Mohon tunggu...
Feby Indirani
Feby Indirani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis, Pencinta Kehidupan

Ruang berbagi pemikiran, pengalaman, bacaan, tontonan, apresiasi saya kepada kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ruang Tunggu

28 November 2016   10:52 Diperbarui: 28 November 2016   21:51 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kamu bohong kan? Ini toh hanya Ruang Tunggu. Pasti akan ada bidadari saya setelah ini kan? Saya sudah mengorbankan segalanya.. Segala-galanya. Menjauhi orang tua, keluarga, teman-teman, menjadi orang yang berbeda dan kehilangan mereka semua,“ air mata Rohman kembali berlinang.

“Saya kadang merasa lelah, juga merasa bersalah, saya juga membayangkan orang-orang baik yang terkena dampaknya hanya karena mereka kebetulan berada di sana. Dan kalaupun mereka minum alkohol, mereka tidak sepantasnya mendapat hukuman seberat itu. Saya juga sering merasa takut, tapi guru-guru selalu menguatkan saya, ada kehidupan abadi setelah dunia. Ada keindahan abadi.. ada bidadari...”

Rohman menangis sesenggukan. Menggerung-gerung.

“Bilang pada saya semua itu akan ada, katakan pada saya ada bidadari! Bukan perempuan seperti kamu, yang sombong, merokok, sok tahu! Saya mau bidadari saya, “ kini Rohman merengek seperti kanak-kanak.

“Seperti apa saya sekarang, hanyalah cerminan dari sesuatu yang tidak kamu sukai,” jawab perempuan itu tenang. “Tapi seperti apa saya juga tidak akan mengubah apapun untuk kamu kan?“

Rohman menatap perempuan itu, dan merasa heran karena mukanya berangsur-angsur berubah menjadi seperti ibunya. Rohman membelalak, air mata terus membanjiri wajahnya. Lalu wajah perempuan itu berubah lagi menjadi guru kesayangannya ketika sekolah dasar, kemudian perlahan berubah lagi menjadi wajah kakaknya, lalu berubah lagi menjadi wajah ibunya, kemudian wajah perempuan yang pernah hendak dilamarnya, lalu wajah yang tidak dikenalnya. Terus berubah dan berganti-ganti.

Perempuan-perempuan itu menatapnya dengan wajah sedih, sambil terus berkata, “Tidak ada bidadari, Rohman. Tidak akan ada bidadari untukmu. “ 

Rohman lalu membentur-benturkan kepalanya. Terus menerus. Terus menerus. Tanpa merasa sakit. Tanpa merasa lelah.

(Cerpen ini pertama kali dipublikasikan di Jawa Pos 27 November 2016)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun