pada umumnya dilihat pada sesuatu patron atau nilai yang bisa menjual didalam konteks ini adalah rakyat selaku pembeli saham.Â
Mungkin Demokrat dan PKS tidak lebih kuat dariapada itu. Apalagi spesialnya Demokrat yang mana partai Pemerintah lho di masa kepemimpinan SBY. Periode pertama SBY karena baru juga oke Demokrat berada di posisi keempat dan menggantungkan diri pada Golkar perlahan pula terbuka koalisi dengan partai lain selain PDIP sehingga saat itu SBY juga kuat karena JK yang mana pasca menang meski SBY di periode pertama tak didukung Golkar (kedua begitu).
Namun wajar Golkar tak ada DNA Oposisi, atas nama bangsa dan negara siap merapat. Golkar lah masuk ke Pemerintah dan mendominasi. Golkar partai peringkat pertama sedangkan PDIP di peringkat kedua sebagai Oposisi pula.Â
Namun seiring berjalan waktu 2009, SBY menang telak 1 putaran kontra 3 paslon sekalipun saat itu JK maju sebagai Capres 'pecah kongsi' sama SBY dan Golkar saat itu kuat tidak sepenuhnya menjadi jaminan. Demokrat meroket dari posisi keempat menjadi pertama dengan suara +/- 21 persen. Golkar turun ke posisi kedua dengan 15 persen sementara PDIP turun ke posisi 3 dengan suara 14 persen.Â
Tapi bisa terlihat bahwa PDIP pada dasarnya memang sudah kuat sejak PNI maupun PDI di masa fusi Soeharto, dia sudah punya fundamental kuat secara basis. Sekalipun 'jeblok' karena Capresnya yang notabene Ketum gagal menang tapi Partainya masih berada di pusaran teratas, waktu itu Wakil Ketua DPR nya adalah Pramono Anung dan sekarang adalah Sekretaris Kabinet Jokowi. Saat itu bersama Gerindra selaku partai baru besutan Prabowo dengan suara 5 persen. PDIP dan Gerindra berhasil menjadi Oposisi yang 'galak', kalau bahasa Pramono Anung 'kelamin' jelas sebagai Kontra.
Lihat pula karena kekuatan dan 'kesabaran revolusioner' PDIP bisa menjadi Oposisi yang solid, yang kuat dalam menghadapi Koalisi Besar. Justru menunjukkan bahwa sejatinya Presiden SBY (saat itu) sangat lemah berikut juga Demokrat. Bahkan meragukan pula kharismatik seorang SBY yang tadinya berhasil vote getter rakyat memilihnya dan partainya.Â
Lantas banyaknya polemik dan kontroversi yang terjadi di tubuh pemerintahan. Membuat pada akhirnya kepercayaan turun dan semua partai berposisi 'cari aman'. Tidak seperti sekarang apapun guncangannya Jokowi tetap tegar dan kuat sebagai Pemerintah.Â
Jiwa membumi Jokowi mampu mempersatukan kekuatan apalagi dia bukan seorang Ketua Partai jadi fokus untuk rakyat yang notabene memperkuat dia dimana 2014 lalu Jokowi dengan komposisi partai lebih kecil bisa menang di Pilpres (komposisi 47 menang 53 persen).Â
Seolah pokoknya sejak 2010 prahara dimulai hingga SBY lakukan reshuffle 2011 dan 2012 korupsi berjamaah dan 2013 kenaikan harga BBM sampai 'rising' seorang Jokowi yang pure lahir dari rakyat. Memperkuat pula barisan PDIP yang notabene saat itu puasa namun semakin panas karena ada harapan yaitu Jokowi.
Bahkan Demokrat dan SBY merasa 'takut' bahkan kerasa tekanannya karena solidnya PDIP dan Gerindra hingga akhirnya SBY sendiri sempat nawari Megawati jatah Menteri atas dasar Integrasi Nasional. Namun bersama Prabowo, Megawati menolak dan terus diluar untuk melantangkan kebenaran. Singkat cerita, kuatnya oposisi saat itu berbuah manis dan efek seorang Jokowi. PDIP naik dan Gerindra juga.Â