"Engga mak, lagi istirahat. Memangnya kenapa mak?"
      "Tadi bertelepon aku sama si Uli. Menangis dia bercerita mengenai si Beni enggak ada duitnya buat dikasih ke istrinya. Padahal mau buat biaya persalinan kan harus ada tabungannya. Jadi kukasih lah semua duit yang kau kirim buat mamak bulan ini ke dia," cerita mamak kepadaku.
Bukan uang yang mamak beri kepadanya yang membuat aku jengkel, namun sandiwara Uli terhadap mamak. Haruskah didengar mamak bahwa ia menangis? Tak tega kah dia jika mamak nanti banyak pikiran?
      "Coba kau tengok dulu si Uli. Kau kan yang paling sulung diantara kalian semua. Kau lah yang mewakilkan aku untuk tengok menantuku. Lagipula tidak begitu jauh kan rumahmu dengan rumah Uli?" pinta mamak dari telepon.
      "Aku diskusikan dulu dengan papanya anak-anak ya mak. Nanti aku kabari lagi," jawabku.
Mamak pun mengucapkan terima kasih dan menutup telepon. Aku langsung membuka WA dan meminta pendapat Berton mengenai pembicaraanku dengan mamak.Â
Sepuluh menit kemudian Berton baru membalasnya. Dia tak masalah dengan keinginan mamak agar kami melihat Uli. Aku pun membuat rencana bertemu Uli di akhir pekan, namun aku belum sempat bilang ke Uli karena jam istirahat segera berakhir.
Waktu menunjukkan sudah pukul 5 sore. Aku bersiap pulang ke rumah. Namun ada notifikasi WA yang menarik perhatianku sehingga aku memutuskan membuka handphone terlebih dahulu.
      "Wah benar-benar. Ternyata kita disindirnya di status WA-nya," kali ini Susan yang memulai perbincangan terlebih dulu.
      "Aku tegor dia tadi pagi dan ternyata sekarang kita disindirnya distatusnya. Aku tak paham lagi," sahut Ros.
Aku membuka status WhatsApp Uli yang dimaksud Susan.