Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Untuk PKS dan Demokrat sebagai Oposisi, Belajarlah dari PDIP Perkuat Fundamental

8 Mei 2023   21:00 Diperbarui: 8 Mei 2023   20:59 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demokrat dan PKS bertemu diantara Ketum dan Fungsionaris (Sumber : Dokumentasi PKS)

Jujur demokrasi yang berjalan saat ini dimana terkesan 'kurang nendang' daripada masa SBY bahkan seolah Pemerintahan Jokowi saat ini cenderung kuat ya termasuk karena lemahnya legitimasi Oposisi dalam menjadi penekan (pressure) dalam konsolidasi kebijakan yang lebih tepat sasaran. 

Disisi lain kestabilan akan tercapai karena narasi garang akan sulit diterima mengingat komposisi para oposan yang condong lebih sedikit. Sementara yang menjadi salah karena Oposisi yang bukan soal tidak cerdas dalam kualitas namun bisa saja sudah kalah duluan dan 'main aman' karena kekuatan yang tidak mengimbangi. 

Seperti kita ketahui bahwa komposisi Oposisi yang sekarang sudah makin menggerus. Kalau di periode pertama masih ada Gerindra, kini tinggal PKS dan Demokrat. Kalau PAN tak masuk hitungan karena di periode pertama dan kedua sekalipun Pilpres 2019 berlawanan dengan Jokowi tapi masih ada tempat dia cicipi Kabinet. 

Kurang lebih (ini angka pembulatan ya). Jika di 2014-2019 lalu Oposisi rada kuat karena ada Gerindra yang kuat di Parlemen dengan posisi ketiga after 'kejatuhan' Demokrat dengan suara sebesar +/- 12 persen, sementara saat itu di periode pertama Jokowi ada PKS sebagai teman sejati dimana jika di periode SBY, Gerindra sebagai Oposan dan PKS sebagai pemerintah namun akhirnya menemani untuk kontra Jokowi. 

Suara PKS adalah +/- 6 persen di peringkat 7. Namun karena UU MD3 buatan 2014 itu AKD termasuk pimpinan ditentukan koalisi dan saat itu diawal Jokowi sebelum konsolidasi menaklukan Golkar, PPP dan PAN saat itu Oposisi atau Koalisi Merah Putih yang berkuasa. 

Maka demikian, PKS bisa 'cicip' Pimpinan Dewan. Kalau Demokrat, anggaplah walau mereka abstain di 2014 tapi dihitung Oposisi misalkan. Saat itu suara mereka sudah di posisi kelima dengan +/- 10 persen. Kurang lebih ketiga partai masih menghasilkan 30 persen ya rada lumayan lah diatas 25 persen meski agak rumit juga. Tapi sedikitnya ada taji di periode pertama. Lantas bagaimana dengan periode kedua?

Ini yang membuat Oposisi makin tidak bertaji dimana sejak Gerindra yang naik ke peringkat kedua dengan suara +/- 13 persen demikian pula dengan bergabungnya Prabowo sebagai 'Leader of Opposition' yang sebelumnya memimpin 30 persen tersebut di 2014, kini bersatu bersama Jokowi dalam kabinet sebagai Menteri.

 Sementara suara Partai Oposisi yang tersisa yaitu Demokrat dan PKS juga fluktuatif apalagi Demokrat yang dahulu sempat bertengger di Pemerintah sekarang semakin 'gurem' bahkan lebih parahnya sudah disalip oleh PKS yang notabene hanya 'ngekor' saja di masa SBY sebagai anggota koalisi. 

Kini sudah sampai naik walau sedikit menjadi 8 persenan dengan posisi yang naik di peringkat 6 sementara Demokrat sendiri sebaliknya ke posisi PKS sebelumnya yaitu 7. Otomatis jika ditambah hanya setengahnya saja alias 15 persen suara Oposisi yang berada di Parlemen. 

Sebagai Leadernya yaitu PKS, sementara PKS sendiri karena belum pernah sejarahnya memimpin dalam konteks sebagai Presiden (cuma partainya saja dipimpin oleh Presiden yaitu Presiden PKS) belum lagi secara kualitas dan kuantitas tidak sepenuhnya teruji karena hanya pernah memimpin di beberapa daerah itu saja minim prestasi. Kalau di Nasional sangat lemah sehingga secara logistik juga tidak lebih kuat. 

Logistik menjadi penting dimana saat periode pertama Oposisi dirasa rada kuat karena Gerindra pimpinan Prabowo sama dengan Golkar dimana banyak pula fungsionarisnya pengusaha termasuk adiknya Hashim Djojohadikusumo. Sementara mengandalkan Demokrat? Sudah puasa kekuasaan lantas kalau bahasa kasarnya, sudah kering lah apalagi Demokrat tidak dapat 'jatah' Menteri karena merasa idealis. Jadi jelas ketidakmampuan secara fundamental berpengaruh.

Bisa dianalisa kalau secara kacamata sebuah permainan saham. Fundamental sendiri (kalau tidak salah) lebih pada kapasitas dan kapabilitas dari pemain atau produk itu yang ingin dijual, ya kekuatan dari finansial pada umumnya dilihat pada sesuatu patron atau nilai yang bisa menjual didalam konteks ini adalah rakyat selaku pembeli saham. 

Mungkin Demokrat dan PKS tidak lebih kuat dariapada itu. Apalagi spesialnya Demokrat yang mana partai Pemerintah lho di masa kepemimpinan SBY. Periode pertama SBY karena baru juga oke Demokrat berada di posisi keempat dan menggantungkan diri pada Golkar perlahan pula terbuka koalisi dengan partai lain selain PDIP sehingga saat itu SBY juga kuat karena JK yang mana pasca menang meski SBY di periode pertama tak didukung Golkar (kedua begitu).

Namun wajar Golkar tak ada DNA Oposisi, atas nama bangsa dan negara siap merapat. Golkar lah masuk ke Pemerintah dan mendominasi. Golkar partai peringkat pertama sedangkan PDIP di peringkat kedua sebagai Oposisi pula. 

Namun seiring berjalan waktu 2009, SBY menang telak 1 putaran kontra 3 paslon sekalipun saat itu JK maju sebagai Capres 'pecah kongsi' sama SBY dan Golkar saat itu kuat tidak sepenuhnya menjadi jaminan. Demokrat meroket dari posisi keempat menjadi pertama dengan suara +/- 21 persen. Golkar turun ke posisi kedua dengan 15 persen sementara PDIP turun ke posisi 3 dengan suara 14 persen. 

Tapi bisa terlihat bahwa PDIP pada dasarnya memang sudah kuat sejak PNI maupun PDI di masa fusi Soeharto, dia sudah punya fundamental kuat secara basis. Sekalipun 'jeblok' karena Capresnya yang notabene Ketum gagal menang tapi Partainya masih berada di pusaran teratas, waktu itu Wakil Ketua DPR nya adalah Pramono Anung dan sekarang adalah Sekretaris Kabinet Jokowi. Saat itu bersama Gerindra selaku partai baru besutan Prabowo dengan suara 5 persen. PDIP dan Gerindra berhasil menjadi Oposisi yang 'galak', kalau bahasa Pramono Anung 'kelamin' jelas sebagai Kontra.

Lihat pula karena kekuatan dan 'kesabaran revolusioner' PDIP bisa menjadi Oposisi yang solid, yang kuat dalam menghadapi Koalisi Besar. Justru menunjukkan bahwa sejatinya Presiden SBY (saat itu) sangat lemah berikut juga Demokrat. Bahkan meragukan pula kharismatik seorang SBY yang tadinya berhasil vote getter rakyat memilihnya dan partainya. 

Lantas banyaknya polemik dan kontroversi yang terjadi di tubuh pemerintahan. Membuat pada akhirnya kepercayaan turun dan semua partai berposisi 'cari aman'. Tidak seperti sekarang apapun guncangannya Jokowi tetap tegar dan kuat sebagai Pemerintah. 

Jiwa membumi Jokowi mampu mempersatukan kekuatan apalagi dia bukan seorang Ketua Partai jadi fokus untuk rakyat yang notabene memperkuat dia dimana 2014 lalu Jokowi dengan komposisi partai lebih kecil bisa menang di Pilpres (komposisi 47 menang 53 persen). 

