Ia terus berlatih, semakin rajin belajar, semakin banyak berdoa. Hingga suatu hari, kabar yang dinantikan akhirnya tiba: Nina diterima di salah satu akademi tentara.
Hari itu, ibu menangis lagi. Tapi kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan kebanggaan.
Insyaa Allah sebentar lagi Nina yang sudah duduk di semester akhir, akan segera menyandang gelar letnannya. Dan di setiap langkahnya, ada semangat ayah yang akan selalu menemani, walau tak lagi di sisi tapi ayah akan selalu ada di hati.
Terakhir, si bungsu Ara juga tak ingin kalah. Ia masih ingat betul bagaimana dulu ia menjaga ayah di kala sakitnya, pun melihat perjuangan para tenaga medis yang merawatnya. Sejak saat itu, ia berjanji pada dirinya sendiri, ia ingin menjadi seorang perawat.
Allah mendengar doa dan usahanya. Tahun lalu, Ara lulus dan diterima di jurusan keperawatan melalui jalur beasiswa.
"Ibu, doakan Ara semoga bisa menjadi perawat yang baik," pintanya dengan senyum tulus.
Di balik senyum itu, ada tekad yang besar. Ara ingin merawat orang-orang yang sakit. Ia juga ingin membantu mereka yang berjuang antara hidup dan mati, sebagaimana dulu ia berdoa agar ayahnya bisa bertahan dan tetap hidup.
Kini, meskipun ayah telah tiada, ia tahu bahwa perjuangan ini akan tetap sampai kepada ayahnya, sebagai hadiah dari seorang anak untuk ayah yang amat ia cinta.
Di balik ketegaran mereka bertiga, tentulah ada seorang ibu yang begitu luar biasa. Seorang ibu yang harus menguatkan diri saat hatinya hancur. Seorang ibu yang harus menggantikan peran ayah, meskipun ia sendiri merasa rapuh.
Ia tidak hanya menjadi pelindung, tapi juga menjadi pendorong semangat bagi putri-putrinya.
"Jangan takut gagal, Nak. Allah selalu melihat usaha kalian", ucapnya setiap kali putrinya menghadapi kesulitan.