Â
Indonesia, suatu negara dengan wajah pluralis, dihuni oleh beragam budaya, suku, bahasa, adat istiadat, tata krama dan agama. Keanekaragaman ini membentuk identitas keindonesiaan.
Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki pelbagai kekayaan budaya dan tradisi, tidak terkecuali tarian tradisional. Setiap suku di Nusa Tenggara Timur memiliki keunikan dan ciri khas, tarian tradisionalnya masing-masing. Salah satunya adalah suku Helong dengan tarian lufut.
Lebih dari sekedar kiasan dan pertunjukan belaka, tarian tradisional menjadi sarana  kekuatan dalam menyampaikan nilai-nilai budaya, mempertahankan eksistensi masyarakat adat, simbol kehidupan, identitas suku, sejarah, ajaran moral, nilai estetika, kreativitas, pengetahuan, dan proses mengada bersama orang lain. Sehingga, melalui tarian tradisional, masyarakat mampu mentransendensikan segala realitas sebagai makhluk membudaya.
Pada konteks masa lampau, tarian tradisional mempunyai peran yang sangat vital dalam pelbagai segi kehidupan masyarakat. Misalnya, sebagai katalis pembentukan identitas budaya, upacara keagamaan, ritual atau perhelatan budaya. Selain itu, tarian digunakan sebagai simbol mengagungkan dewa-dewi, menghormati leluhur, mengekspresikan warisan leluhur, atau merayakan suatu peristiwa penting seperti syukur panen, penyambutan tamu dan pernikahan.
Sejarah tarian lufut
Tarian lufut merupakan tarian yang berasal dari suku Helong, NTT. Suku Helong terbagi ke dalam beberapa wilayah dengan dialeknya antara lain: Bolok, Kolhua, Uitao dan sebagian besar di Pulau Semau. Menurut masyarakat Timor Helong, tarian lufut menuturkan kebersamaan masyarakat Timor Helong pada zaman dahulu, Â yang bergotong royong dalam membuka ladang atau membangun rumah baru.Â
Ketika musim panen, hasil panen seperti jagung, padi akan dikumpulkan dan dipisahkan. Untuk melepaskan bulir jagung dan padi yang baru dipanen, alat yang digunakan masih menggunakan kaki. Demikian juga, dalam membangun sebuah rumah, tanah yang telah ditimbun, diratakan menggunakan kaki secara  bersama-sama dengan tujuan timbunan tanah itu kokoh dan rata.Â
Pada konteks kehidupan masyarakat Helong saat itu, tarian lufut sebagai simbol mempererat dan menciptakan relasi yang konstruktif dan bermakna dalam keluarga antara Ama (Bapak), Ina (Mama), Blane (Saudara Laki-laki), Bata (Saudara Perempuan), Unu (Kakak Tertua) dan Soh (Ponaan).
 Tarian lufut dipentaskan untuk meluapkan kegembiraan atas keberhasilan seorang Baklobe (pria) dan seorang Bihata (perempuan) dengan bergandeng tangan sambil melantunkan lagu "Lupu Kruman Kruman" yang berisikan ajakan dan permohonan sambil bergandeng tangan dan menghentakan kaki.
Selain itu, tarian lufut sebagai simbol memperkenalkan, mempererat relasi antar kampung, awal mula perkenalan muda-mudi yang kemudian ada dalam sebuah ikatan pernikahan. Tarian lufut, bisa dilaksanakan sampai berbulan-bulan.Â
Alasanya, jarak antar kampung yang jauh dan populasi masyarakat yang masih sedikit. Seiring berjalannya waktu, pemakanan terhadap tarian lufut ini tidak hanya pada konteks bergotong royong atau membangun sebuah rumah baru. Namun, merambah ke semua aspek kehidupan keagamaan, pernikahan, penyambutan tamu penting dan metode pemgembangan moral dan karakter.
Filosofi dan makna tarian lufut.
Tarian Lufut mengandung makna filosofis yang mendalam di setiap gerakan. Dalam tarian ini, terdapat pesan-pesan moral, nilai-nilai kehidupan seperti spirit kebersamaan, sikap egaliter, persatuan, dan gotong royong.Â
Gerakan yang ditampilkan, langkah kaki yang kompak, saling bergandeng tangan, membentuk sebuah lingkaran, menggambarkan keutuhan relasi yang dibangun berlandaskan kasih timbal balik. Keindahan, keunikan tarian lufut merepresentasikan dan merefleksikan identitas, kearifan lokal, daya kreativitas (kain tenun) masyarakat Helong.
Berikut adalah beberapa makna filosofi dari tarian lufut.
Spirit kebersamaan dan sikap egaliter:Â
Salah satu makna filosofi utama dari tarian lufut adalah spirit kebersamaan dan sikap egaliter dalam kehidupan masyarakat Helong. Gerakan kaki yang lincah, serasi, saling bergandeng tangan dan membentuk lingkaran dari para penari, merefleksikan nilai-nilai fundamental manusia sebagai makhluk sosial.Â
Menggarisbawahi pemikiran Martin Buber (Hia, 2014) yang mengatakan bahwa manusia tidak hidup sendirian akan tetapi menghayati pedoman hidup secara bersama-sama. Dalam menghayati pedoman hidup, perjumpaan harus saling melebur, relasi manusia selalu mutual berlandaskan kasih yang timbal balik.
Persatuan dan solidaritas:
Makna yang terkandung dalam tarian lufut adalah nilai persatuan dan solidaritas. Dalam tarian lufut penari akan saling membentuk lingkaran dan saling bergandeng tangan. Hal ini mencerminkan kedewasaan emosional, keharmonisan dan rasa saling percaya. Selain itu membentuk sebuah lingkaran menandakan adanya persekutuan, kebersamaan, persaudaraan dan rasa toleransi yang tinggi.
Pakaian adat simbol daya kreativitas.
Pada  hakikatnya, kain tenun digunakan dalam upacara adat seperti pernikahan, ritual, kematian dan upacara penting lainya. Tenun Belah ketupat menggambarkan bahwa dalam masyarakat terdiri dari banyak marga. Motif yang mengisi bagian dalam sepanjang gambar belah ketupat itu melukiskan masyarakat di sana punya ikatan kekeluargaan dalam budaya dan bahasa.
Lingkaran oval pada tengah-tengah belah ketupat, menggambarkan bahwa meski mereka punya banyak marga berasal dari satu moyang. Itulah mereka tetap menjunjung persaudaraan dan kekeluargaan baik yang ada helong dan dengan mereka yang berada di tanah rantau (Kaligis, 2022).Â
Selain itu, motif yang dilukiskan menunjukan daya kreativitas dan tingginya peradaban orang Helong sebagai makhluk yang membudaya. Setiap bahan tradisional yang digunakan menunjukan kemampuan mengelola serta memanfaatkan kekayaan alam pemberian sang Khalik.
Peradaban dan warisan Leluhur
Tarian Lufut merupakan proses peradaban masyarakat Helong yang bersentuhan dengan proses interaksi sesama manusia, lingkungan sosial, sistem nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat, yang kemudian menghasilkan jati diri masyarakat Helong. Jati diri yang ditinggalkan oleh generasi sebelumnya menjadi kekayaan yang membawa para penari dan masyarakat memiliki ikatan dengan leluhur mereka.
Â
Tarian Lufut sebagai bentuk tanggap terhadap degradasi moral masyarakat.
Degradasi moral adalah penurunan kualitas hidup yang semakin tidak terkontrol dan terkendali. Degradasi moral merupakan suatu fenomena kemerosotan budi pekerti dalam kehidupan masyarakat, keluarga dan individu. Penurunan kualitas ini terjadi di beberapa aspek antara lain: tutur kata, cara berpakaian, rasa kebersamaan, kejujuran, rasa gotong royong, perilaku minuman keras, narkoba, berjudi, nikah di usia muda dan perbuatan kriminal.Â
Faktor yang mempengaruhi degradasi moral adalah lingkungan sosial masyarakat negatif, kearifan lokal yang mulai ditinggalkan, keluarga broken home, individualistis dan egoistis, penyalahgunaan teknologi seperti, pornografi, cyberbullying.
Pembangunan moralitas masyarakat melalui kearifan lokal sangatlah tepat dan dibutuhkan. Pembangunan ini bisa ditempuh dengan cara mentransformasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai sarana dalam memperbaiki degradasi moral.Â
Nilai-nilai yang terkandung dalam tarian tradisional lufut menjadi sarana dan metode dalam menanggapi, memperbaiki, membina degradasi moral yang dialami oleh individu maupun masyarakat.Â
Tarian lufut, yang kaya nilai-nilai yang luhur, seperti spirit kebersamaan, gotong royong, persatuan, solidaritas, rasa tanggung jawab, bekerja sama secara harmonis, egaliter, kreativitas dapat menjadi jembatan dalam menempuh kebermaknaan hidup.
 Tarian lufut juga bisa menjadi role model dalam mempengaruhi cara berpikir masyarakat untuk tanggap dan bijak dalam menanggapi perkembangan zaman yang kompleksitas. Sehingga sikap yang diambil menghadirkan nilai-nilai yang luhur dan berprikemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI