Aku masih membaca perbincangan tadi dan status-status WA Uli. Memang ini bukan yang pertama kali aku dan adik-adik perempuanku membahas Beni, satu-satunya anak laki-laki di keluarga kami, dan istrinya si Uli. Bang Beni adalah anak ketiga dari 6 bersaudara, namun karena bapak mamak kerap memanggilnya "bang" kami semua pun memanggilnya Bang Beni meskipun bagi aku dan Arin dia lebih muda dari kami berdua. Â
Tema pertengkaran kali ini mengenai pekerjaan. Aku sebenarnya mengerti kejengkelan Uli terhadap Beni. Beni memang masih mengurus pendirian usaha yang ia buat sendiri yang artinya ia belum menerima pendapatan yang pasti. Padahal, Uli sedang mengandung. Butuh kepastian mengenai biaya persalinan nanti. Tetapi daripada mengeluh mengenai Bang Beni di status, bukankah lebih baik ia mendukung cita-cita suaminya sendiri? Pasti Beni tidak seburuk itu, aku yakin sekali.
      "Pagi-pagi sudah buka WhatsApp, pasti sistah-sistah.", sapa Berton, suamiku yang baru selesai jogging pagi. Aku hanya tertawa kecil sebagai jawaban bahwa tebakannya benar.
      "Kenapa lagi?", tanyanya.
      "Biasa, Uli sama Beni," jawabku.
      "Oh, yasudah. Jangan terlalu dipikirkan, bawa santai aja. Mereka sudah dewasa," ucap Berton. Berton memang pria yang bijak dan tenang kalau menanggapi hal-hal seperti ini. Aku setuju dengan itu. Aku memutuskan untuk siap-siap berangkat kerja.
      Hari sudah siang dan sudah memasuki waktu istirahat di kantorku. Baru saja aku membuka bekalku, handphone ku bergetar dari atas meja kerjaku.
      Satu panggilan tak terjawab dari Mamak.
Melihat notifikasi tersebut tentu saja aku segera meneleponnya. Aku tidak berharap topiknya akan mengenai Uli dan Beni lagi tapi aku yakin akan membahas itu.
      "Halo mak, gimana kabar mamak?" tanyaku dari telepon.
      "Halo nak, lagi sibuk kah kamu?" tanya mamak yang sepertinya menghiraukan pertanyaanku.