Phronesis, atau kebijaksanaan praktis, adalah kemampuan untuk menerapkan kebajikan moral dalam pengambilan keputusan sehari-hari. Dalam dunia modern, ini lebih dari sekadar mengikuti aturan atau hukum; ini tentang memahami kapan dan bagaimana menerapkan prinsip-prinsip etika dalam situasi yang seringkali tidak pasti atau ambigu.
Pemimpin yang memiliki phronesis mampu:
Mengelola konflik kepentingan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang.
Mempertimbangkan kepentingan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders), baik itu karyawan, pelanggan, atau masyarakat luas.
Menjaga keseimbangan antara tujuan pribadi dan tujuan kolektif, terutama dalam organisasi yang besar.
Studi Kasus dalam Politik
Seorang contoh modern dari phronesis dalam kepemimpinan politik adalah Nelson Mandela. Mandela dikenal karena kebijaksanaannya dalam memimpin Afrika Selatan selama transisi pasca-apartheid, menghindari balas dendam dan memilih rekonsiliasi nasional.Â
Dengan pemikiran jangka panjang dan kemampuan untuk melihat berbagai perspektif, Mandela mampu memimpin dengan hati-hati, menyeimbangkan keadilan dengan pengampunan, yang akhirnya membantu menyatukan negara yang terpecah.
Di sini kita bisa melihat penerapan prinsip Aristotelian: Mandela tidak memilih jalan yang mudah atau populis (kelebihan), tetapi juga tidak menyerah pada tuntutan keadilan (kekurangan). Keputusan-keputusan yang dibuatnya menunjukkan phronesis dalam pengambilan keputusan yang melibatkan moralitas kompleks.
3. Eudaimonia: Kesejahteraan Jangka Panjang sebagai Tujuan Akhir
Eudaimonia, atau kebahagiaan yang mendalam dan terpenuhi, adalah konsep Aristotelian yang menyatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kehidupan yang bermakna dan seimbang, di mana kesejahteraan moral dan material diselaraskan.Â