Seolah pokoknya sejak 2010 prahara dimulai hingga SBY lakukan reshuffle 2011 dan 2012 korupsi berjamaah dan 2013 kenaikan harga BBM sampai 'rising' seorang Jokowi yang pure lahir dari rakyat. Memperkuat pula barisan PDIP yang notabene saat itu puasa namun semakin panas karena ada harapan yaitu Jokowi.

Bahkan Demokrat dan SBY merasa 'takut' bahkan kerasa tekanannya karena solidnya PDIP dan Gerindra hingga akhirnya SBY sendiri sempat nawari Megawati jatah Menteri atas dasar Integrasi Nasional. Namun bersama Prabowo, Megawati menolak dan terus diluar untuk melantangkan kebenaran. Singkat cerita, kuatnya oposisi saat itu berbuah manis dan efek seorang Jokowi. PDIP naik dan Gerindra juga. 

PDIP posisi pertama dari 14 ke 18 persen sementara Gerindra naik ke posisi 3 (terlepas akhirnya PDIP dan Gerindra kontra yaitu Jokowi vs Prabowo). Tapi setidaknya Pemerintahan SBY saat itu sudah tidak dianggap lagi. Benar-benar wajah baru. Dimana keduanya sama-sama antitesa pemerintahan SBY (dari visi-misi keduanya) sekalipun Prabowo dampingan sama besan SBY yaitu Hatta Rajasa. Tapi klaim Prabowo sekalipun saat itu ingin perubahan, namun Jokowi lah yang rejekinya saat itu bisa menjadi perubahan.

Lantas apa yang bisa dipelajari dari fenomena ini? Untuk para Ketum Oposisi, cerdaslah kalian memperbaiki fundamental partai kalian terutama dalam gagasan yang konstruktif. Kurang-kurangilah narasi untuk saling menjatuhkan dan seolah mencari celah kesalahan. 

Belajar dari PDIP bahwa mereka saja bisa mencari alternatif seperti polemik kenaikan harga BBM di masa SBY dan soal APBN tandingan dimana benar-benar mereka sampaikan meski ada demonstrasi dan drama nangis tapi ada substansi yang disampaikan yang lantas secara hormat betul kepada negara dan pemerintahan harap-harap bisa bergerak untuk mengubah konstruksi yang ada supaya lebih diperbaharui apalagi SBY menang dengan 60 persen harusnya lebih legitimate berbanding dengan Jokowi yang hanya menang 55 persen di sekarang ini. 

Especialiy for Demokrat, sebagai bekas partai penguasa dimana sempat dielu-elukan namun kini dilupakan. Partai buatan seorang Presiden ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono, apa tidak kepikiran seperti Megawati dahulu ya bagaimana menjadi sebuah alternatif yang tentunya bisa belajar banyak dari suri tauladan kepemimpinan bukan berusaha malah bernarasi seolah kesalahan yang lalu-lalu diumbar. Katanya anda pemimpin demokratis dan cerdas, tunjukkan bahwa Oposisi dibawah anda bisa cerdas. 

Dengan elegan, sampaikan gagasan-gagasan visioner tersebut sebagai antitesa dan pertimbangan barangkali kepercayaan pada Oposisi naik begitu. Kurang apa coba? Ketum yang notabene anak sang Presiden ke 6, adalah tokoh muda perubahan dan lulusan luar negeri lagi. 

Nah daripada orbit sang Ketum untuk Pilpres hanya berfokus pada Eksekutif kenapa tidak fokus dulu di Legislatif. Pastikan Demokrat dan juga bersama PKS perkuat barisan, apalagi Demokrat sang Ketum turun pimpin barisan, harap-harap kursi nambah dan semakin nambah legitimasi sebagai penyeimbang tersebut. Buktikan bahwa semangat perubahan dan perbaikan tidak harus dari Eksekutif, jadi Oposisi yang baik tidak bergantung pada jatah Eksekutif. Selagi bisa berdampak, juga tak kalah dihargai.

Bagaimana? Bisa jadi pertimbangan bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun