Mohon tunggu...
Ferra ShirlyAmelia
Ferra ShirlyAmelia Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - istri yang suka menulis dan minum kopi

senang bekerja dan belajar dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kehilangan Bukan Alasan Keterpurukan

23 Januari 2025   14:25 Diperbarui: 23 Januari 2025   14:25 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu sunyi. Angin berembus pelan, menyelinap di antara dinding rumah sederhana. Di sudut ruangan, seorang ibu menatap lekat foto yang masih ada di meja. Foto seorang lelaki berseragam, tersenyum bangga, dengan sorot mata yang begitu hangat.

Sebuah nama terukir di dada bajunya. Nama yang selalu mereka sebut dalam doa. Nama yang selalu membuat hati mereka perih dalam rindu.

"Yah... kami rinduuu sekali," bisik ibu dalam hati, menahan air mata yang sudah terlalu sering jatuh.

Sejak kepergian ayah, rumah ini tak pernah lagi sama. Kehilangan bukan sekadar soal merelakan kepergian seseorang, tapi juga tentang menyesuaikan diri dengan kekosongan yang ia tinggalkan. Namun, hidup harus terus berjalan. Sebab, air mata tak akan bisa mengembalikan waktu, tapi usaha dan doa bisa membuka jalan baru.

Kia, si sulung, tahu bahwa ia harus menjadi contoh bagi adik-adiknya. Saat teman-teman kuliahnya menikmati waktu luang, ia menempuh perjalanan hampir empat jam pulang pergi dengan motor seadanya. Setiap hari, terik dan hujan bukan alasan baginya untuk berhenti belajar.

"Bu, Kia berangkat ya," katanya setiap pagi, sebelum pergi ke kampus.

Setelah kuliah usai, Kia pun tak langsung pulang. Ia menyempatkan diri mengajar les privat untuk anak-anak sekolah. Ia tak ingin terlalu membebani ibu. Meski ia mendapat beasiswa karena kecerdasannya, ia tahu bahwa masih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi seperti bensin, fotokopi, tugas kuliah, dan yang lainnya. Kia memilih untuk berjuang sendiri, seperti yang ayah dan ibu ajarkan.

Dan kini, Kia telah diwisuda. Jubah kebesarannya ia kenakan bukan sekadar untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk ibu, untuk ayah yang selalu dirindukannya, dan untuk adik-adiknya yang masih berjuang.

Sementara Nina, putri kedua, ia punya mimpi besar ingin melanjutkan perjuangan ayah sebagai abdi negara. Namun, jalan yang ia tempuh tidaklah mudah.

Tak berselang lama dari kepergian ayah, ia langsung mendaftar tes seleksi. Namun, hasilnya jauh dari harapan. Gagal. Lalu mencoba lagi. Gagal lagi.

Setiap kegagalan adalah pukulan yang menyakitkan, tapi tidak sekali pun ia berpikir untuk menyerah. "Mungkin belum waktunya," ucapnya, menenangkan hati.

Ia terus berlatih, semakin rajin belajar, semakin banyak berdoa. Hingga suatu hari, kabar yang dinantikan akhirnya tiba: Nina diterima di salah satu akademi tentara.

Hari itu, ibu menangis lagi. Tapi kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan kebanggaan.

Insyaa Allah sebentar lagi Nina yang sudah duduk di semester akhir, akan segera menyandang gelar letnannya. Dan di setiap langkahnya, ada semangat ayah yang akan selalu menemani, walau tak lagi di sisi tapi ayah akan selalu ada di hati.

Terakhir, si bungsu Ara juga tak ingin kalah. Ia masih ingat betul bagaimana dulu ia menjaga ayah di kala sakitnya, pun melihat perjuangan para tenaga medis yang merawatnya. Sejak saat itu, ia berjanji pada dirinya sendiri, ia ingin menjadi seorang perawat.

Allah mendengar doa dan usahanya. Tahun lalu, Ara lulus dan diterima di jurusan keperawatan melalui jalur beasiswa.

"Ibu, doakan Ara semoga bisa menjadi perawat yang baik," pintanya dengan senyum tulus.

Di balik senyum itu, ada tekad yang besar. Ara ingin merawat orang-orang yang sakit. Ia juga ingin membantu mereka yang berjuang antara hidup dan mati, sebagaimana dulu ia berdoa agar ayahnya bisa bertahan dan tetap hidup.

Kini, meskipun ayah telah tiada, ia tahu bahwa perjuangan ini akan tetap sampai kepada ayahnya, sebagai hadiah dari seorang anak untuk ayah yang amat ia cinta.

Di balik ketegaran mereka bertiga, tentulah ada seorang ibu yang begitu luar biasa. Seorang ibu yang harus menguatkan diri saat hatinya hancur. Seorang ibu yang harus menggantikan peran ayah, meskipun ia sendiri merasa rapuh.

Ia tidak hanya menjadi pelindung, tapi juga menjadi pendorong semangat bagi putri-putrinya.

"Jangan takut gagal, Nak. Allah selalu melihat usaha kalian", ucapnya setiap kali putrinya menghadapi kesulitan.

Ia mungkin kehilangan suaminya, tapi ia tidak pernah kehilangan harapan. Karena ia tahu, tiga putrinya adalah amanah yang harus ia jaga dengan sebaik-baiknya.

Malam itu, ibu kembali menatap foto di meja. Di sampingnya, ketiga putrinya kini telah tumbuh menjadi perempuan yang kuat.

"Yah, lihatlah anak-anak kita... Mereka tumbuh seperti yang kau harapkan," bisik ibu dengan senyum penuh haru.

Di sudut hati mereka, rindu pada ayah tak pernah padam. Tapi mereka tahu, ayah tidak ingin mereka terpuruk dalam kesedihan. Ayah ingin mereka terus berjuang, terus melangkah, terus tumbuh menjadi pribadi yang kuat.

Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata seorang teman, dengan nama-nama yang sudah disamarkan. Ini hanya garis besarnya. Realitanya pastilah jauh lebih menguras air mata, energi, dan emosi. Tapi Allah tahu mereka kuat. Dan Allah akan selalu menguatkan.

Semoga kisah ini bisa menginspirasi banyak orang, bahwa kehilangan bukanlah akhir segalanya. Bahwa di balik luka, selalu ada harapan yang bisa tumbuh. Dan bahwa selama masih ada doa dan usaha, setiap langkah akan selalu mendapat bimbingan dari-Nya.

Untuk kalian yang pernah merasakan kehilangan, semoga cerita ini mampu menjadi penyemangat. Dan untuk yang kedua orang tuanya masih ada, semoga mampu mensyukurinya, senantiasa membuat mereka bahagia, setidaknya tidak menyusahkan mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun