Mohon tunggu...
Feby Indirani
Feby Indirani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis, Pencinta Kehidupan

Ruang berbagi pemikiran, pengalaman, bacaan, tontonan, apresiasi saya kepada kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ruang Tunggu

28 November 2016   10:52 Diperbarui: 28 November 2016   21:51 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kemudian mereka berdua hanya saling diam saja, saling berpandangan. Perempuan itu kemudian mengeluarkan rokok, menyalakan, dan mulai menghisapnya. Rohman semakin bingung. Bukankah ini seharusnya akhirat? Bagaimana mungkin ada rokok di akhirat? Dan ia paling benci asap rokok. Ia paling benci juga pada perempuan yang merokok.

Dan perempuan itu seperti tahu Rohman membencinya, malah dengan sengaja mengembus-embuskan asapnya ke wajah Rohman. Aroma kretek yang persis sama dengan di warung Marto langganannya dulu. Ini semua semakin tidak masuk akal. Rohman merasakan kemarahannnya memuncak.

“Siapa kamu? Di mana saya? Di mana bidadari-bidadari saya?“ Rohman merasakan suaranya menggelegar dan bergetar.

Perempuan itu kemudian terkikik geli.

“Selamat datang di Ruang Tunggu,” ulangnya lagi, kali ini dengan intonasi yang berbeda. Lebih menggoda.

“Kejutan! Tidak ada mempelai. Tidak ada bidadari. Tidak ada sorak sorai pesta penyambutan. Hanya ada kamu, di ruang tunggu. Dan untuk sekarang, saya,” ujar perempuan itu tenang. 

“Tidak mungkin! Saya sudah dijanjikan 72 bidadari! Mereka wanita-wanita muda cantik yang bening, yang sopan, yang menundukkan pandangannya, yang tidak pernah disentuh oleh manusia dan tidak pula oleh jin. Dan saya yang akan memerawani mereka siang dan malam tanpa henti, tanpa lelah, tanpa pernah lemas, tanpa pernah kehilangan syahwat!”

Lagi-lagi perempuan itu terkikik geli, tidak menjawab, terus saja mengembus-embuskan asap rokoknya dengan gaya yang membuat Rohman muak. Ingin rasanya ia menampar perempuan itu. Ia pantang memukul perempuan, hanya lelaki pengecut yang memukul perempuan, demikian prinsipnya sejak dulu.  Tapi terhadap perempuan ini rasanya ia tidak lagi memiliki kesabaran.

“Katakan di mana bidadari-bidadariku, “ ujarnya dengan nada mengancam, sambil berdiri menghadap perempuan itu. Tangannya terayun, sedikit lagi akan menghajar wajah si perempuan, meski sebetulnya ia masih ingin menahan diri.

Perempuan itu setegar benteng, matanya menatap Rohman tenang, tanpa berkedip. Ia terus saja mengisap rokoknya, kemudian mengembuskannya. Dan Rohman baru tersadar bahwa rokok itu tak kunjung memendek sedari tadi, ukuran dan bentuknya tetap sama, dan terus menyala.

“Tidak ada bidadari. Tidak pernah ada. Dan tidak akan ada.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun